25 - Tidak Punya Pendirian

39.7K 4.2K 1.2K
                                    


Didedikasikan untuk Amanda Diva

(Jangan lupa baca voting di bawah)

*

2 5

________


Dara menyentak tubuh Benaya dengan cepat saat ia sadar, bahwa ini sudah berlebihan. Cepat-cepat, dia mencari betadine di kotak P3K dengan tangan gemetar. Kepalanya tidak mau menoleh barang sedetik saja untuk mengetahui bagaimana Benaya sekarang. Wajahnya memanas. Bau parfum Benaya yang samar masih tercium jelas di hidungnya. Napas Benaya yang tadi berhembus hangat, masih terasa di ingatannya.

Saat apa yang dicarinya ada, Dara langsung mengambil dan menuangkannya pada kapas. Tentunya dengan hati-hati karena jantungnya berdetak cepat. Agar cairan berwarna cokelat itu tidak tumpah.

"Gue ... obatin sekarang, ya," tangannya terjulur ke depan. Tidak mau mendongak sedikit pun untuk menatap Benaya. Malu.

Benaya mengerutkan keningnya tipis, saat melihat Dara dengan lucunya menjulurkan tangan tanpa mau menatap. "Lihat lukanya, Ra," sahut Benaya pelan, berusaha untuk tidak meringis sakit.

Masih menunduk, Dara melirik luka Benaya yang ada pada sudut bibir. Lalu menekan-nekan kapasnya di sana. Tidak peduli seberapa keras tekanan yang ia berikan, dan reaksi kesakitan yang Benaya keluarkan. Yang jelas setelah ini, Dara ingin segera pergi. Jantungnya selalu tidak stabil ketika Benaya berada tepat di dekatnya dalam radius kurang dari satu meter. Dan, dia belum ijin keluar rumah.

"Ssshh ... sakit, Ra. Pelan-pelan," desis Benaya kesakitan. Tangannya ingin menjauhkan tangan Dara yang sedang mengobati luka, tapi segera ditepis oleh gadis itu.

Dara tidak menanggapi ucapan Benaya.

"Ra ... pelan aja." Kali ini bukan desisan yang lelaki itu keluarkan. Tetapi erangan kecil yang membuat Dara kesal.

Kesal karena tingkah Benaya sekarang. Kalau memang sakit, ya, tidak usah berantem. Minta diobati, tapi mengerang kesakitan. Seharusnya juga Benaya membalas pukulan-pukulan dari lawannya. Bukannya diam—walaupun Dara tidak tahu apakah Benaya balas pukul atau tidak. Yang jelas, luka-luka di wajah lelaki itu menunjukkan kalau tidak ada perlawanan dari korban. Lagian, UAS sudah mau dimulai masih saja membuat ulah.

Tapi, Dara baru sadar. Kalau Benaya mau berkelahi. Seingatnya, Benaya itu teman satu kelasnya yang selalu pendiam dan tidak banyak polah. Mungkin. Tapi kenapa malam ini ia melihat orang yang disukainya, berbeda?

Dara mendelik pada Benaya, "Kalau sakit ya jangan main pukul-pukulan!" Tangannya terangkat di hadapan lelaki itu, ingin memukul bagian mana saja yang bisa dijangkau. Namun sudah terlebih dahulu dicekal oleh Benaya menggunakan tangan kanan.

"Nggak sengaja, gue dikejar kelompok tukang mabuk yang pernah ketemu gue di jalan sama Utara." Mata hitam Benaya menatap lurus pada mata hitam Dara. Walaupun lumayan gelap, tapi Benaya tahu kalau gadis itu sedang menatapnya. Mungkin terkejut.

"Lo nggak perlu cerita. Gue nggak butuh," balas Dara malas. Sebenarnya menunggu apa yang akan Benaya ucapkan selanjutnya. Tapi, ia tahan. Gengsi. Dara sendiri berdoa kalau ucapannya tadi terdengar sewot di telinga Benaya.

"Tapi gue merasa perlu."

"Kenapa?" Kali ini, terdengar sewot di telinga Benaya. Dan lelaki itu malah mengerutkan dahi—bingung.

"Biar lo nggak salah paham?" jawabnya menyerupai pertanyaan. Dara mencebikkan bibir lalu melepaskan tangan Benaya yang masih memegangnya. Ia langsung berdiri, menata kotak P3K-nya dengan cepat karena ingin segera pergi. Hal itu membuat Benaya terkejut. Karena ia kira, Dara masih mau menemani di sini. Setidaknya, menunggu sebentar. Sampai Benjamin datang. Mungkin.

Benaya dan DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang