2 3
_________Kalimat semacam itu selalu diucapkan saat dirinya akan pergi. Berusaha untuk menarik lagi-supaya kembali, atau membuat Dara merasa memang dibutuhkan. Tapi nyatanya tidak. Dara membenci saat Benaya selalu mengatakan hal-hal seperti itu. Di saat dirinya sudah mau pergi dan berusaha tidak peduli, maka Benaya sudah mengibarkan bendera perdamaian dan melempari dirinya bom yang berisi kalimat-kalimat seperti itu. Pertama, ia berhasil dibodohi. Kedua, mungkin juga masih berhasil. Ketiga, tidak lagi. Dara benci, tapi di lain sisi ia masih menyukai.
Ia mendengus, menatap Benaya dengan jengah, lalu bangkit dari kursinya. Sudah sangat muak dengan apa yang dikatakan Benaya sekarang.
"Udah, ya, Ben." Tangannya menggantung di udara-menyuruh Benaya untuk berhenti, dan sesaat kemudian menertawakan kebodohannya. "Udah cukup! Lo selalu bilang ini-itu, tujuannya buat apa, Ben? Walaupun gue suka sama lo, lo nggak berhak bilang ini-itu. bilang kata sampah yang selalu lo ucapin pas kita ada di titik ini! Pas gue kelihatan nggak berdaya. Gue nggak suka, Ben! Asal lo tau itu!" Jari telunjuknya menunjuk Benaya dengan kesal. Ia tidak peduli menjadi bahan tontonan di warung mi ayam yang sepi ini, ia sangat tidak peduli.
Benaya terkejut, Dara memang menyukainya.
Dara menarik napasnya perlahan. Benaya masih terlihat mengerutkan keningnya dan juga, tidak berniat untuk menyela omongannya. "Gue emang minta lo jadi pacar gue. Dan yeah ... gue kayak cewek murahan, bahkan sahabat gue bilang itu! Dan teori 'cewek ada untuk diperjuangin' seketika nggak ada. Nggak berlaku sama gue. Ditambah murahannya lagi pas gue pertahanin lo, selalu kirim chat tiap malam tanpa merasa malu dan merasa lupa kalau elo udah nyakitin gue berapa kali ..." Kedua tangannya mengepal di samping tubuh yang sekarang menjadi kekuatannya. Berharap kali ini, ia tidak akan cengeng lagi. Dadanya bergemuruh, sudah lelah mendengar itu dari bibir Benaya.
Apalagi kalimat sialan itu selalu diutarakan saat ia akan pergi. Memangnya dia apa?
Benaya menatap Dara terkejut, tidak tahu kenapa Dara bisa mengatakan hal tersebut. Secepat tarikan napas gadis di hadapannya-yang berdiri dengan raut wajah kecewa dan terluka, seperti tanpa jeda dan penuh emosi. Seperti sudah meluapkan apa yang menjadi beban di hatinya dari kemarin. Benaya yakin kalau Dara memang sudah ... sangat-sangat kesal padanya. Dan itu yang ia harapkan untuk saat ini. Setidaknya, untuk beberapa waktu ini agar Dara tidak merasakan sakit yang lain.
Matanya menatap Dara yang masih menatapnya dengan wajah memerah menahan amarah. Dadanya naik turun seiring emosinya yang bertambah.
"Maaf kalau selama ini kesannya gue seeprti menginginkan sebuah barang kembali ta-"
"Barang?!" Dara memekik keras lalu menggeleng kepala karena tidak percaya. Anjir, gue disamain sama ... barang? "Lo itu kalau ngomong nggak pernah dipikir, ya?! Pedes sih pedes, tapi apa lo pernah tau ucapan lo itu bikin orang lain sakit hati?!"
"Bukan itu maksud gue, Dara!" Ia tidak mengerti kenapa Dara akan semarah ini padanya. Kenapa perempuan itu mendadak seperti ini setelah ucapannya, yang bahkan sudah dipikirkannya dari semalaman, membuat Dara marah. Semarah ini. Apa ucapannya salah?
Dara mendesis, "Lalu apa maksud lo?" tanyanya menantang.
Benaya melepaskan pecinya, lalu mengacak rambutnya pelan. "Lo harus dengerin, apa yang gue ucapin."
"Basi," sahut Dara seperti gumaman, "Waktu itu gue cuma pengin lo untuk cerita masalah kecil-kecil. Tapi lo bisu! Habis-habisin waktu gue aja buat pikir lo lagi apa!" Dara menggigit bibir bawahnya keras. Merasa sadar akan kebodohannya. Benaya masih diam, membuat Dara muak atas keterdiamannya. "Ini terakhir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Benaya dan Dara
Teen Fiction[Sudah tersedia di toko buku] Diterbitkan oleh Elex Media Komputindo Dimulai dari aksi Dara yang meminta Benaya untuk menjadi pacarnya, semuanya mendadak berubah. Benaya sebenarnya tidak membenci Dara, begitu pun sebaliknya. Namun saat keduanya...