4. Dua Kali Sehari

17.4K 1.1K 22
                                    

Galendra dan Danang merasakan tarikan kuat dari tubuh bagian belakang mereka, memaksa langkah mereka terhenti akibat sedikit terhuyung. Begitu menengok, sosok Adam berdiri tegap dengan tampang berhias cengiran lebar. Tangannya masih menempel pada kedua ransel temannya.

"Kok aku ditinggal sih? Pada jahat," ucap Adam menggunakan nada menjijikkan, ditambah lagi kedua tangannya kompak merangkul Galendra dan Danang. "Kangen tau sama kalian."

"Pengen muntah," desis Galendra.

Kemudian Danang menyambung dengan berucap, "Pengen boker."

"Malesin deh ah," Adam sok cemberut. Rangkulannya terlepas lantaran desakan dari kedua cowok yang telah dikenalnya sejak bangku sekolah dasar.

Galendra melirik sekilas, tidak tertarik untuk menanggapi ocehan Adam. Rokoknya yang sudah kecil dihisapnya sekali lalu dibuang ke tanah, sembari berjalan Galendra menginjak benda itu sampai gepeng.

Kegiatan yang bertentangan dengan aturan sekolah tersebut dapat dilakukan oleh Galendra karena kini dia bersama dua temannya sudah berada di dekat warung Mpok Atun. Biasanya sebelum pulang––atau main entah kemana––mereka nongkrong dulu disini. Walau hanya sekedar ngobrol setidaknya itu membantu menetralisir otak mereka dari tumpukan materi pelajaran selama satu hari ini.

Jika dipikir-pikir, ini adalah sebuah keajaiban karena selama tiga hari ini Galendra, Adam dan Danang tidak pernah absen sama sekali. Kebiasaan membolos mereka sepertinya berkurang, atau memang sedang tidak ada rencana. Hanya mereka yang tahu, terkadang semua dapat terlaksana tanpa rencana.

"Inget nggak sama cewek yang ngegebrak meja pas di kantin tadi?" tanya Danang ketika warung Mpok Atun sudah semakin dekat, bahkan suara bising gerombolan anak terdengar tambah jelas.

"Ingetlah! Tai, udah pengen gue kasih pelajaran aja tuh cewek. Beraninya ngebentak kita."

"Tapi ya Dam––" omongan Danang yang sepertinya membawa mereka pada sebuah anggapan, memberi efek pada perlambatan gerak kaki secara otomatis. "––kalo dipikir-pikir, tuh cewek manis juga. Mukanya gemesin gila!"

"Dih, nggak waras lo, kuya!" protes Adam tidak setuju. "Cewek cupu gitu lo bilang manis, beda lah sama Pingkan and the gank, apanya yang gemesin coba?"

Di sekolah memang sering terjadi pengelompokan seperti itu, dimana ada pembagian antara kelompok anak-anak hitz, anak-anak tukang rusuh dan anak-anak polos alias cupu.

Di kelompok pertama ada kalangan yang disebut hitz. Seperti biasanya, pergaulan anak remaja jaman sekarang didominasi oleh persamaan kasta, yang menempatkan posisi mereka sejajar walau sebenarnya terkadang kekurangan mereka lebih banyak daripada anak-anak biasa. Banyak anak yang terlihat mentereng dari segi penampilan, tapi kemampuan otaknya di bawah rata-rata. Dan St. Morris mempunyai Pingkan dan kroni-kroninya dalam kelompok ini.

Untuk kelompok yang sering keluar masuk ruang guru, menjalani hukuman mulai dari tempaan fisik sampai skors, mereka sebenarnya hanya merasa bahwa kebosanan saat belajar dapat disiasati dengan kegiatan-kegiatan diluar aturan yang berlaku. Seolah mereka ini adalah jagoan, memiliki wibawa yang padahal bukan seperti itu seharusnya diterapkan. Kalau kumpulan hitz mempunyai Pingkan sebagai bintangnya, maka kumpulan anak-anak nakal ini mengusung nama Galendra sebagai rajanya. Banyak anak tunduk padanya. Dia selalu terlihat besar atas apa yang dia lakukan, walau hanya secuil saja.

Nah, untuk kelompok terakhir dihuni oleh mereka yang mempunyai kadar ketenaran biasa saja––bahkan tidak ada sama sekali. Sejujurnya, kalau boleh dibandingkan, sekolah akan terlihat lebih patut dibanggakan kalau semua muridnya masuk dalam kelompok ini. Mereka yang polos dan membatasi diri untuk tidak terlibat pelanggaran dalam bentuk apapun justru merupakan aset berharga.

Seventy Eight Pages ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang