10. Akhirnya Balapan

10.8K 857 18
                                    

Wangi parfum Black Code by Giorgio Armani mengalahkan segala bau yang ada di kediaman besar Ganesa. Pemilik parfum itu sedang turun menapaki tangga menggunakan alas kaki vans yang nampak bersih dan rapi––karena ketika sekolah dia lebih suka memakai sepatu buluk, lebih nyaman saja, begitu alasannya.

Kenyamanan yang biasanya dia peroleh melalui salah satu benda itu berbanding terbalik dengan keadaan malam ini. Galendra berpenampilan rapi, menggunakan setelan kemeja biru tua dan celana jeans senada, tatatan rambutnya meski terlihat sedikit acak-acakan namun sisi kerapiannya tetap terjaga. Dapat dibilang, malam ini Galendra benar-benar terlihat maskulin. Munafik kalau ada cewek yang sanggup menampik pesona cowok itu barang sedetik saja.

Sebenarnya, bukan tanpa alasan Galendra tampil seperti ini. Dia memang akan pergi ke rumah cewek yang notabene selama ini dia kenal melalui perdebatan konyol tanpa pernah berakhir baik, tapi alasan Galendra ingin terlihat sempurna ketika bertemu dengan Rianti menjadi sumber dari segalanya. Entah mengapa, Galendra merasa dekat dengan Rianti, seolah ada sesuatu yang tidak terlihat tapi mampu membuatnya merasa nyaman ada di dekat wanita itu. Galendra dapat merasakan kasih sayang dari Rianti meski dia sendiri tidak berhak atas apapun.

Omong-omong, Galendra terpaksa berangkat sendiri malam ini karena Galena tidak bisa ikut. Galena masih ada acara di kampus, dan tadi sore dia sudah sempat memberitahu Athena agar Athena memberitahu Rianti. Sementara Galenapun sudah memberitahu Aqila juga.

"Galendra?"

Panggilan Ganesa menyamai detik dimana Galendra menyentuh lantai satu setelah dia selesai menggulung lengan kemejanya sebatas sikut. Galendra menoleh, mendapati Ganesa tengah berjalan menghampirinya.

Mau apa lagi?––begitu pemikiran Galendra karena sungguh, dia tidak mau ada pertengkaran antara dirinya dengan Ganesa yang membuat moodnya rusak malam ini.

"Mau pergi kemana?" tanya Ganesa yang tumben memakai nada biasa, tidak ada penekanan dan tidak ada bentakan.

"Ke rumah temen, diundang makan malem. Kenapa?"

"Naik apa?"

"Taxi banyak, gojek juga ada."

Ganesa tersenyum, sesuatu yang jarang sekali Galendra lihat dari sosok pria besar di hadapannya. Selama ini, bukan Galendra alasan Ganesa merasa bahagia, melainkan Dian dan Ganindra. Galendra bahkan sempat beranggapan kalau sebenarnya keberadaannya disini tidak berarti apa-apa, selain menjadi sasaran amuk Ganesa atas apa yang dia anggap mencari kesenangan.

Dari balik punggungnya, Ganesa mengeluarkan tangan berisi sebuah kunci ke depan Galendra. Dia tahu, hukumannya belum berakhir, namun jika ada maksud lain untuk hal ini, Galendra harus mencari tahu dulu. Ganesa bukan orang yang pendiriannya mudah goyah, sekali dia bilang A akan sulit berubah menjadi B.

"Ada apa?" tanya Galendra, tangannya belum bergerak sama sekali.

"Ada apa– kenapa?"

"Papa nggak biasanya baik sama aku. Hukuman aku belum ada sebulan."

Lagi-lagi, pria berusia lima puluh lima tahun itu mengeluarkan senyumnya. Kali ini, tingkat kewaspadaan Galendra meningkat satu level. Ganesa menarik tangan Galendra, lalu meletakkan kunci mobil warna hitam itu pada telapak tangan putranya.

"Hukuman kamu berakhir malam ini," ucap Ganesa. "Tapi sebelum kamu pergi, bisa temenin Papa sebentar?"

"Kemana?"

"Di rumah."

Galendra mengernyitkan dahi, merasa bingung. "Papa punya rencana apa sebenernya?"

"Nggak ada, Papa cuma pengen kamu temenin Papa ketemu sama tamu. Sebentar lagi dia datang."

Seventy Eight Pages ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang