Permaisuri marah besar mengetahui Chana dibebaskan secara paksa atas titah putranya, Tan. Ia betul-betul kecewa, mana mungkin bisa putranya bertindak hingga demikian? Apa yang ada dalam benaknya? Tak ayal keputusan Tan ini juga mempersulit dirinya untuk naik tahta menjadi Kaisar. Dengan pembebasan paksa ini, logikanya mana mungkin Dewan Gubernur percaya padanya. Permaisuri sendiri harus putar otak pula untuk membersihkan nama putranya agar Dewan Gubernur percaya dan segera mengangkat Tan sebagai Kaisar. Namun usahanya terlambat, Dewan Gubernur sudah membuat petisi agar putra dari Selir Huang yang akan naik tahta.
Kalau mau bermain nekat, tenggat waktu masih berpihak pada Permaisuri, tentunya jika ia mau bekerja cepat menuntaskan masalah ini. Bukan Permaisuri namanya jika harus menyerah begitu saja. Ia yang sepemikiran dengannya, Perdana Mentri langsung saja membuat investigasi dengan memburu Kwon, sebagai penerima titah langsung. Tak hanya Kwon saja rencananya yang akan ia panggil, namun beberapa orang di padepokan yang menjadi saksi untuk kepentingan pemeriksaan. Selain tujuannya untuk mematahkan stigma negatif Dewan Gubernur, rakyat diluar sana telah mencap kegagalan besar istana atas masalah ini. Istana dan Dewan Gubernur didesak oleh beberapa pihak untuk segera mengangkat seorang Putra dari seorang selir bernama Putra Guang Ho sebagai Kaisar yang berikutnya.
Kami tidak mau memiliki pemimpin yang berpihak dan tidak bisa bijaksana begitu
Pemimpin apa yang mengutamakan perasaan dari pada logikanya seperti itu? Aku tentu tidak mau dan tidak bangga memilikinya
Dewan Gubernur harus menaikkan Putra Guang Ho menjadi pemilik tahta selanjutnya
Zin Tan tentu saja membaca dan mendengar semua kecaman yang diarahkan kepadanya itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdiam diri kala itu. Ia memilih menerima semua hujatan rakyat kepadanya. Ia memilih mendoakan arwah ayah dan Selir Agung dari pada mendengar kecaman yang menyakitkan itu. Ia berjalan menuju kuil dan berdoa dengan khusyuk. Sementara itu ibunya tengah mencari-carinya. Begitu ia tahu putranya itu di kuil, ia menyusulnya. Tanpa pengawalan dari seorangpun ia menemui putranya itu, pengawal putranyapun turut diusirnya. Tentunya ia ingin bicara sebagai ibu dan anak. Perlahan ia bersimpuh di sebelah putranya yang sedang memejamkan mata, membacakan doa untuk sang ayah dan Selir Agung. Meskipun abunya tidak diletakkan di istana karna dianggap sebagai pemberontak, namun doanya tetap ia panjatkan untuk selir kesayangan ayahnya itu.
"Apa menurutmu ayahmu akan bangga melihat apa yang kau lakukan?", ucapnya dingin membuka percakapan. Mata Zin Tan terbuka. Ia menghentikan aktivitas berdoanya dan membungkuk memberi salam kepada ibunya. "Anak mana yang tega menghancurkan kerja keras orang tuanya?", lanjutnya lagi. Zin Tan tidak bergeming mendengar ucapan ibunya yang menusuk itu. "Apa kau masih mencintainya?". Pertanyaan itu membuat Zin Tan sedikit bergeming dan menatap ibunya. "Tan, ibu tidak tahu kenapa kau sebodoh ini…", ucap Permaisuri sedikit berkaca-kaca. "Apa kau pikir segala perbuatanmu aku tidak menanggungya juga? Aku dan kau juga akan menanggungnya sekecil apapun perbuatan kita". "Apa yang kau dapat setelah membebaskan kekasihmu itu? Apa ia berterima kasih padamu? Apa ia membuat hidupmu indah? Apakah ia membuat hidupmu bahagia?". Tan hanya diam sambil menunduk mendengar semua pertanyaan ibunya itu. "Jawab aku!", ucap ibunya itu berteriak sambil meneteskan air mata dari mata kanannya.
"Maafkan aku, ibu…". Balasara membuang mukanya mendengar permintaan maaf putra sematawayangnya itu. Ia merasakan kekecewaan yang begitu mendalam atas apa yang telah Tan lakukan. Bagaimana tidak, nyawanya sendiri ia pertaruhkan untuk berjalan sejauh ini. Sementara anaknya dengan mudah merusaknya. Bahkan hanya dengan beberapa kalimat perintah saja. "Jika orang meminjam sebuah barang dari orang lain, maka barang itu haruslah dikembalikan ke tempat semula…", Balasara berucap dingin. "Ibu…". "Jangan khawatir, aku akan mengembalikan barang itu ke tempat yang semestinya meski bukan aku yang meminjamnya. Karna orang tua haruslah memikul apa yang anaknya perbuat". Balasara langsung meninggalkan kuil itu begitu saja. "Ibu…! ibu…!". Balasara tetap melangkahkan kakinya. Panggilan dari putranya itu tak ia gubris sama sekali. Melihat tuannya telah kembali dari perbincangan keluarga, dayang-dayangnya langsung menguntit dibelakangnya. "Perdana Mentri harus bekerja malam ini juga!".
KAMU SEDANG MEMBACA
Empress Kwon
Ficción históricaSepasang bayi kembar perempuan dipisahkan oleh takdir yang berbeda. Jika takdir itu diibaratkan tali yang panjang, ternyata tali itu saling berpotongan dan berhimpit di suatu bagian. Bagaimana dan apa yang terjadi setelah mereka saling berpotongan d...