Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Galendra keluar dari mobilnya yang sudah terparkir rapi di dalam garasi.
Cowok yang masih mengenakan seragam putih abu-abu--minus dasi, karna benda itu berada di dalam tas--membuka pintu di pojokan yang terhubung dengan dapur. Suasana rumahnya sudah gelap. Hanya ada pencahayaan dari lampu dapur yang memang dibiarkan menyala pada waktu malam. Begitu Galendra selesai menutup celah yang dia gunakan untuk memasukkan tubuh, Galendra berjalan menuju tangga agar dia bisa lekas masuk ke kamar.
Tangan kanan Galendra masuk ke saku celana dan tangan kirinya memegang tali ransel warna abu-abu tuanya. Decit sepatu vans yang dia gunakan menjadi irama tersendiri selama perjalanan yang memakan waktu sekitar satu menit--atau mungkin kurang dari itu.
"Tumben jam segini udah pulang?"
Galendra hafal siapa pemilik suara berat tersebut. Bahkan tanpa harus menengok, Galendra terlampau paham kalau sebentar lagi akan ada perdebatan membosankan di tempat ini.
Kalau sudah dihadapkan situasi semacam ini, Galendra selalu berharap kalau dia dilahirkan sebagai seseorang berkemampuan khusus, seperti menghilang, misalnya. Tapi jangan kalian sangka Galendra berpikiran begini karna dia takut, ingat, dia hanya terlalu bosan. Setiap malam ada saja kalimat-kalimat yang seharusnya tidak keluar dari dua orang berjenis kelamin sama dan mempunyai ikatan darah yang sangat kental.
"Kenapa diem? Bingung cari alesan?" suara itu lagi--dia adalah seorang pria paruh baya bernama Ganesa yang mendapat mandat dari Sang Penghembus Nafas sebagai ayah dari cowok bengal bernama lengkap Galendra Bima Perkasa.
Galendra mendengus, membalikkan tubuhnya sambil menggaruk hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Abis ngerjain tugas," jawabnya santai. Dua mata tajam Galendra menyorot sosok sang ayah. Rambut bagian depannya yang sebagian menutupi dahi dibiarkan berantakan, berkoordinasi dengan garis rahangnya yang tegas serta bibirnya yang terkatup rapat untuk membentuk ekspresi tegas, berbanding terbalik dengan gaya bicaranya yang tadi seenaknya.
Ganesa melangkahkan kakinya ke depan, dua tangannya saling menaut di belakang punggung, begitu sampai di dekat Galendra, pandangannya menelusuri setiap inchi tubuh putranya yang tingginya kini telah mencapai 180cm.
Wajah Ganesa yang telah dihiasi beberapa garis keriput dimajukan ke dekat tubuh Galendra, lalu setelah itu hidungnya terlihat mengendus sesuatu.
"Ngerjain tugasnya di club?"
Galendra berdecih pelan. Pandangannya dia lemparkan ke samping kanan sebelum akhirnya dia kembali bersitatap dengan ayahnya. "Di rumah Danang, kenapa? Bau rokok? Ya emang ngerokok cuma bisa dilakuin di club? Papa juga ngerokok kan di rumah?"
"Tapi setidaknya Papa nggak punya reputasi buruk kayak kamu waktu Papa muda dulu."
"Reputasi?" tanya Galendra dengan nada kaget campur mengejek. "Reputasi macem apa yang bisa ditunjukin sama anak korban broken home, Pa? Aku udah ngelakuin apa yang menurut aku bener dan ngejauhin apa yang menurut aku nggak bener."
"Oh, jadi begitu?" Ganesa meredam emosi yang telah menggelitik dirinya, menghadapi putranya yang satu ini membutuhkan kesabaran ekstra. "Makin pinter ya kamu. Ada yang nyeramahin kamu di club sana?"
"Malem ini aku lagi capek, males debat sama Papa. Besok lagi aja ya," ucap Galendra lalu memutar tubuhnya kembali menghadap tangga. Ranselnya yang tadi tersampir di bahu kiri sengaja dia pelorotkan agar bisa dia seret.
Rasa lelah yang mendera tubuh Galendra harus segera disingkirkan, dan satu-satunya cara hanya dia perlu mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang kotor dan berkeringat, lalu berbaring sempurna di atas ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventy Eight Pages ✔
Roman pour Adolescents[Teenfict Story] Bagaimana jika pada akhirnya aku yang terlebih dulu jatuh cinta padamu?