Galendra meniup asap hasil pembakaran batangan nikotin yang terselip di dua bagian bibirnya. Bola matanya bergerak-gerak memandang ke atas, mengamati gumpalan awan putih berarakan.
Sudah dua minggu, rasanya baru kemarin Galendra mendengar kenyataan pahit mengenai ibunya. Sekarang hatinya sudah pulih secara perlahan, berkat kerja keras waktu yang terus memicu semangatnya. Kepulihan hatinya sayangnya tidak beriringan dengan sikapnya terhadap Ganesa. Galendra masih marah. Mau mengamuk pun rasanya percuma, dia tidak mau menambah dosa. Yang selama ini dia lakukan adalah membangun tembok setinggi-tingginya agar Ganesa tidak dapat menggapainya. Tembok yang kuat, bentuk pertahanan diri dari Galendra.
Berkali-kali Ganesa mengajak Galendra bicara, berdua saja, namun Galendra selalu menolak. Seribu alasan dia berikan agar dia tidak lagi terlibat percakapan dengan Ganesa menyangkut apa, bagaimana dan mengapa titik kehidupannya berada pada level seperti ini. Galendra lebih suka berdiam pada kotak yang sengaja dia ciptakan. Dimana yang ada hanya kenangan akan kebahagiaannya bersama ibunya beberapa tahun yang lalu, dan kebahagiaan itu dia jadikan bekal untuk terus berdiri menatap hari esok yang terbentang. Bahwa apa yang telah ibunya ajarkan akan Galendra terapkan dengan baik.
Anak itu sudah lama tidak mengunjungi klub malam, tidak balapan liar, tidak mencari masalah di sekolah dan juga tidak membolos. Perubahan kecil yang semestinya Galendra lakukan dari dulu. Tapi tak apalah, baginya selagi masih ada waktu, kesempatan untuk memperbaiki diri selalu ada.
Apa saja yang berubah dari diri Galendra sedikit banyak terpengaruh oleh campur tangan Athena. Galendra sempat merasa heran, sosok Athena yang begitu ajaib mampu menumbuhkan tunas-tunas semangat dalam dirinya. Cewek itu mengajarkan pada Galendra bagaimana caranya menghargai hidup dan bagaimana membuktikan kepada sekitar kalau diri kita berguna bagi mereka. Tidak harus terlibat aksi brutal untuk menjadikan diri dikenal, yang harus dilakukan justru menyebar kebaikan agar mereka mengenal kita lewat sisi positif.
"Bengong aja lo, Ndra," Adam sudah ada di sebelah Galendra. Sikutnya menyenggol, lantas mengangsurkan sebotol minuman teh dingin pesanan Galendra. "Mikirin Athena kan pasti. Hahaha!"
"Ngaco lo," ucap Galendra, tidak sepenuhnya jujur, karena bayangan Athena memang muncul di kepalanya. Galendra mengalirkan air teh dari dalam botol menggunakan sedotan kuning. Sekejab, dahaganya hilang disapu kesegaran. "Danang gimana?"
"Katanya sih masih nggak enak badan, ya maklum lah namanya juga kena cacar air. Heran gue dapet darimana dah tuh bocah virusnya, kayak anak kecil aja," jawab Adam, sama seperti Galendra bibirnya juga menjepit sedotan setelah selesai bicara.
"Yakali yang boleh kena cacar air cuma bocah."
"Lah kan emang kebanyakan gitu, Ndra. Gue aja kena pas dulu kelas enam SD. Lo pernah kena cacar air belum sih?"
"Kepo lau!"
"Yah anjing, itu namanya satu bentuk perhatian dari gue buat lo. Kita kan sohib sejati, Ndra. Hahaha. Pertemanan kita begitu kental," ucap Adam sambil menggerakkan tangannya, membentuk sesuatu yang tidak terbaca.
"Kental, lo kata ingus?"
"Iye kan lo ingusnya, gue idungnya, terus si Danang upilnya. Ya ampun, manis sekali bukan?" tangan Adam menepuk-nepuk punggung Galendra.
"Perumpamaan lo najis banget, tai!" balas Galendra. Dia melirik penunjuk jam dan bergegas menghabiskan minumannya. "Gue cabut."
"Mau kemana lo?" seru Adam. Galendra yang sudah beranjak tidak menjawab dan malah memberikan satu kedipan mata. "Bilang aja lo mau jemput Athena. Akhirnya lo nggak jadi homo, Ndra. Hahaha!"
Prukk!!
"Sialan kampret!" gerutu Adam karena akibat sindirannya, Galendra melempar bekas kotak teh ke arah kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventy Eight Pages ✔
Novela Juvenil[Teenfict Story] Bagaimana jika pada akhirnya aku yang terlebih dulu jatuh cinta padamu?