28 - Sudah Saling Memaafkan?

44.7K 4.3K 1.1K
                                    

2 8
_______

Apa sih yang ada di otak Benaya?

Atau, apa saja rahasia yang ada di Benaya?

Dara kira hanya berisi soal Fisika, tugas dari guru yang terekam di memori, atau tagihan belum bayar setoran ngerjain Fisika semalam. Nyatanya bisa juga toh, Benaya mikir tentang dia? Ini Dara loh ... Dara. Iya, Dara. Dara yang sering dikasih permen susu macam rasa sama Benaya. Yang sering ngatain nilainya empat dan ngejelekin salah masuk jurusan IPA. Dara yang pas kelas sepuluh dulu suka ngatain Benaya mulut pedas--walau sampai sekarang masih suka ngatain.

Kok bisa tetiba ngomong hal sepribadi ini?

Dia seketika mengerutkan kening sejenak. Ini terlalu lucu. Saking lucunya dia tidak mengeluarkan tawa dan menunggu ucapan Benaya selanjutnya.

"Vera nyuruh gue buat jadi pacarnya karena dia sakit--" Cowok itu melirik Dara yang seolah masih terkejut. Terlihat dari mulutnya yang masih terbuka.

"Tapi gue tahu sebenernya bukan kayak gitu," lanjut Benaya mendadak kagok.

Baru kali ini Dara merasakan otaknya benar-benar limit. Buntu. Jadi, cuma kata 'oh' yang keluar. Bikin Benaya menahan kesal beberapa saat.

"Gue mau berdamai sama lo." Malah kata itu yang keluar dari bibir Benaya.

Damai? Apa itu? Umpat Benaya dalam hati.

"Kita nggak lagi perang, kok," balas Dara cuek. Sambil mengangkat bahu.

"Iya, bukan perang saling tembak. Tapi perang batin." Nggak lucu banget, Benaya mengaku itu.

"Lanjut aja."

"Apanya?"

Saking gemasnya, Dara menampar pelan lengan Benaya. "Ceritanya!"

"Oh ..." jawab lelaki itu pendek, dan segera menyisir pandang ke sekitar. Dia lapar. Tapi nggak pengin makan di sini. Masakan Bu Goei sudah hapal di lidahnya dan ia ingin coba makanan lain. Walaupun satu deret warung di PKL ini sudah ia jelajahi. "Cari makan, Ra? Sekalian jalan."

Dara langsung menatap horor saat Benaya ngomong 'cari makan'. Yang benar saja lah. Ini juga mereka sedang di warteg! Dan di deretan sini juga ada makanan, pedagang yang jualan buat sarapan pagi. Walau nggak seramai sore, tapi tetap saja sudah banyak. Dan apa Benaya nggak mikir, Bu Goei bisa aja palak dia karena cuma mampir tanpa beli. Numpang singgah, terus pergi. Apalagi dengan tampang pelor Benaya yang nggak banget itu. Walaupun, Dara suka.

Benaya yang sudah hapal itu menerawang, apa yang cewek itu pikirkan. "Gue tau lo mikir apa. Udah, cari aja. Di dekat sini kan ada lapangan. Biasanya rame."

Dara langsung melotot. "Tapi kan ini jam kerja dan sekolah. Apa ada? Ini nggak hari Minggu, ya, Ben." Ia menjawab dengan penuh penekanan.

"Gue juga tau," balas Benaya gondok.

Setelah itu, Benaya bangkit berdiri. Lalu menunduk saat Dara masih tetap diam duduk di kursi, menatapnya aneh. "Ayo. Gue tau lo juga lapar."

"Gue tau lo pinter Fisika. Tapi gue nggak tau lo pinter nebak pikiran orang," sahut Dara cuek dan segera pergi duluan keluar warteg.

Benaya yang sudah dihadang oleh Bu Goei itu langsung memberikan senyum kecil. "Bu, makasih ya tempatnya."

"Ndak makan, Mas?" tanya Bu Goei sambil mengelap meja di dekat Benaya.

Ini kayak memberi harapan palsu nggak sih? Benaya membatin, tapi langsung menggeleng merasa bersalah. "Enggak, Bu. Mau coba gado-gado di lapangan," akunya kelewat jujur. Pasti penjual lainnya sudah dibuat kesal oleh ucapan Benaya. Tapi Bu Goei malah tertawa, mungkin menyembunyikan rasa gemasnya.

Benaya dan DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang