15

3K 90 0
                                    

Annisa POV
hari ini adalah hari pernikahan suamiku, entah, aku harus bagaimana? Aku ikhlas sungguh, aku sudah ikhlas dengan skenario Allah, aku ikhlas kalau aku harus berbagi dengannya, tapi aku tidak bisa seikhlas Nabi Ismail a.s aku tidak bisa seikhlas beliau, aku tidak tau kenapa aku sepertinya susah untuk menerimanya, padahal aku sendiri yang menyuruh Fahri untuk menikah dengannya, tetapi mengapa begitu sulit? Aku sangat sulit, ini sangat sulit. Ya Allah kuatkan hambaMu ini, kuat ya Rabb

"Kenapa kamu ngelakuin ini nak?" Tanya Bunda mertuaku, ya memang ini sudah aku bicarakan dengan semua anggota keluarga, semuanya sampai aku fikir tidak ada yang tersisa

"Aku tidak tau Bun, mungkin ini sudah takdir" ujar ku datar, masih dengan tatapan yang hanya melihat ke arah halaman luas yang di penuhi tamu karna acara akad dan resepsi di jadikan satu

"Jangan bicarakan takdir Annisa! Kamu bukan Tuhan yang gampang menyebut ini semua takdir!! Bilang sama Bunda, wanita itu mengancam kamu apa?" Tanya Bunda yang aku rasa membuat air mataku turun perlahan dan semakin deras

"Sofie tidak mengancam aku apa-apa Bun, ini sungguh aku yang meminta" jawab ku masih dengan air mata yang basah

"Baik kalau benar ini semua kamu yang meminta, lantas kenapa kamu meminta Fahri melakukan ini?" Tanya Bunda lagi dengan pertanyaan yang sama

"Aku-- aku--" jawab ku terbata-bata, entah kenapa lidahku terasa kelu untuk memberikan alasanku untuk meminta Fahri menikahi Sofie

"Kenapa kamu nggak bisa jawab? Kamu sadar An, yang dia lakukan itu kelewatan!! Seharusnya kamu tidak usah meminta Fahri menikahinya, kamu lihat itu kamu lihat, dia begitu senang, diatas penderitaan kamu, Bunda tidak bodoh untuk semua ini Annisa, Bunda tidak bodoh! Dia itu terlalu licik untuk menjadi istri Fahri, dia itu terlalu jahat untuk di nikahi! Buka mata kamu Annisa buka! Dia itu tidak pantas untuk Fahri An, tidak pantas! Bunda memilih kamu untuk Fahri karna Bunda yakin kamu bisa menjadi makmum yang baik untuk Fahri, menjadi istri Fahri dengan baik, merawatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Lalu kenapa kamu memberikan tugas itu kepada wanita itu? Kenapa? Apa kamu sudah bosan untuk merawat Fahri?" Pertanyaan Bunda seakan menusukku, mana mungkin aku mau meninggalkan suamiku, Fahri, yang sangat aku cintai, itu tidak akan terjadi

"Tidak Bunda tidak, bukan itu yang aku inginkan, aku hanya ingin membantu Sofie untuk meraih cintanya, untuk terus bersama orang yang di cintainya Bun" ujarku dan memegang Bunda, wanita yang sekarang menjadi ibuku juga, wanita yang pastinya merasakan sakit yang aku derita saat ini

"Cinta tidak harus memiliki Annisa, itu sudah menjadi konsekuensi dia untuk mencintai Fahri, kalau Fahri tidak mencintainya tidak ada yang bisa memaksanya" ujar Bunda sambil berkata lembut di depanku

"Aku yang memaksanya Bun, aku yang memaksa Fahri mencintainya" ujarku lirih, dengan kepala tertunduk aku terus menguatkan hatiku untuk terus menerima ini semua

"Tetap saja, Fahri tetap menicintaimu sayang, tidak ada yang lain" ujar Bunda menguatkanku

"Sekarang kamu ganti bajumu, jangan sampai suamimu tau kalau kamu terus disini dan keluar dengan baju yang basah dengan air mata" ujar Bunda dan langsung berlalu pergi meninggalkanku sendiri lagi

Tanpa menunggu waktu lagi, aku langsung mengganti bajuku untuk menghilangkan jejak air mata yang tembus mengenai bajuku, dan tak lupa aku mempoles make-up natural di wajahku, terutama bagian mata yang terlihat sembab

Aku turun ke bawah, menyibukkan diri untuk membantu apa yang aku bisa, walaupun banyak yang menolak aku untuk membantunya dan berkata 'jangan bantuin ini ah, sana temani suamimu nanti istri barunya nempel terus' begitulah kira-kira yang aku dengar, entah kenapa banyak orang yang tidak suka dengan Sofie, kecuali teman-temannya

"Oh ini toh istri pertamanya Sof, mendingan lo kemana-mana kalii, lo udah cantik, seksi, rambut lo panjang. Kalo dia bisa apa? Palingan cuma bisa di dapur iya nggak" cemooh teman-teman Sofie terhadapku, aku yang mendengar itu hanya bisa menarik nafas dan membuangnya dengan berat, entah harus sampai kapan aku menahan tangisku ini, sungguh untuk hari ini aku sangat rapuh, kenyataan yang ku buat sendiri tidak sesuai dengan apa yang ku harapkan, ternyata ini terlalu menyakitkan, pertahanan yang aku kira sudah menguatkanku kini akhirnya roboh, semuanya hancur sampai tangan kekar ini menangkapku yang sudah tidak sanggup untuk menahan diri, aku mual, kepalaku pusing dan tidak sanggup untuk berdiri sendiri. Sampai akhirnya aku melihat Fahri menangkapku, aku melihatnya memanggil namaku sampai tiba-tiba semuanya gelap

Cinta Dua Hati [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang