3. First Moment

21.2K 1.2K 28
                                    

Kebanyakan orang berharap dapat memulai hari dengan obrolan hangat di meja makan sambil menikmati menu makanan yang sama––atau berbeda, itu terserah bagaimana baiknya mereka. Jelasnya mereka menganggap meja makan di pagi hari sama hangatnya dengan pelukan keluarga, karna di area inilah semangat-semangat seringkali terucap untuk bekal beraktifitas. Seiring majunya peradaban manusia, kegiatan tersebut seperti tidak lagi mendapat porsi utuh. Banyak dari mereka yang memilih melakukan makan pagi di jalan, di kantor, di sekolah atau di kampus.

Oleh sebab itu, pertemuan yang seharusnya menjadi hal wajib di pagi hari perlahan hilang didepak kepentingan. Mereka beranggapan, selagi mereka masih berada di satu atap yang sama dengan kumpulan manusia bertalian keluarga, hal-hal seperti itu hanyalah perkara sepele.

Kenyataan ini pula yang setiap pagi terjadi di keluarga Ganesa. Salah satu anggota keluarganya lebih banyak absen dari kegiatan menyantap makanan di pukul enam lebih sepuluh menit pagi. Dan anggota yang dimaksud adalah Galendra.

Putra kedua Ganesa tersebut cenderung malas jika harus berbasa-basi, menebar kepalsuan yang dia sendiri sudah bosan melakukan itu. Disini, alasan utama Galendra adalah sang ibu tiri, Dian. Beberapa waktu Galendra mengakui kalau Dian adalah wanita baik, bahkan sikapnya tidak pantas disandingkan dengan imej seorang ibu tiri yang kejam. Tetapi, sebaik-baiknya Dian, Galendra tetap sukar menerima kenyataan kalau karena wanita itu sang ayah berpaling dari ibu kandungnya. Delapan tahun hidup bersama lantaran keberadaan ibunya tidak diketahui semenjak ayahnya berselingkuh, Galendra terpaksa membetahkan dirinya di bangunan yang bukan lagi layak disebut rumah, melainkan hanya kekosongan yang hakiki. Kehampaan luar biasa.

"Abang?"

Galendra berada di tengah pintu ruang makan saat suara si kecil Ganindra memanggilnya. Terpaksa, cowok itu menengok, mendapati satu meja persegi panjang tengah ditempati oleh Ganesa, Dian, Ganindra dan Galena–kakak kandungnya.

"Sarapan dulu."

Galendra menghela nafas. Kakinya bergerak memindahkan posisi tubuhnya, tapi dia tetap tidak menjangkau lantai keramik di ruang makan, hanya berdiri di ambang pintu. Dasi yang tersampir di bahu, seragam putih yang dikeluarkan, serta tatanan rambut acak-acakan––ya itulah Galendra, selalu terlihat slengekan tanpa meninggalkan aura ketampanan yang dia miliki.

"Abang bisa telat kalo sarapan dulu, angkotnya juga keburu penuh," jawab Galendra. Dia menyempatkan diri melirik pada Ganesa, melihat segala ketenangan yang dimiliki pria itu untuk menikmati santapan paginya.

"Mobil lo kemana dah?" Galena menyahut, menyedot fokus semua orang––termasuk Ganindra. Cewek itu menaikkan bahu karna dia memang belum tahu insiden semalam antara ayah dan adiknya.

"Disita dept collector," sesantai-santainya Galendra menjawab, dia paham kalau ada sedikit geliat yang diperlihatkan oleh Ganesa.

"Oh, iya gue paham," Galena bukan tipe cewek lelet, maka dia langsung mengerti apa maksud Galendra. Toh kejadian semacam ini sudah sering terjadi. Mau disita berapa kalipun, kenakalan Galendra tidak berkurang sedikitpun.

"Bawa bekel aja ya, Bang," Dian buka suara. "Biar Tante siapin, Abang mau apa?"

"Nggak usah repot-repot," ucapan Galendra menyetop gerakan Dian. Wanita itu kembali duduk.

Galena melihat situasi memasuki fase tidak mengenakkan. Dia pun buru-buru meminum susunya lantas mendorong kursinya ke belakang sehingga ada celah untuknya keluar dari penjara meja makan ini.

"Bareng gue aja, naek angkot yang ada lo malah telat."

"Telat ya nggak usah sekolah lah, Kak," jawab Galendra seenaknya.

Seventy Eight Pages ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang