Chapter 7

2.4K 203 9
                                    

Happy reading! :)

***

King's Road, London, England.

Andrew Crawford menghentikan mobil yang mereka bertiga tumpangi di depan sebuah toko kecil yang hampir seluruhnya dibangun dengan bahan dasar kayu. Adik angkatnya, Mike Crawford, mengerutkan dahinya melihat bangungan dengan pencahayaan minim pada malam itu.

"Kita tidak salah jalan, kan? Tempat ini bahkan lebih mirip seperti sebuah kabin atau gubuk di pinggir hutan. Aku bahkan tidak percaya jika orang ini menjual barang-barang seperti itu," kata Mike.

"Diam saja, Mike. Kita disini untuk mencari informasi, bukannya untuk menjadi seorang pengamat bangunan," ujar Drew, lalu keluar dari dalam mobil, menyusul Liam Payne yang sudah keluar sedari tadi.

"Ada yang bisa kubantu?" Sahut seseorang begitu Liam mendorong pintu depan. Pria berambut cepak itu nyaris terjerembab kebelakang karena suara itu muncul secara tiba-tiba. Liam menengokkan badannya. Laki-laki dengan kaus putih dan celana bahannya, berdiri disana. Kacamatanya melorot sampai kepangkal hidungnya.

"Kau masih ingat aku? Aku orang yang sama, yang dulu mampir kesini bersama temanku," kata Liam, kemudian tersenyum ramah, ketika yang ditanya, balas mengangguk.

Pria yang diajak bicara Liam, agak berjinjit untuk melihat 2 orang laki-laki, yang tak lain adalah Drew dan Mike, yang tengah berdiri dengan ekspresi bodoh. Drew menyenggol pelan lengan Mike. Ia bingung harus melakukan apa ketika sepasang mata biru ke abu-abuan yang menyipit, memperhatikan mereka berdua dari balik kacamata, dari atas ke bawah, lalu kembali lagi. Dan, pada akhirnya, Mike berdeham lumayan keras, sehingga pria pemilik toko menatap dalam mata Mike, yang mana, malah membuat Mike tersenyum kikuk.

"Mereka?" Tanyanya, lalu perhatiannya kembali lagi ke Liam.

Liam menengok kebelakang, kemudian menggeleng. "Mereka berdua temanku juga. Tapi, bukan mereka ataupun salah satu dari mereka yang kuajak kesini minggu lalu," katanya. "Ada yang ingin kami tanyakan padamu. Apakah boleh?"

Pria itu mengangguk. Ia melongokkan badannya keluar dari pintu, menengok kekanan dan kiri, sebelum akhirnya menutupnya dan menguncinya, mengubah papan dari OPEN menjadi CLOSED. "Oh, ya. Namaku Douglas Robbinson," ujarnya. Douglas menggiring mereka ke ruangannya, sebelum mempersilahkan para tamunya untuk duduk. "Apa ini masalah serius?" Ia meletakkan tiga gelas air diatas meja.

Drew angkat bicara, "tidak juga." Ia mengeluarkan kamera yang dia ambil di kafe tadi siang. "Aku dan Liam menemukan ini dijalan tadi pagi, sewaktu olahraga. Kami berniat untuk menyerahkannya kepada pihak yang berwajib, ketika kami mulai mencoba untuk mengambil beberapa foto pemandangan. Dan, sebuah peluru hampir saja menembus kepala seseorang."

Mata Douglas melotot ketika melihat apa yang didapatkan oleh Drew dan Mike. Mereka tidak mungkin mengambilnya secara mudah, sementara kamera itu telah berada di tangan orang lain, sebelumnya. Lagipula, orang yang sebelumnya membeli benda itu dari Douglas, tidak mungkin membuangnya begitu saja, dijalan pula. Bisa-bisa, Douglas ditangkap oleh pihak kepolisian, karena meletakkan benda mata-mata di tempat yang salah.

"Darimana kalian mendapatkannya?" Kata Douglas. Tatapan selidik ditunjukkannya untuk mereka bertiga.

"Dijalan. Waktu olahraga pagi." Mike menjawab dengan sabar. Pasalnya, Drew sudah mengatakan hal itu.

"Tidak. Benda seperti itu tidak mungkin tergeletak dengan mudahnya di jalanan yang ramai tanpa ada yang memiliki niatan untuk mengambilnya, kecuali kalian berdua. Maksudku, yang lebih spesifik. Didaerah mana, jalan apa, apapun."

"Kami berdua nyaris berkeliling ke semua penjuru kota," sahut Liam.

"Kau ikut?"

"Aku masih tidur di jam-jam segitu," sahut Mike, nyengir.

"Jadi, Mr. Robbinson, kira-kira siapa yang membeli benda ini darimu? Kami ingin segera mengembalikannya, atau mungkin, kau ingin menyimpannya? Ah, tapi tetap saja. Benda ini sudah dibeli, kan?" Kata Drew.

