14. Undangan Kedua

11.2K 868 20
                                    

Malamnya, kurang lebih dua jam setelah Galendra mengantar Athena pulang, gantian Miko yang datang, bermaksud mengembalikan tas Athena. Walaupun Athena sudah melarangnya, Miko tetap bersikeras, karena menurutnya buku-buku yang ada di dalam tas tersebut akan dibutuhkan Athena esok hari.

"Thanks lho, Mik," ucap Athena. Dia dan Miko menempati dua bangku rotan di teras. Mata Athena sudah menyipit karena saat Miko mengabarinya tadi, dia sudah sempat terlelap. "Aturan besok aja kan bisa."

"Nggak papa, Na. Takutnya ada yang lo butuhin disitu," jawab Miko tenang. Gurat lelah tercetak di dahi cowok itu. Wajahnya pun masih nampak berminyak.

Athena tahu sahabatnya itu pasti sangat kelelahan karena kegiatan hari ini, tapi masih saja ada waktu untuk mengantarkan tas miliknya. "Mau minum apa, Mik?"

"Nggak perlu, Na," ujar Miko disertai gelengan. "Sori ya, lo udah tidur pasti."

"Iya sih. Hehe. Keliatan banget ya muka gue?" tanya Athena sembari mengusap pipinya.

"Keliatan lucu," Miko bergumam, tapi kemudian tangannya terulur untuk menyentuh ujung hidung Athena. "Tadi kemana aja?"

"Sama si songong?" sahut Athena. Miko tersenyum tipis. "Cuma mampir beli makanan, lewat drive thru sih. Eh, tapi sebelum itu nganter temen dia dulu."

"Temen?"

"Iya, ketemu di jalan, nggak sengaja."

"Cowok?"

"Cewek, Mik."

"Oh," ucap Miko datar. "Pacarnya kali, Na."

Hembusan angin yang menerpa wajah Athena memiliki kesamaan waktu dengan tawanya yang tiba-tiba pecah. Lucu saja kedengarannya, menyebut Bethani sebagai pacar Galendra. Ya meskipun, secara teori, mereka berdua sedang terlibat dalam sebuah usaha perjodohan. Tapi, mereka berdua sama-sama menolak, bukan?

Perlahan tawa Athena mereda, perasaannya berubah aneh ketika membayangkan kemungkinan suatu saat salah satu atau mereka berdua menyetujui perjodohan tersebut. Waktu menyimpan sejuta misteri, kan? Termasuk apakah kata-kata Galendra tadi tetap sama atau akan berubah.

"Na?" merasa Athena berubah, Miko lantas menggerakkan tangannya di hadapan cewek itu. "Na, ngelamunin apa sih?"

"Eh, anu– nggak ada kok, nggak ngelamunin apa-apa," jawab Athena sambil meremas tali ransel di pangkuannya.

"Galendra ya?"

"Apa deh Miko ini," kata Athena lalu meninju halus lengan Miko.

"Jangan boong, Na."

"Boong apa? Duh, Miko, gue emang lagi kenapa sih? Biasa aja kok perasaan."

"Lo suka kan sama Galendra?"

Pertanyaan Miko masuk dengan mudahnya ke jaringan otak Athena, lalu mengajaknya berpikir, apa jawaban yang harus dia keluarkan. Athena mengakui, kalau sebenarnya ada sisi di diri Galendra yang mampu membuatnya nyaman. Dibandingkan saat pertama kali mereka bertemu dulu, sekarang Athena dapat melihat Galendra secara lebih jauh. Bukan Athena ingin sok tahu, hanya saja kilatan mata yang terpancar saat Galendra berbicara padanya tidak lagi menyala-nyala penuh keinginan untuk terlihat besar di hadapan Athena, melainkan Galendra lebih berusaha agar dia sejajar dengan Athena.

Kata-kata Galendra selama ini padanya memang tidak banyak berubah. Mereka juga masih sering berdebat untuk hal kecil. Namun, ada ruang yang digunakan Athena untuk dapat menyimak setiap perlakuan Galendra terhadapnya. Cowok itu menjadi lebih banyak bicara, menjadi lebih banyak bercerita.

Seperti halnya saat dia menceritakan soal Bethani. Mungkin, kalau Galendra masih sama seperti dulu, Athena dapat menangkap beberapa ejekan atau gunjingan yang cowok itu sisipkan, tapi tadi tidak ada sama sekali hal buruk itu, Galendra bercerita seolah Athena adalah teman akrabnya. Galendra berbagi seolah mereka memang sengaja berkenalan untuk berdekatan, bukan menuai perdebatan.

Seventy Eight Pages ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang