Senja sudah menyapa dari dalam peraduannya. Ini menandakan bahwa Kwon harus melakukan tugasnya untuk mengantar teh hijau kesukaan Kaisar ke ruangannya. Kaisar masih menatap beberapa kertas yang ada dihadapannya ketika Kwon masuk membawakan nampan. Seperti biasanya Kwon meletakkan nampan itu dipinggir meja Kaisar lalu duduk di sebelahnya. Kebiasaan itu sudah berlangsung hampir setahun lamanya. Selama itu pula Kwon makin tertarik pada Kaisar dan mulai melupakan masa lalunya. Tak dipungkiri hal favorit yang dilakukannya adalah memandangi Kaisar sedang menatap serius lembar demi lembar yang ada di depannya, seperti sekarang ini. Itu jauh lebih berkesan daripada ketika pria didepannya itu menggenggam pedang dan menghunuskannya pada seseorang. Ia sudah cukup lelah berurusan dengan senjata dan hunus menghunus maka dari itulah baginya ketika Kaisar sedang bekerja itu lebih jauh-jauh mempesona.
"Apakah ketampananku bertambah ketika aku serius menghadapi kertas-kertas ini? Ataukah.... Kau memang sudah tertarik padaku sejak awal kau di istana?". Kwon tersentak, lalu kikuk.
"Maaf, apakah aku mengganggu Yang Mulia?'
"Sudah ku bilang kan. Kalau kita sedang berdua jangan bicara formal padaku". Kwon terdiam kembali. Tan semakin larut dalam pekerjaannya. Tapi entah, mungkin rembulan tersenyum lebar malam itu, jadi ketampanan Tan makin menjadi saja.
"Maaf ya mengacuhkanmu sebentar. Aku sedang memeriksa pajak...".
"Kenapa harus minta maaf? Aku jadi tidak enak. Apakah baiknya aku meninggalkanmu agar kau lebih fokus?". Tan menoleh dan memberi tatapan kematiannya. Seperti kucing yang ketakutan, Kwon kembali menunduk di tempat duduknya.
"Ada seikit masalah disini. Oh ya, kau berasal dari Hainan kan?". "Ya, benar". "Ah tapi kau sudah lama meninggalkannya. Tapi biarlah, biarlah aku menjadikannya perbandingan. Seingatmu, bagaimana keadaan rakyat Hainan dalam memenuhi pajak ketika pemerintahan ayahku? Apakah mereka kesulitan?". Kwon terdiam sejenak mengingat sesuatu. "Yang aku ingat, semua orang sangat menderita dengan pajak yang ditetapkan mendiang raja sebelumnya. Itu karena daerah kami diserang hama dan paceklik beberapa kali sehingga kami kesusahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus membayarkan pajak. Namun ada sekawanan rentenir yang memberikan pinjaman pada kami dengan bunga tinggi. Bunga itu direndahkan apabila orang yang meminjam memiliki penambangan emas perseorangan...".
"Aneh sekali. Kenapa rentenir-rentenir itu justru mengincar emas daripada uang?"
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Memangnya apakah ada masalah lagi dengan Hainan?"
"Hm. Sudah beberapa bulan itu pemasukan pajak dari Hainan tidak masuk kas negara..".Ibu Suri mendengar kekacauan keuangan negara karena provinsi Hainan nunggak kas negara selama delapan bulan. Ia tidak menduga jauh-jauh, pasti ini ulah orang-orang Hiryeo yang sudah berhasil menduduki Hainan berkat bantuannya. Ia bergegas menemui perwakilan Serikat Dagang Hitam disebuah gubuk pinggir ibu kota, tempat yang biasa ia temui apabila ia berurusan dengan mereka. Seperti biasanya, Ibu Suri mengenakan topeng dan keluar dari istana.
"Lihat, siapa ini yang datang. Betul-betul tamu agung! Hahahhaa", ucap pimpinan Serikat Dagang Hitam bernama Ki Hamyung.
"Ibu Suri nampaknya telah keluar dari persembunyiannya yang agung, kakak", celoteh adiknya Ki Hamyung yang merupakan sekretaris Serikat Dagang Hitam, Ki Haryung.
Ibu Suri tersenyum tipis mendengar celotehan kakak beradik itu. Tapi tidak dipungkiri kini dirinya terperangkap pada umpan yang ditebar orang-orang Hiryeo.
"Ku pikir urusanku dengan kalian sudah selesai, kenapa kalian berulah lagi?".
"Selesai? Itu pikiran anda, Yang Mulia Ibu Suri. Tapi bagi kami yang terus membangun dan membuat, hari esok tidak akan ada habisnya", ucap Hamyung.
"Lalu katakanlah sekarang apa yang kalian inginkan!".
"Selama ini kau memperlakukan kami seperti anjing. Membiarkan kami bermain-main dengan mainan kami tanpa memperhatikan kami. Hainan tidak sepenuhnya lepas dari negri ini. Aku ingin Hiryeo memiliki perwakilan di istana untuk memperjelas eksistensi kami dan memperlebar kekuasaan kami. Jadi kami meminta sekali bantuanmu Yang Mulia Ibu Suri..."
"Bukan emas tujuan kalian. Kalian berniat menjajah negri ini". Ki Hamyung tertawa keras mendengan ucapan Ibu Suri, "Syukurlah aku jadi tidak perlu repot-repot menjelaskannya padamu Yang Mulia".
KAMU SEDANG MEMBACA
Empress Kwon
Ficción históricaSepasang bayi kembar perempuan dipisahkan oleh takdir yang berbeda. Jika takdir itu diibaratkan tali yang panjang, ternyata tali itu saling berpotongan dan berhimpit di suatu bagian. Bagaimana dan apa yang terjadi setelah mereka saling berpotongan d...