"Douglas saja cukup," ucapnya. "Aku tidak terlalu suka dengan embel-embel 'Mr.'. Kau tahu? Itu membuatku terlihat lebih tua dari yang seharusnya. Atau aku memang tua? Hahaha.. tidak, kan? Aku masih belum memiliki cucu. Jangan mengharapkan cucu, anakku saja belum menikah. Well, tapi, dia sudah cukup umur untuk memiliki seorang suami. Oh, atau kalian mau menjadi menantuku? Dia cantik, juga—apa? Aku bahkan tidak tahu siapa dan bagaimana anakku. Aku—"

"Douglas, maafkan aku karena telah memotong perkataanmu. Tapi, kami tidak memiliki banyak waktu. Tolong, jangan mengulur lebih lama lagi," sahut Liam, ketika ia mengerti arah pembicaraan Douglas yang Douglas buat untuk mengecoh pertanyaan yang sebelumnya. Karena jujur saja, Douglas enggan untuk menjawabnya.

Pria berkepala tiga itu memainkan jari-jarinya, pertanda jika ia gugup. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja—oh, iya. Aku masih mengingat siapa yang membeli benda itu dariku."

Douglas mengubah pikirannya ketika beberapa ikat uang Poundsterling diletakkan dimeja kacanya oleh Drew. Ia menyeringai samar, kemudian mengambil seikat uang dan menghitungnya.

Dasar, Mata Duitan, batin Mike.

"Jadi?" Liam menagih jawaban. Meskipun ia tak mengerti kenapa kakak-adik Crawford itu, bertingkah seolah-olah kamera yang didapatkan Drew, merupakan barang yang sangat penting, ataupun edisi terbatas.

"Mereka kemari, lusa malam. Aku tidak tahu siapa, pastinya. Mereka memakai masker dan pakaian yang sangat tertutup. Mobil yang mereka pakai, bahkan tidak memiliki plat nomor dan kacanya juga tidak tembus pandang dari luar. Kau tahu, seperti mobil Van. Tapi, yang ini agak berbeda; lebih besar dan hitam legam. Mereka mencari benda yang dapat memanipulasi orang dan akhirnya, aku mengusulkan kamera yang kalian temukan. Mereka membayarku dengan jumlah besar, untuk tutup mulut tentang hal ini. Well, tapi, kalian kelihatannya lebih berduit."

Oh, sialan, batin Mike, lagi.

"Mereka? Maksudmu, ada berapa banyak?" Drew meletakkan 2 ikat uang lagi dimeja.

"Satu kesalahan besar; mereka berenam tidak memakai apapun untuk menutupi rambut mereka. Aku lihat, salah satu dari mereka, rambutnya cokelat gelap, nyaris berwarna hitam sepenuhnya. Seperti teman kalian yang satu ini." Ia menunjuk Mike.

"Ayolah. Rambutku ini pasaran. Rambutmu bahkan hampir menyamai milikku. Letak perbedaannya, hanya milikku lebih gelap. Ada yang lebih spesifik? Lihat, uang sebanyak ini kau dapatkan, untuk jawaban sependek itu. Akan kutambahkan jika kau memberitahu kami," ujar Mike, melambai-lambaikan seikat uang lagi.

"Matanya biru shappire. Okay? Hanya itu. Mereka memakai pakaian yang tertutup. Aku tidak mungkin sampai merobek-robek pakaian mereka sampai telanjang." Douglas memutar bola matanya. "Memangnya, ada apa kalian bertanya tentang mereka sampai seperti itu?"

"Sudah kubilang, kami ingin mengembalikan benda ini," ucap Liam. "Memangnya, mereka tidak mengatakan apa-apa? Seperti, tujuan mereka membeli barang ini, atau yang semacamnya? Maksudku, aneh saja; untuk apa mereka membeli kamera ini?"

"Mungkin saja mereka.. Agen? Aku tidak tahu. Oh! Sebentar, ada yang ingin kutunjukkan!" Douglas mengacak-acak lemarinya yang berada disudut ruangan, lalu kembali lagi dengan sebuah kartu ditangannya. "Salah satu dari mereka, menjatuhkan kartu nama miliknya dari saku celananya, ketika ia mengeluarkan uang untuk membayar. Niatku ingin mengembalikannya, tapi, mungkin mereka tidak akan kembali lagi."

Drew membaca kartu tanda pengenal yang diberikan oleh Douglas, kepadanya.

Name: Theo Gillian I.

Address: 31st Spring Valley Road, London, England.

Phone Number: +44 (999) 789-0637.

"Omong-omong, Liam, aku seperti pernah melihat dirimu. Dimana, ya? Tunggu sebentar. Ah, kira-kira itu beberapa minggu yang lalu. Kau tampil di televisi. Benar atau tidak?"

TO BE CONTINUED!


The Mission [One Direction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang