1 9
______
"Najis."
Benaya menoleh, ke mana asal suara itu berada. Lalu ia mendapati cowok yang dikenalinya sedang duduk di bawah, beberapa meter darinya, sedang menghembuskan asap rokok. Utara. Celana ketat yang dipakai lelaki itu entah dari mana asalnya bisa agak longgar, baju lumayan rapi. Mungkin sudah taubat, pikir Benaya saat ini.
Ia tidak langsung berbicara pada Utara, tapi membereskan nasi yang dibawanya tadi untuk diberikan pada cowok itu.
"Lo sebrengsek apa sih, Ben?" Utara membuka suaranya lagi. Bulu mata lentik yang menaungi kedua mata cowok itu sedikit menyipit lantaran sinar matahari yang terik menyorot tempat di mana mereka duduk sekarang. "Ngomong ke cewek kasar banget."
Benaya ikut lesehan di samping kanan Utara, dan mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Utara.
"Lo najis. Tau nggak, Ben?" Utara menghisap nikotinnya lagi, lalu menghembuskannya perlahan. Nadanya terdengar dalam. Tapi sampai sekarang Benaya tidak mengerti apa yang sedang diucapkan temannya.
Ia hanya menghela napas. Mendapati temannya yang bodoh saat ini, sedang berpikir.
Utara menoleh ke arah Benaya, tersenyum miring. "Gue kira, gue bakal jadi cowok paling nakal, petakilan, brengsek. Kayak yang biasanya orang lain bilang. Padahal gue sama sekali nggak pernah nyakitin cewek. Cewek itu ada buat diperjuangin, kali, Ben." Utara menghentikan perkataannya, dan menyentil puntung rokok yang tinggal setengah. "Lo pinter, tapi kadang bego kalau soal ginian."
"Apa harus, Dara mati dulu baru lo mau nerima dia?"
Refleks, Benaya mengucapkan kalimat amit-amit di dalam hati. Dan menatap Utara tajam. "Ya nggak bawa-bawa mati juga," sahut Benaya sewot.
"Halah, gue itu lagi nyontohin yang kayak di sinetron."
Tidak menjawab ucapan Utara, Benaya menyodorkan bungkusan kresek di hadapan Utara. Berisikan makanan yang tadinya akan diberikan pada Dara, karena Benaya tahu kalau Dara belum makan. Tanpa tedeng aling, lelaki dengan lesung pipi kecil menghias wajahnya, langsung menyerobot makanan itu dan segera menghabiskannya.
Ucapan Utara tidak ada yang masuk di pikirannya. Karena sekarang, ia masih memikirkan hal lain. Yang tidak diketahui oleh siapa pun.
Sedangkan tiga orang yang sedang mengumpet di belakang tembok, langsung membelalakkan matanya saat tahu, ada suatu hubungan rahasia antara kedua teman sekelas mereka.
*
"Dia bodo banget sih? Jusnya tadi tu, salah, Ben." Vera menempel pada Benaya lagi setelah acara istirahat mereka selesai. Dan membuatnya risih. Bahkan sejak tadi pagi, gadis itu sudah—mencoba—ada di dekatnya.
"Kenapa juga tadi kamu nyusul cewek itu?"
Benaya masih diam sambil membaca kertas berisi jadwal pensi. Sudah jam satu kurang lima belas menit, dan itu berarti kurang satu jam lagi mereka pulang. Di cuaca yang panas ini, pasti stand minuman yang dijual oleh Intan dan Nike laris. Dan itu berarti Dara sudah tidak diperlukan lagi untuk jadi Si Unyu Stroberi, maskot stand kelasnya. Benaya sedikit lega.
Tatapannya teralihkan dari kertasnya ke Vera. Gadis berjilbab itu memasang muka jutek, seperti menahan sesuatu yang ingin dikeluarkan, menurutnya.
"Lo kebelet boker, Ver?" Kata-kata itu meluncur tepat dari bibi Benaya. Membuat gadis itu membelalakkan matanya. Kesal dan tidak percaya akan ucapan cowok di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benaya dan Dara
Teen Fiction[Sudah tersedia di toko buku] Diterbitkan oleh Elex Media Komputindo Dimulai dari aksi Dara yang meminta Benaya untuk menjadi pacarnya, semuanya mendadak berubah. Benaya sebenarnya tidak membenci Dara, begitu pun sebaliknya. Namun saat keduanya...