36 - β < 3ρ

26.9K 2.4K 539
                                    


setelah baca, baca info di bawah yaa!

**

Malam ini, Benaya dan Dara duduk berdampingan tanpa merasa kaku. Senyum Dara dari tadi terukir, menunjukkan jelas bahwa dia sedang senang. Bukan tanpa alasan, tapi memang karena sesuatu di sampingnya ini ... ah, lupakan!

Dara langsung memejamkan matanya, dan menipiskan bibirnya jadi garis lurus. Beberapa kali, dia melirik Benaya yang sedang menatap lurus ke depan. Permen lolipop ada di bibir Benaya, kacamata kesukaan Dara, ada di pangkal hidung cowok itu. Benar-benar nggak sanggup untuk membuatnya berpaling. Alay memang, tapi baru kali ini, mereka nggak kaku. Nggak pakai otot untuk bicara. Apalagi mereka berdua ini sekarang sedang pergi malam sabtu. Seperti anak remaja biasanya? Bukan, sih, menurut Dara. Dan kalau pun ditanya, pasti Benaya menentang.

Iya, ini malam sabtu. Bukan malam minggu. Berhubung besok libur, jadi Benaya mengajak Dara untuk keluar. Tentunya dengan ijin ibu Dara.

Tanpa melepas permennya, Benaya menyahut, "Ra ... apa lo tahu, alasan fisika itu ada?"

Dara mengerjap. Menoleh ke arah Benaya langsung. "Nggak ngerti. Kenapa emang? Supaya punya kerjaan kali?"

Saat Dara menjawab, Benaya ikut menoleh. Senyumnya terukir walau tipis. Namun di detik berikutnya, wajah Benaya jadi datar. Sumpah, bisa kan, Dara menjawab dengan serius?

"Bukan," gerutu Benaya kesal.

"Ya terus?"

"Fisika ada karena fisika itu dibutuhin, Ra. Kalau fisika nggak ada, siapa yang hitung spidometer motor? Siapa yang rela hitung kecepatan buah jatuh, gaya gravitasi, massa benda, laju pipa?"

Dara memutar matanya malas. "Ya itu namanya kurang kerjaan banget kali!"

Meski kesal, jawaban Dara tadi membuatnya tertawa. Beberapa detik. Dan selanjutnya, dia kembali diam. Pikirannya ada di mana-mana. Berada di dekat Dara sebelum semuanya selesai. Sebelum dia mengakhirinya ... sebelum semuanya benar-benar harus selesai sekarang.

Untuk Dara, untuk dirinya sendiri.

"Kalau nggak ada fisika, lo nggak akan minta ajaran gue dan berakhir kayak gini, kan?"

"Iya sih," Dara mengangguk perlahan, "tapi ... meski nggak ada fisika, lo orang yang mudah untuk dicintai, kok."

BOOM!

Seakan ada bom, otak Dara langsung bekerja cepat. Mulutnya yang asal ucap, langsung ia bekap dengan tangan. Memalingkan wajah dari Benaya yang sedang terkekeh geli. Menertawakan kebodohannya.

"Oh ya? Bukannya Benaya cowok ngeselin dan tukang pemberi harapan palsu?"

Benaya menarik tangan Dara, menggodanya. Bukannya merasa tergoda, Dara malah berdecak dan menatap sengit wajah Benaya yang ada di hadapannya.

"Maaf, Ra. Untuk semuanya. Hm ... lo juga cewek yang mudah untuk dicintai," Benaya tersenyum hangat, "dan juga, lo unik."

Dara diam. Jantungnya berdetak cepat. Menunggu ucapan Benaya selanjutnya.

"Lo tau kan, museum di Jawa Timur yang terkenal itu? Nah di sana ada lo, saking uniknya." Wajah Benaya berubah usil. Senyuman miring tercetak jelas ditambah kedipan sebelah matanya itu, benar-benar membuat Dara salah tingkah.

Benaya dan DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang