Jealous

18.6K 1K 59
                                    

Pertama. Saya mau minta maaf karena part yg kemarin pendek sekali. Dan gadapet feelnya ya. Tadinya rencana saya itu setelah update part yg kemarin bakal langsung update, jadi sehari 2 kali gituu. Tpi part ini belum beres;( jadi skrg baru beres. Makasih buat kalian yang nyemangatin saya, saya bener2 terharu cerita ini disukain, tetep dukung saya dengan komen dan like ya:) dan maaf untuk komen yg blm sempet saya bales. Saya bener2 sibuk:(

Part ini ada adegan 13+ ya:). Dibawah itu bisa di lewat bagian akhirnya.

--------------
  "Arsen, kamu harusnya menghubungi aku dulu kalau kita mau bertemu."

Dengan gelisah Rain melirik Adlan dengan ujung matanya. Berharap Adlan tak salah sangka dengan Arsen.

  "Maaf Rain, aku fikir kalau kita bertemu langsung itu lebih sopan." Jawab Arsen dengan senyum tulusnya.

"Hm.. Oke. Silahkan duduk," Ucap Rain mempersilahkan Arsen duduk di kursi tempat client biasanya duduk. Adlan masih duduk di sofa sembari membaca koran. Meskipun dari ujung mata nya ia memperhatikan keduanya.

"Begini, aku ingin membuat seragam untuk tour perusahaan ku bulan depan. Dan aku ingin perusahaan ku menjadi yang terbaik, meskipun dalam hal kecil seperti pakaian." Jelas Arsen dengan nada tenangnya.

"Jadi, aku ingin kamu merancang pakaian untuk beberapa staf perusahaanku, Rain." Lanjutnya lagi. Rain mengangguk mengerti.

  "Aku belum lama ini membuat beberapa rancangan pakaian resmi. Mau lihat dulu?" Ujar Rain ketika ia teringat pernah membuatnya.

"Boleh."

"Ayo ikut aku." Rain berdiri dari tempat ia duduk. Lalu, berjalan mendahului Arsen untuk ke tempat dimana ia menyimpan setiap hasil rancangannya. Tanpa Rain sadari, Adlan melihat keduanya berlalu begitu saja dengan muka masam dan bibir yang mengerucut.

-----------------

"Ini, beberapa yang baru kubuat. Kamu bisa pilih." Rain memberikan beberapa lembar kertas yang sudah berisi sketsa.

"Bisa nggak kamu yang memilih? Aku lebih suka kamu yang memilih untukku." Arsen memberikan kembali kertas itu tanpa melihatnya terlebih dahulu.

"Lho? Ini kan untuk perusahaan kamu, Arsen." Rain kembali mengulurkan kertas tersebut.

"Memang. Tapi aku menyukai apapun yang kamu pilih untuk aku." Jawab Arsen lagi. Saat Rain akan mengatakan sesuatu lagi, Arsen menatapnya sendu dan memohon.
Lalu, akhirnya Rain membuka beberapa kertas yang berisi karya nya lalu memilih salah satu.

"Bagaimana kalau yang ini? Aku membuatnya dengan sepenuh hati saat itu." Rain menyodorkan salah satu lembar kertas kepada Arsen. Kertas yang berisi sebuah rancangan pakaian resmi yang terlihat simpel namun juga mewah.

"Ya. Aku ingin yang sepenuh hati itu. Hati kamu." Jawab Arsen lalu terkekeh setelahnya. Lalu kekehan itu menular kepada Rain.

"Ekhem." Deham Arsen. "Omong-omong, Rain. Aku benar-benar kangen kamu." Ucap Arsen dengan sorot mata yang tulus. Rain tak lagi terkekeh maupun tersenyum. Saat itu yang ia lakukan hanya memberikan tatapan terkejut.

"Hm.. Arsen-"

"Nggak perlu dijawab. Aku cuman ingin mengatakan itu. Bukan meminta kamu menjawabnya." Ucap Arsen sembari tersenyum tipis.

"Makasih." Jawab Rain. "Karena sudah mengerti kondisiku." Lanjut Rain lagi dengan tersenyum.

"Jadi kapan pakaian itu harus aku selesaikan? Dan untuk ukur mengukur, aku akan mengirim beberapa karyawanku datang ke kantor mu. Kasih saja alamatnya." Jelas Rain. Arsen mengelurkan kertas berisi alamat perusahaannya dan nomor telepon salah satu stafnya.

"Karyawanmu bisa konfirmasi masalah waktu dengan stafku yang ada di kertas itu." Ucap Arsen. Rain menerima kertas itu lalu menyimpannya di saku blazernya.

"Okay, Rain. Aku sebentar lagi ada rapat. Aku mempercayakan semuanya kepada kamu. Lalu masalah pembayaran juga hubungi stafku yang di kertas itu." Jelas Arsen lagi sambil melihat arlojinya. Rain mengangguk mengerti.

"Tapi kalau mau menghubungi aku langsung juga nggak masalah. Kalau suami kamu nggak tahu." Candanya yang diselingi tawa rendahnya. Dan tetap terlihat berwibawa. Rain ikut tertawa, ia tak sadar Adlan mendengar pembicaraan mereka dari awal.

----------------------------
Hari sudah sore, Rain bersiap untuk pulang. Butiknya memang buka hingga pukul delapan. Tapi ia tak tega kalau harus melihat Adlan menunggunya bekerja hingga malam. Kalau jadi Adlan pun ia pasti akan merasa sangat bosan.

"Kak, ayo pulang." Ujar Rain ketika masuk ke ruangannya. Ia memang belum sempat mengobrol lagi dengan Adlan karena pekerjaannya sedang sangat banyak.

"Maaf ya aku terlalu sibuk." Sesal Rain kepada Adlan. Adlan mengangguk dengan datar lalu mendahului Rain keluar dari ruangannya.

"Aku tunggu di parkiran." Ucapnya sebelum berlalu. Rain mengerutkan keningnya, bingung mengapa sifat Adlan kembali menjadi seperti ini. Ini kesalahannya karena terlalu sibuk dan tak menemani Adlan di ruangannya. Tanpa banyak berfikir lagi Rain memakai blazernya lalu mengikuti Adlan ke parkiran.

Rain mengendarai mobil dengan santai. Sesekali melirik Adlan yang hanya termenung. Seperti sedang memikirkan sesuatu, sesekali alisnya terangkat. Rain ingin bertanya tapi ia memilih bertahan dan menunggu Adlan berbicara terlebih dahulu kepadanya.
Setelah mereka sampai di apartemen, Adlan berjalan terlebih dahulu tanpa mengatakan apapun. Rain menaruh tas dan mengganti pakaiannya, lalu membuatkan susu vanila dingin untuk Adlan.

"Ini, Kak." Rain menyodorkan gelas tersebut. Tapi Adlan hanya diam. Karena bingung harus berbuat apalagi dan tak tahan dengan sikapnya, akhirnya Rain bertanya dengan hati-hati.

"Maaf." Ucap Rain. Adlan melirik Rain, lalu menghembuskan nafasnya.

"Kamu sudah tahu apa kesalahan kamu?" Tanya Adlan. Rain mengangguk.

"Aku tahu tadi aku terlalu sibuk. Harusnya aku memaksa Kakak untuk tetap di apartemen dan ngga ikut aku bekerja. Maaf, membuat Kakak bosan seharian." Jelas Rain terus terang. Tatapannya begitu memelas.

"Rain.. Bukan itu kesalahan kamu. Aku nggak keberatan kalau harus ikut kamu bekerja setiap hari." Jelas Adlan. Rain mengerutkan keningnya semakin tak mengerti apa titik permasalahannya. Bukannya menjelaskan, Adlan malah meninggalkan Rain sendiri di ruang makan lalu masuk ke dalam kamarnya. Rain meminum susu yang tadinya akan ia berikan kepada Adlan, lalu mengikuti Adlan ke dalam kamar.

"Kalau bukan karena itu, karena apa?" Tanya Rain sembari duduk di sebelah Adlan.

"Pria yang tadi datang itu siapa? Kenapa dia bilang kangen kamu?" Tanya nya dengan muka masam. Sekarang Rain mengerti mengapa Adlan bersikap seperti ini.

"Dia Arsen. Teman SMA ku. Dia memang punya perasaan lebih kepadaku. Tapi aku hanya menganggap dia sebagai-" Adlan menghentikan ucapan Rain dengan tiba-tiba menempelkan bibirnya dengan bibir Rain. Mata Rain membelalak sangat terkejut dengan apa yang Adlan lakukan. Awalnya Adlan hanya berniat membuat Rain tidak menjelaskan lebih lanjut karena itu sangat membuatnya jengkel, tapi ia merasa kecanduan dengan bibir Rain dan menyesapnya lebih lama. Rain menutup matanya, menikmati apa yang sedang Adlan lakukan. Lalu, diam-diam air matanya mengalir. Bukan. Ia tak menangis karena Adlan menciumnya. Ia menangis karena tak menyangka hal ini bisa terjadi. Selama ini hal seperti ini hanya mimpi baginya. Khayalan yang diam-diam ia sempurnakan dengan doa kepada tuhan. Lalu, ia menangis karena hal seperti ini takkan selamanya. Hal manis seperti ini akan berakhir dengan ingatan Adlan yang kembali.

"Jangan menangis. Aku hanya tak suka pria lain merindukan istriku." Bisik Adlan lalu membawa Rain ke dalam pelukannya. Lalu mendekapnya sangat erat seakan tak ingin Rain pergi sedikitpun dari hidupnya.

Rain marriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang