NADINE (POV)
Ini menyakitkan, sangat menyakitkan.
Dalam diam, dari balik celah pintu aku melihat Abi berkelakar didepan mereka. Membuat satu ruangan tertawa. Membuatku iri. Seandainya dia bisa seperti itu didepanku pasti akan sangat menyenangkan.Aku ngga bisa memiliki seseorang yang ada didepan mata. Ngga mas Juna, ngga juga Abi. Padahal, kalau boleh kege-eran aku yakin bisa meluluhkannya kalau seandainya saja dia sedikit lebih ramah.
Akan tetapi, kalau mau ditarik kebelakang, Tianlah penyebab perubahan sikap Abi. Kalau saja ngga ada Tian, maksudku, kalau saja Tian ngga membuntuti Risa, Abi pasti ngga akan seperti ini. Dia pasti akan melindungiku.
Mungkin ini bukanlah saat dimana aku hanya bisa berpura-pura ngga tau siapa Tian sebenernya. Meskipun ini bisa saja membahayakan diriku, alangkah baiknya kalau aku mencoba mengorek sesuatu darinya.
Kukeluarkan hape dari saku celana untuk menghubungi Tian. Ngga perlu menunggu lama, teleponku langsung diangkat.
"Hai, Ki." Sapaku setelah mendengar sapaan diujung sana.
"Hai Nad. Sorry tar aku telepon balik ya. Aku lagi meeting."
"Oh. Oke."*****
WRITER (POV)
Tian menutup teleponnya dengan senyum kecil nampak diwajah pucatnya. Setelah memasukan hape kesaku celana, Matanya langsung berubah tajam menatap orang didepannya.
"Seorang dokter terkenal sepertimu seharusnya bisa menjaga sikap. Benarkan, Dokter Juna?"
Tian membuka pembicaraan. Pertanyaannya membuat Juna mengerutkan alis. Mereka berada dalam satu ruangan dengan bau obat-obatan bercampur dengan karbol yang cukup menyengat. Ruangan serba putih itu seakan memantulkan tiap ekspresi mereka dengan jelas.
"Apa maksud Anda?" Juna bersuara. Pembawannya yang tenang membuatnya ngga menyadari bahaya didepannya. Dia menghadapi Tian layaknya pasien.
"Kalau pacar Anda yang terkenal itu tau apa yang Anda lakukan semalam. Kira-kira gimana ya perasaannya?"
Rahang Juna mengeras. Dengan isyarat dia menyuruh suster yang standby diruangannya untuk keluar.
"Maksud lo apa?" Ga ada lagi nada ramah tamah yang terdengar..
Tian mengeluarkan sebuah foto saat Juna memeluk Nadine. Foto itu bikin Juna terbelalak. Dia rampas foto itu dan melihatnya dengan seksama. Meyakinkan apakah itu asli dia atau bukan.
"Siapa sih lo sebenernya? Paparazi? Wartawan? Haters? Oh, pemeras?" Juna masih berucap dengan Nada pelan, santai, namun tegas. "Gue ga suka yang berbelit-belit. Mau lo apa? Uang?"
"Ckckck." Tian terkekeh. "Uang? Uang gue jauh lebih banyak daripada yang lo kira. Gue hanya ga habis pikir, seorang cowok yang udah punya pacar bisa-bisanya dateng nyamperin cewek lain malem-malem dan make acara meluk-meluk. Bahkan menginap. Huaaaahh itu mencurigakan. Apa lo suka sama cewek itu?" Akhirnyaa Tian bersuara.
Juna poker face. Kini dia condongkan badannya. Mengamati wajah Tian. "Kalo bukan uang yang lo mau terus apa? Lo mau laporin ini ke Risa? Atau memgangkat ini di media? Bikin heboh 1 Indonesia? Tapi satu hal yang harus lo tau, Nadine udah seperti adik buat gue. Paham?"
Tian geleng-geleng. "Apa boleh gue begitu? Melaporkan ke Risa? Angkat ini ke media? Bikin heboh 1 Indonesia?" Kini balik Tian yang menyondongkan badan. Mengamati wajah Juna yang membeku. "Kebimbangan hati lo hanya akan menyakiti Risa dan Nadine. Sadarlah Dokter Juna."
Juna tertawa remeh. "Sepertinya lo ngefans berat sama cewek gue saudara... Luki." Ucapnya seraya melihat nama dari data yang dia pegang.
"Ckckckck! Salah." Tian berdiri pindah duduk diatas tempat tidur pasien. "Sebaliknya. Gue fans Nadine nomor 1. Gue ga suka liat lo deket-deket sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Abi & Nadine
ChickLitNadine : Kalau tiba-tiba kamu dapet tiket buat jadi pacar seorang idola yang selama ini kamu gilai, apa yang akan kamu lakukan? Tapi disatu sisi kamu lagi mencintai seseorang. Mencintai seseorang yang begitu dekat denganmu, namun terasa saaaangat ja...