16 - Saksi Bisu Warteg

38.1K 4.1K 759
                                    


1 6

_________

Tolong, ingatkan dirinya sekarang untuk sekadar ingat bernapas. Ingat betapa pentingnya oksigen daripada harus menahan napas karena terlalu terkejut.

Jantungnya mendadak berhenti berdetak. Diiringi tubuhnya yang membeku di tempat. Bahkan otaknya tidak bisa merespon apa yang mereka lakukan di sana. Di tempat yang bisa dikatakan, tempat seringnya mereka—Benaya dan Dara—bertemu. Kedua matanya memang minus, tapi bukan berarti buta sampai tidak bisa melihat apa yang dilakukan Vera. Main sosor, kekep, bikin Dara kicep. Memangnya dia masih berumur dua tahun, tidak tahu apa itu namanya? Hei, jangan bilang mereka sedang bermain petak umpet—karena itu tidak mungkin. Jangan bilang juga sedang main Papa-Mama karena nama itu akan ia sandang setelah namanya berubah menjadi Shadara Alghariz nanti—sama seperti yang dikatakan Benaya waktu itu di chat. Tidak boleh Vera! Dan jangan bilang mereka sedang membahas proton elektron karena ia tidak sebodoh itu. Bahas proton elektron pakai nyetrum segala? Nyungsep saja sekalian!

Lalu, apa, Dara? Kamu mau?

Tidak. Lebih enak berantem, adu mulut yang sesungguhnya dan argumen.

Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Seiring bau mint dan kopi yang menenangkan, datang di dekatnya. Lalu sebuah tangan kokoh terjulur dari belakang. Menutup matanya yang mulai memanas, untuk tidak melihat adegan di atas umurnya itu. Sialan, yang melakukan hal itu juga masih di bawah umur! Pekiknya di dalam hati. Bibirnya kelu untuk mengeluarkan suara, bermaksud mengusir tangan kokoh yang menghalangi matanya. Tangannya hanya mampu diam, sama seperti bibirnya yang sinkron. Deru napas tenang yang berasal dari belakang Dara, membuat gadis itu sedikit tenang. Setidaknya satu persen dari seratus persen presentase.

Apa yang dilihatnya, sudah jelas. Ciuman. Sosor-sosoran kayak bebek di sekolah. Perbuatan kurang ajar yang dikerjakan oleh mereka berdua. Dara kesal, air matanya jatuh begitu saja. Dadanya bergemuruh antara sakit, marah, dan kesal.

Tangannya yang dingin berubah bergetar, ingin melampiaskan apa pun itu untuk dipukul. Namun, belum sempat kejadian, tubuhnya diputar ke belakang oleh seseorang itu. Mungkin ada adegan yang lebih tidak pantas lagi, pikirnya. Jadi, Dara hanya menurut. Tidak berkata apa pun. Bahkan saat tubuhnya ditarik dan tangannya digenggam oleh sebuah tangan kokoh yang hangat. Melingkupi tangannya yang gemetaran.

Saat tangan kokoh itu berpindah dari mata dan menggenggamnya, Dara tidak mau menoleh ke belakang. Berpura-pura tidak tahu, itu lebih baik. Sampai dirinya sadar, ke mana orang ini membawanya. Di depan ruang musik.

"Ka-kak ... kenapa ke sini?" Dara membuka suara, walaupun sedikit bergetar. Efek yang Benaya berikan pada tubuhnya memang selalu berlebihan. Dan saat ini, Dara membenci hal itu.

Revran tidak langsung menjawab pertanyaannya, namun melepaskan genggaman tangannya tadi pada tangan Dara. Dan menepuk pundak Dara dengan pelan. "Kamu sakit?" tanya Revran, balik bertanya.

Mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak tahu akan menjawab apa. Hanya rasa sakit di hati dan perutnya yang sedikit mendominasi. Seakan melilit dirinya sekarang. Apalagi dengan perasaan yang sudah entah dibawa ke mana oleh Benaya.

Tanpa sadar, tangan mungilnya bergerak ke dada, menekan pelan. "Iya, sakit perut," jawabnya tanpa menoleh atau menatap ke arah Revran. Tatapannya tidak menentu, seperti mencari-cari. Tapi yang dicari malah pergi.

Alis Revran terangkat satu. "Saya pikir kamu sesak napas, karena sedari tadi memegang dada. Bukan perut. Apa kamu punya asma?"

Dara tergagap di tempat menyadari kebodohannya. Kepalanya miring sedikit, di mana lelaki itu juga sedang menatapnya. Mata mereka saling beradu dan Dara bisa melihat tatapan tajam milik lelaki di hadapannya. "G—ue nggak punya asma, kok, Kak Revan," jawabnya linglung dan menggeleng.

Benaya dan DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang