Sayup-sayup suara percakapan beberapa orang dari ruang tengah memaksa Galendra mempercepat langkahnya. Emosinya sedang tidak stabil dan dadanya barusaja bertambah panas karena mendengar tawa renyah Ganesa.
Bisa-bisanya Ganesa merasa sebahagia ini padahal sebenarnya ada rahasia besar yang dia sembunyikan. Jika rahasia itu tidak menyangkut ibunya, Galendra tentu tidak akan seemosi ini, tapi sejak dia mengetahui kenyataan yang telah terjadi, tujuan hidup Galendra saat ini hanya ingin meminta pertanggungjawaban Ganesa.
Ganesa harus menjelaskan semuanya. Galendra tidak mau dibohongi lagi.
"Abang udah pulang," orang pertama yang menyapa Galendra adalah Dian. Sofa yang dia duduki bersama Ganesa berseberangan dengan tempat Galena duduk.
"Kamu darimana, Ndra? Kenapa kusut gitu?" tanya Ganesa selanjutnya, menyangkut kenapa wajah putranya terlihat lelah dan kotor, sementara itu rambut Galendra pun nampak acak-acakan serta sedikit basah.
"Yee, bocah ditanyain bukannya jawab juga," Galena menanggapi, setelah hampir tiga puluh detik Galendra tidak memberikan respon.
Kepalan tangan Galendra yang sedari tadi menggenggan sesuatu tidak dapat ditahan lagi. Dengan cepat dan kasar, Galendra melempar tanah coklat yang sengaja dia ambil dari makam Vero.
Tindakan tiba-tiba Galendra ini kontan membuat Ganesa dan Dian terkejut. Galena juga ikut mendelik menyaksikan gerakan Galendra.
"Galendra, apa-apaan kamu?!" bentak Ganesa lalu beranjak dari sofa. Matanya menatap nyalang Galendra yang tanpa disangka dibalas lebih tajam oleh Galendra.
Amarah Galendra tidak dapat disembunyikan lagi. Wajahnya berubah merah dan beberapa urat timbul ke permukaan. Bibirnya bergetar seperti hampir meledak. Kedua tangannya mengepal keras, siap menghantam apapun andai saja dia tidak ingat siapa yang sedang dia hadapi sekarang.
"Apa alasan Papa selama ini bohong sama aku dan Kak Galena?" pertanyaan Galendra terucap pelan namun sarat ketegasan. Pandangannya terus menuju ke satu titik, yaitu kedua mata Ganesa. Galendra berusaha membandingkan seberapa besar kejujuran Ganesa daripada kebohongannya.
"Apa maksud kamu? Papa bohong soal apa?"
"Papa bisa liat itu?" Galendra menunjuk tanah yang menyebar di atas meja. "Itu tanah makam Mama, Pa! Aku udah tau semuanya! Aku udah tau kalo selama dua tahun ini aku hidup sama seorang pembohong besar!"
Ganesa kehilangan kekuatan untuk membalas seruan Galendra. Biasanya, Ganesa tidak mau kalah berdebat dengan siapapun. Akan tetapi, kali ini masalahnya lain. Apa yang diteriakkan Galendra merupakan ketakutan besarnya selama ini. Ganesa takut menghadapi hari ini, hari dimana akhirnya Galendra tahu yang sesungguhnya terjadi.
"A–Apa lo bilang, Ndra? Ma–Ma..." ucap Galena dengan suara putus-putus. Seketika tubuhnya terasa lemas. Pandangannya kabur karena airmata begitu cepat melapisi bola matanya. Galena limbung, hampir saja terjatuh namun untung saja Galendra berhasil menangkapnya. Galendra memeluk Galena, memberikan energi agar kakaknya itu kuat menerima segala yang telah ditakdirkan Tuhan. "Mama... Dimana Mama, Ndra? Dimana?!! Gue mau ketemu sama Mama! Anterin gue kesana, Ndra!!"
"Kak, plis, lo tenang dulu!" kata Galendra menyamankan posisi Galena dalam pelukannya. Galendra tidak peduli Galena memukuli dadanya berkali-kali. Galendra mengerti ini akan lebih berat diterima oleh hati seorang perempuan. Apalagi, Galena mempunyai sifat yang sama dengan Vero, dia sensitif. "Mama udah ada di sisi Tuhan, Kak. Mama udah jadi malaikat sejati yang ternyata selama ini selalu ngelindungin kita."
"Tapi gue belum ketemu sama Mama setelah bertaun-taun kita pisah! Kenapa Mama pergi? Kenapa semuanya jadi kayak gini?" teriak Galena parau. Tangisannya semakin menjadi. Seiring dengan itu pelukan Galendra padanya bertambah kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventy Eight Pages ✔
Teen Fiction[Teenfict Story] Bagaimana jika pada akhirnya aku yang terlebih dulu jatuh cinta padamu?