Part ini akan diedit nanti
-
2 1
______
"Iya, gue bakal lepas dari lo." Karena untuk berada di samping Benaya selama lebih dari satu bulan tidak akan pernah bisa, Dara menjawabnya dengan yakin. Walaupun di sini, ia harus menahan air matanya agar tidak jatuh. Untuk mengucapkan kalimat itu pun, ia harus menarik napas dalam-dalam. Berusaha menguatkan diri.
Mungkin, Benaya sudah merasa sangat kesal karena ia selalu menghubunginya. Atau mungkin, Benaya sudah sadar kalau ia merepotkan lelaki itu. Dengan sakit di hadapan lelaki itu, membuat lelaki itu marah, emosi, dan terganggu. Siapa juga yang tidak kesal kalau merasa direpotkan. Apalagi dengan orang yang pernah membencimu. Kenapa, sih, dia tidak sadar sejak awal? Apa karena rasa sukanya yang berlebihan itu, yang membuatnya tidak sadar kalau Benaya tidak menginginkannya?
Ucapan lelaki itu, masih terekam jelas di otak sejak beberapa menit berlalu. Dan mungkin, akan selalu teringat di kepalanya. Entah kapan akan pergi.
Ia mendengar suara helaan napas di telepon. Dan dirinya sadar, baru kali ini mendengar suara helaan napas Benaya jika lelaki itu meneleponnya. Biasanya hembusan napasnya pun tidak terdengar, sunyi. Tapi lelaki di seberang sana masih belum berkata apa pun.
"Ben? Udah?" gumamnya, bertanya.
"Udah apanya?"
"Kita." Dara berdoa, kalau Benaya akan menjawab tidak. Seperti harapannya. Tapi di lain sisi, ia juga merasa kalau selama ini ia seperti gadis murah yang ingin diperhatikan.
Apa Benaya juga menganggapnya seperti itu?
"Kalau lo emang nggak sakit hati setiap kali Vera dekat sama gue, kita masih di sini," balas Benaya masih terdengar tenang. Bodoh. Memangnya Benaya akan terdengar tidak rela, Dar? Itu nggak mungkin. Sampai dirinya jatuh sedalam apa pun juga, Benaya masih tetap tenang. Dan apa yang diucapkan oleh Benaya tadi? Dara memang sakit hati kalau melihat Vera dengan Benaya. Tapi ia bisa apa? Mengomel pada lelaki itu? Malahan, nanti ia yang akan ditertawakan. Atau menyuruh lelaki itu untuk diam, menjauh sejauh-jauhnya dari Vera? Ia saja seorang pacar yang tidak diharapkan.
Dara mengambil oksigen yang ada di sekitar sebanyak-banyaknya, dan menghembuskan pelan-pelan. Mencoba untuk merasa biasa. "Ya udah. Udah untuk hubungannya, dan udah untuk teleponnya."
Tut
Dara menekan gambar merah di layar ponsel di menit ke empat puluh sembilan. Ponselnya ia letakkan di nakas dengan kasar dan segera beranjak mengambil buku Fisika di meja belajar. Membolak-balikkan buku tersebut sambil berusaha melupakan perkataan Benaya tadi. Tangannya sudah memegang pensil biru yang menyelip di buku itu, lalu mencoret-coret salah satu soal dengan berbagai rumus yang sudah ia hafal di luar kepala. Menjawab soal demi soal di bukunya untuk persiapan Ujian Akhir Semester minggu depan. sampai tidak sadar kalau ia sudah bisa mengerjakan tiga puluh soal malam ini, dengan air mata yang selalu menetes di pipinya.
Dan ia tidak sadar akan hal itu.
*
Sore tadi
"Dia gangguan psikis, yang sampai sekarang nggak tau apa itu penyebabnya. Dia terlalu terobsesi sama apa yang dia suka. Semenjak nyokap minta cerai sama bokap, dia jadi gitu. Dia selalu ngejaga apa yang dia suka untuk tetap ada di samping dia. Termasuk gue, sama lo," Revran menatap penuh pada Benaya. "Setiap hari, Adis selalu cerita tentang lo. Dan Adis pernah nyuruh gue untuk jangan dekat sama Dara. Karena Dara juga dekat sama lo. Dia benci itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Benaya dan Dara
Teen Fiction[Sudah tersedia di toko buku] Diterbitkan oleh Elex Media Komputindo Dimulai dari aksi Dara yang meminta Benaya untuk menjadi pacarnya, semuanya mendadak berubah. Benaya sebenarnya tidak membenci Dara, begitu pun sebaliknya. Namun saat keduanya...