21. Mengasihi Tanpa Batas

10.8K 870 24
                                    

Galendra sudah menguap lebih dari tiga kali. Tangannya silih berganti menopang dagu sambil matanya berulang kali mengerjap.

Bukan tanpa alasan siang ini Galendra berada di ruang tengah kediaman Athena, kalau bukan karena tugas fisika yang diberikan Pak Utomo—yang kebetulan sudah lebih dulu dikerjakan oleh kelas Athena—Galendra lebih memilih bergelung diatas ranjangnya. Tugas yang sekarang sedang diterangkan Athena rasanya susah diserap oleh otak Galendra. Siang ini rasa malasnya bertumbuh sekian kali lipat dari biasanya. Ada yang aneh dengan kondisi fisiknya dan Galendra tahu ini mengarah pada suatu hal tidak baik.

"Ndra?" panggil Athena, cukup pelan namun justru mengejutkan Galendra yang matanya sudah hampir terpejam. "Kok daritadi nggak konsen gitu sih?"

"Konsen kok, Na–konsen," jawab Galendra berusaha tampil segar, meski fakta yang terlihat wajahnya menjadi lebih pucat dari satu jam lalu.

"Eh, tunggu—" dan perubahan yang terjadi pada Galendra disadari sepenuhnya oleh Athena. Pulpen di tangannya segera diletakkan dan dia berangsur mendekati posisi Galendra yang menyerong di sebelah kanan darinya. Athena lalu menempelkan punggung tangannya di dahi Galendra. "—badan lo anget! Ya ampun, lo sakit?"

"Nggak tau juga tapi gue ngerasa aneh aja sejak masuk ke rumah lo tadi."

"Ya masa gara-gara udara di rumah gue sih? Ah, ngaco deh lo."

"Pas di mobil tadi juga udah berasa sebenernya, cuma gue cuekin aja. Kayak dingin banget kena AC," tutur Galendra lantas mendorong punggungnya ke sofa di belakang.

"Sekarang apa yang lo rasain?"

"Nggak tau, Na."

"Ih, dongo deh lo, Ndra. Kasih tau, apanya yang sakit," cecar Athena cemas, sambil tangannya heboh mengguncangkan lengan Galendra.

"Sakit, Na, lo gituin malahan," Galendra kemudian mendesah.

"Eh, duh– maaf maaf," kata Athena, gerakan tangannya berganti menjadi mengusap pelan lengan Galendra.

"Pijitin sekalian juga boleh."

"Yeee, maunyaaa!" satu dorongan kembali Athena berikan sampai Galendra mengaduh. "Iya iya, maaf, abis lo ngeselin sih ah."

"Ngeselin gimana coba?"

"Ditanyain apanya yang sakit malah nggak tau. Gue ada beberapa obat di rumah, siapa tau ada yang cocok sama gejala yang lo rasain."

"Pusing sih, dikit tapi," ungkap Galendra seraya memegangi pelipisnya. "Padahal gue nggak abis ngapa-ngapain, kenapa bisa sakit sih?"

"Jujur apa boong?"

"Apanya?"

"Itu tadi, nggak abis ngapa-ngapain," dagu Athena naik sekian centi, matanya menyipit dan garis bibir terlihat datar. "Semalem balapan lagi ya lo? Atau begadang sambil minum-minum nggak jelas?"

"Demi Tuhan, Na, gue nggak pernah kayak gitu lagi," balas Galendra bersungguh-sungguh. "Kan gue udah bilang, udah dua hampir sebulan gue nggak keluar malem-maksudnya, keluar buat ke klub atau balapan. Palingan juga ke rumah Adam atau Danang doang buat ngerjain tugas. Tiap kali mereka ngajak, gue selalu nolak kok. Lama-lama mereka juga jadi jarang keluyuran lagi kalo malem. Lebih milih anteng di rumah."

"Oh, sekarang ceritanya dari bad boys berubah jadi good boys gitu ya?" Athena melengkungkan bibirnya. Lengan kanannya menumpu pada sofa yang ada di belakang.

"Percaya nggak percaya, gue banyak berubah gara-gara lo, Na," Galendra menatap karpet merah yang menjadi alasnya untuk duduk. "Ya meskipun hubungan gue sama papa belum ada perkembangan, tapi di satu sisi gue udah nggak sebandel dulu lagi. Gue berusaha memperbaiki hidup gue, mencoba mengisi masa muda gue sama hal-hal yang berguna. Karna gue mau bikin mama bangga di surga sana."

Seventy Eight Pages ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang