PART XII

127 7 1
                                    

"Hallo Dri ...." sapa Vanya dengan suara serak khas orang yang sehabis menangis.

"Hei, are u ok Van? Kamu nangis?," tanya Drian yang heran mendengar suara Vanya.

Mendengan nada khawatir dari Drian, tangis Vanya semakin pecah. Vanya sungguh takut, dia takut kalau harus mendapati Reyhan yang hanya berpura-pura menyayanginya.

Vanya menyayangi Reyhan sungguh, dia tak ingin kehilangan lagi. Kenapa kenyataan begitu pahit ... Ditambah dengan Reyhan yang tak pernah menghubungi Vanya sehabis kejadian di Mall saat itu.
Vanya ... rindu Reyhan ... Dia rindu masa di mana hanya ada tawa yang di isi bersama Reyhan ....

Drian sendiri bingung karena yang terdengar hanya isakan Vanya, "nyalain Gps kamu van, saya mohon," ujar Drian dengan nada lirih.
Dengan tangan bergetar Vanya menyalakan Gps nya tanpa membalas ucapan Drian. Drian yang tengah mengecek lokasi Vanya merasa heran, 'mengapa Vanya ada di tempat parkir? Bukankah di bertemu Laura di caffe?,' batin Drian.

Dengan segera Drian meninggalkan pekerjaannya, hatinya kalut, apa lagi setelah mendengar Vanya yang tengah menangis. Dengan kecepatan gila-gilaan Drian mengendarai mobilnya menuju lokasi Vanya.

Dan benar saja terlihat mobil milik Bunda Marsha terparkir disana. Dengan perlahan Drian menghampiri mobil tersebut. Setelah yakin kalau Vanya ada di dalam, Drian masuk ke kursi penumpang di samping pengemudi.

Di lihatnya Vanya yang tengah menelungkupkan wajahnya di stir mobil. Bahunya terlihat naik turun, menandakan kalau dia tengah menangis.

Hati Drian teriris melihat Vanya menangisi laki-laki lain. Namun Drian sadar diri, dia bukan siapa-siapa Vanya. Dia hanya orang lain dari masalalu Vanya yang tiba-tiba masuk ke kehidupan Vanya.

Di tariknya perlahan tubuh Vanya ke dalam pelukannya. Vanya yang kini begitu rapuh tak menolak sama sekali. Vanya butuh sandaran, dia butuh orang lain untuk berbagi, dan Drian selalu menjadi pilihannya.

"Sudah Van, jangan menangis. Saya gak suka lihat air mata kamu," ujar Drian sembari mengusap punggung Vanya, menenangkan.

"Re ... Reyhan Dri,"

Drian tahu, Reyhan selalu dengan mudah membuat air mata Vanya jatuh. Dengan perlahan Vanya menceritakan kembali apa yang di dengarnya dari Laura.

Drian hanya mendengarkan tanpa berniat mengomentari, "Aku sayang sama Reyhan Dri," lirih Vanya di akhir ceritanya.

Drian hanya mematung mendengarnya, gadis yang di sayangnya, gadis yang di tunggunya, gadis yang kini ada di pelukannya, ternyata menyayangi orang lain. 'Jadi begini rasanya, memeluk orang yang disayangi sekaligus mendengar kalau dia menyayangi orang lain' batin Drian.

"Saya juga hancur Van," bisik Drian tanpa suara. Drian tak ingin menambah beban Vanya dengan perasaannya.

Drian lebih memilih hancur untuk melihat Vanya bahagia, rasa sayangnya terlalu besar untuk gadis di pelukkannya itu.
Tiba-tiba saja tubuh Vanya menegang, rasa sakit itu kembali menyerang tubuh Vanya.

"Dri ... Drian ... O ... Obat," lirih Vanya terbata karena menahan rasa sakit yang menyerang tubuhnya tiba-tiba ini.

Drian yang mendengar suara lirih Vanya tersentak ketika Vanya meminta obat.

"Van? Kamu kenapa? Hei ... kamu ... sakit?" tanya Drian ragu. Vanya hanya menggelengkan kepalanya, mencoba menggerakan tangannya menunjuk ke arah tasnya yang ada di dashboard tepat di depan Drian.
Melihat arah pergerakan tangannya, Drian segera mengecek tas Vanya, mencari obat yang di maksud Vanya.

Setelah obat itu di temukan, Vanya segera meminum beberapa butir obat tersebut. Dengan perlahan rasa sakit itu hilang.

Drian sendiri hanya menatap Vanya datar, "Sejak kapan kamu minum obat pereda rasa sakit?" tanya Drian yang sudah mengalihkan pandangannya dari arah Vanya.

VANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang