-Fadlan-
Untuk yang kesekian kalinya aku menjadi bajingan untuknya, dengan membuat janji yang pasti akan ku ingkari. Ya, janji untuk datang ke pernikahannya.
Saat ini, yang ada difikiranku hanyalah pergi. Melarikan diri mungkin bukan jalan keluar yang baik, tapi bagiku hal itu cukup untuk sedikit meringankan penyesalan yang kurasakan. Sidney terasa tidak terlalu buruk untuk ditempati selama beberapa tahun kedepan. Entah sampai kapan, hingga aku dapat berdamai dengan diri sendiri dan dengan sebuah realita tentang kehidupan barunya.
"Baik, rincian selengkapnya akan saya kirim lewat email, Pak." Ucap Pak Mitra diujung sana mengakhiri pembicaraan mengenai penyewaan appartement untuk aku tempati di Sidney. Banyak sekali yang harus ku urusi untuk melarikan diri.
Saat ini aku masih bersamanya, tetap terjaga sepanjang malam hanya untuk menatapnya. Hingga matahari telah terbit, tetapi matanya masih terlelap dengan raut wajahnya yang terlihat damai dan tenang. Kurapihkan helai demi helai rambut yang menutupi wajah cantiknya. Kutatap sekali lagi, lalu kuberanikan diri untuk terakhir kalinya secara diam-diam ku kecup keningnya. Seakan itu hal terakhir yang hanya dapat kulakukan untuk menumpahkan semua rasa yang kumiliki dalam bentuk tindakan. Barangkali dengan begitu, aku dapat mengikhlaskannya. Meski itu hal terbodoh yang terlintas dibenakku.
"......." Kubisikkan sesuatu ke telinganya dengan rintih. Berharap keajaiban dapat terjadi. Berharap kesempatan ikut andil didalamnya.
Setelah aku meminta tolong kepada suster untuk menjaganya, ku bereskan semua barang-barangku di ruang rawat inapnya dan bergegas untuk pulang. Ketika langkahku menuju pintu, kulihat Rain terbangun. Matanya terbuka secara perlahan dan hendak mengucapkan sesuatu kepaku, tetapi aku hanya menatapnya dengan senyum tipis lalu melanjutkan langkahku untuk pergi. Tanpa membiarkan ia mengucapkan sesuatu.
Aku harus segera bergegas. Sebelum ego ingin memilikinya semakin tinggi.
Selamat tinggal, Rain. Ucapku dalam hati.
——Hari-hari paling sulit dalam hidup adalah ketika kita harus merelakan sesuatu yang sangat kita inginkan, dan dalam kisahku yang paling menyakitkan adalalah karena aku tahu aku tidak pantas untuk memilikinya.
"Hei, Dokter!" Aku tersadar dari lamunanku ketika Brendya mencubit gemas lenganku, karena tak mendengarkan ia yang sedang bercerita.
"Sorry, Bee. Aku tadi lagi kepikiran sesuatu." Ujarku sembari tersenyum tipis, dan mungkin terkesan dipaksakan. Brendya memberikan secangkir cokelat panas yang baru saja ia buat untukku.
"Aku tahu," Jawabnya sembari menyesap cokelat miliknya. "Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu," Sambungnya lagi. Aku hanya diam memberinya ruang untuk melanjutkan pembicaraan.
"Aku mencintaimu,"
"Bee, tapi-" Aku memotong ucapannya dengan tidak sabar. Ia hanya terkekeh.
"Dengar dulu." Jawabnya sembari menaruh cangkir ke atas meja.
"Aku mencintaimu dulu, lalu kamu menikah dengan Rain demi aku, demi hubungan kita. Lalu, aku datang menghancurkan pernikahan kalian, menghancurkan hatinya. Dan ketika aku sudah menghancurkan hidup kalian, aku malah bertemu pria lain dan berakhir dengan jatuh cinta." Ujarnya dengan merasa bersalah.
"Tapi kenapa kamu nggak membenci aku? Atas semua yang sudah aku lakukan, kenapa kita masih bisa menikmati secangkir cokelat bersama tanpa ada emosi di dalamnya? Dan.. kenapa kamu mengikhlaskan hubungan kita yang sudah cukup jauh dan membiarkan aku memulai lagi dengan pria lain? Kamu.. enggak menyesalinya?" Sambungnya lagi dengan serius. Aku terdiam beberapa waktu. Menatap kosong pemandangan kota di sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain marriage
RomanceKarena jatuh cinta seorang diri itu rasanya sangat menyakitkan. - Raindita