17 - Jangan Sentuh Barang Berharga

39.1K 4.1K 692
                                    


Karena dua part udah (mungkin) emosi, jadi sekarang yang manis-manis mumpung ada kesempatan untuk manis. tapi nanti ...

selamat berbuka bagi yang menjalankan puasa :)

btw, judulnya agak ngeri menurutku hahah

--

1 7

______

"Seenggaknya Ra, lo udah buat gue terbiasa sama warna biru yang lo pakai. Wangi telon yang dulu mengganggu gue, atau kebiasaan lo yang ngucir rambut nggak rapi. Tolong jangan ubah kebiasaan baru gue itu." Bukannya apa, tapi hanya itu yang bisa keluar dari bibir Benaya sekarang.

Tahan napas. Lagi-lagi, Benaya membuatnya serta-merta menahan napas.

"Gue nggak nyuruh lo terbiasa, kan, Ben?" Dara menatap Benaya, masih sama seperti tadi, setelah menghembuskan napasnya dengan berat.

"Lo bego kalau misalnya ngerasa biasa aja pas orang yang biasa ngintilin lo, mendadak pergi," jawab Benaya tenang. Tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Dan Dara malas mencari arti tatapan datar Benaya.

Apa Dara pernah mengatakan, kalau Benaya itu menyebalkan? Belum? Ya, cowok di hadapannya sekarang jauh lebih menyebalkan. Entah kenapa, Dara merasakan hal itu. Apalagi jawaban yang selalu dijawab tenang, membuat Dara iri. Kenapa ia tidak memiliki sifat itu? Dirinya selalu grasak-grusuk, mencoba tenang padahal tidak bisa dan sangat berkebalikan dengan sifat Benaya yang selalu terasa tenang di matanya. Mungkin nanti, saat ada gempa juga Benaya tenang-tenang saja.

Tangan Benaya terjulur ke depan, di depan wajah Dara sambil memegang sendok yang berisikan nasi serta lauk. Yang langsung dibalas oleh gadis itu dengan membuka mulut. Lalu satu sendok nasi itu berpindah di mulut Dara.

Benaya tersenyum.

"Apa mulai sekarang, gue harus jadi pawang lo?"

Ya dan tidak. Ya untuk menjadi pawang apa itu lah, dan tidak untuk menyuruhnya makan. Dara tidak begitu suka untuk diatur makan. Karena pola makannya itu sesukanya. Sesakit apa pun perutnya kalau ia tidak ingin makan, ya tidak. Ibu dan ayahnya bahkan pernah emosi hanya karena menyuruh anak gadisnya makan.

Setelah menelan makannya, Dara menyahut, "Lo bener-bener pacar yang nggak tau minta maaf, ya, Ben?"

Benaya menyendok makanan di piringnya yang tinggal seperempat, dan memakannya sendiri. Lalu menelan, dan mengambil sesendok untuk menyuapi Dara. Dara yang sudah terlanjur kesal, langsung melahap makanan yang disodorkan oleh Benaya dan menatap lelaki itu keki.

"Maaf. Maaf untuk Vera, dan maaf untuk nggak bisa ceritain hal ini ke lo."

Dara sedikit tertarik mendengar ucapan itu. ia berucap, "Cerita apa?"

"Kan gue udah bilang maaf. Nggak usah dibahas."

Kesal karena jawaban yang Benaya berikan, Dara segera memalingkan muka. Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya. Menari-nari ala disko dan membuat kepalanya pusing. Jadi, mereka ini apa? Jadi, ucapannya tadi tidak penting? Dan buat apa ia berkata hal itu seperti pidato kalau tidak membuahkan hasil apa-apa? Ia merasa digantungkan, padahal juga sudah dalam suatu hubungan. Seharusnya memang dia saja yang memutuskan, daripada Benaya seperti ini. Aduh, kenapa jadi belibet ya, kalimatnya, Dara berdesis. Kenapa juga Si Mulut Pedas menyuapinya? Walaupun enak, tapi kan kesempatan ia utuk marah harus dipending dulu.

Astgahfirullah!

Dara langsung menutup mulutnya. Dan melirik Benaya yang sedang menghabiskan makanannya seperti orang kelaparan. Otaknya berpikir lagi, dan langsung menenggelamkan kepalanya di meja setelah menyadari suatu hal.

Benaya dan DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang