Part 2

4.3K 219 19
                                    

Akhirnya kita bertiga sampai di tempat yang telah aku siapkan sebelumnya. Di depan mata kami terlihat bangunan yang cukup tua dan telah lama tidak dipakai. Dapat kupastikan bahwa usia bangunan ini telah menunjukan usia 50 tahun. Sebelum masuk, aku mengajak mereka untuk istirahat sebentar di depan bangunan itu. “Nah, bro. Kita udah sampe nih. Lo tunggu gue disini ya. Ntar gue kabarin lo berdua buat masuk." kataku sambil melangkah masuk ke bangunan itu. “Iya deh, tapi jangan kelamaan ya bro. Kasihan tu si Michael ntar ngompol karena ketakutan." kata Geovani mengejek Michael yang memang penakut. “Yee. Lo mah gitu sukanya, Van. Tapi iya juga si, jangan kelamaan bro. Gue mulai merinding nih." kata Michael ketakutan. Aku pun hanya tertawa kecil dan berkata kepada mereka bahwa aku tidak akan lama.

Michael POV

Aku dan Geovani duduk di tempat duduk depan bangunan tersebut. “Bro, kira-kira lama kagak ya si Brian. Gue mulai merinding nih." kataku kepada Geovani. “Udah deh. Lo ngga usah takut gitu si. Lo itu cowo bro. Masa iya kalah sama mba Kunti?” kata Geovani meledekku. Aku hanya terdiam malu karena ledekan Geovani itu. Memang betul kata Geovani. Aku memang anak yang sangat penakut kalau ada di tempat yang seram kaya gini. Makanya tak jarang temanku suka membully diriku.

Lima belas menit pun berlalu. Tapi belum ada tanda-tanda dari si Brian. Aku akhirnya menjadi lebih takut dari sebelumnya. “Broooooo. Ko lama banget siiii. Gue mulai takut nih. Pulang aja yuk. SMS si Brian buat balik lagi kesini terus pulang dari tempat ini." kataku mulai merengek minta pulang ke Geovani. Geovani hanya berkata kepadaku untuk menunggu Brian sebentar lagi.

Tiba-tiba handphone Geovani berdering. “Eh, bro. Nih dari Brian. Katanya dia, kita disuruh masuk aja." kata Geovani ke aku. “Ya udah deh, yuk cepetan masuk biar kita cepet pulang." kataku sambil menarik tangan Geovani masuk ke bangunan itu.

Di dalam bangunan itu ternyata sangat luas. Ada beberapa ruangan dan ternyata bangunan ini jauh lebih mengerikan jika dilihat dari dalam. Aku akhirnya mengikuti Geovani dari belakangnya. Tubuhku mulai mengeluarkan keringat dingin karena ketakutan. Geovani tiba-tiba berhenti di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup. “Bro, lo yakin si Brian disini? Ko ngga ada suara apapun si bro?” kataku sambil bersembunyi di belakang Geovani. “Ya disini si katanya si Brian. Coba kita ketuk aja ya." kata Geovani mencoba untuk mengetuk pintu. Aku pun hanya diam mengikuti apa yang Geovani lakukan. Setelah kami ketuk pintunya dan memanggil nama Brian tiga kali. Tiba-tiba ada seseorang yang memukul kami berdua dari belakang. Sontak kami berdua langsung terjatuh. Kulihat dengan samar-samar ada seseorang memakai jaket hitam yang mempunyai hoodie. Lalu, setelah itu aku kehilangan kesadaran.

Brian POV

Kini kedua sahabatku telah ku ikat di tiang tengah ruangan. Di depan mereka telah kusiapkan korban-korbanku untuk aku perlihatkan kepada mereka betapa asiknya membasmi para sampah-sampah yang mengganggu. “Mmhh. Mmmhh!!! Mmmmhhh!!!” Teriak Geovani dan Michael hampir serempak.
“Ehh, kalian udah bangun ya? Morning Everyone. Selamat datang di duniaku. Sebelumnya, kukenalkan diriku sendiri. Aku adalah  The Black Hoodie.” Kataku sambil membuka penutup mulut mereka.
“Sialan! Apa yang  mau lo lakukuin ke kita berdua! Lepasin kita berdua." kata Geovani
“Ko minta di lepas sih? Pertunjukan aja belum mulai, kamu mau pergi aja. Oke, ngga perlu berbasa-basi lagi. Di depan kalian telah aku persiapkan beberapa sampah yang harus kita bunuh dan mungkin kalian tau mereka siapa saja." kataku sambil membuka penutup kepala yang berada di kepala para bedebah sialan itu.
“Dasar gila lo!!! Dimana Brian?! Pasti udah lo bunuh ya?! Bajingan lo!” Kata Michael dengan nada ketakutan.
“Brian? Kalian udah melihatnya. Dia ada di depan kalian saat ini. Ya, Gue adalah Brian. Gue lah yang udah ngebunuh si Irene Deanisa sialan itu. Salah siapa dia berurusan sama gue. Sekarang, lo berdua harus liat apa yang akan gue lakuin ke mereka. Setelah gue selesai. Lo berdua harus mengikuti apa yang gue lakuin.”
“Gila!!! Lo udah gila! Kenapa Lo lakuin ini semua Brian? Kenapa Lo berubah sekarang si Brian?” Kata Michael.
“Lo tanya kenapa gue berubah? Denger ya Lo berdua. Gue berubah karena gue udah muak sama dunia ini. Dunia ini udah mulai ancur. Banyak orang yang hanya baik  didepannya doang. Dalemnya, mereka lebih buruk dari kotoran.”

Aku pun menyiapkan beberapa benda tajam kesayanganku. Kulihat mereka berdua hanya terdiam setelah menanggapi kata-kataku atau bisa saja mereka shock karena melihat sahabatnya kini berubah menjadi seorang yang tidak pernah mereka kenali. Ya aku tak tahu, hanya mereka dan Tuhan saja yang megerti isi hati mereka. Tapi akan aku pastikan mereka atau salah satu dari mereka akan bergabung denganku. “Lihat ini baik-baik. Yang pertama ini, Rio Dewantara. Dia memang dikagumi oleh banyak wanita. Tapi sayang, kelakukan dia tidak baik. Dia suka merendahkan orang lain dan menganggap yang kuat adalah yang berkuasa." kataku seraya mematahkan tangan dan kaki Rio. Bunyi retakkan tulang Rio bagaikan sebuah nada yang indah bagiku. Sedangkan Rio, dia hanya bisa teriak kesakitan. “Brian, maafin gue. Gue tau kalo gue udah salah selama ini. Tolong jangan siksa atau bunuh gue.” Kata Rio sambil menangis menahan kesakitan. “Maaf? Setelah apa yang lo lakuin selama ini lo baru minta maaf? lo kemana aja selama ini? Udah telat kali. lo percuma minta maaf ke gue doang.” Setelah itu, aku mengiris bibirnya dengan sangat perlahan. “Gue bosen sama basa-basi lo. Mending bibir lo gue ambil aja ya.” Kataku yang masih mengiris bibir Rio.

Kini Bibir Rio telah sukses lepas dari tempatnya. Rio hanya bisa terduduk lemas tak berdaya dan mungkin saja ia kini sedang berharap untuk di jemput oleh malaikat kematiannya. Setelah aku bermain dengan pisauku, sekarang saatnya untuk menggunakan benda kesayanganku yang lainnya.
“Hmmm. Pisau udah, mau pake apa lagi yah? Ada yang punya saran ngga? Michael? Geovani?” kataku sambil memilih benda tajam yang akan aku gunakan selanjutnya.
“Apa aku boleh bergabung dengan kesenanganmu itu, Brian?” kata Michael.
“Mike, Lo udah Gila ya?! Ngapain lo ikut-ikutan kaya Brian?” kata Geovani.
“Gue udah bosen, Van. Gue tiap hari dibully terus. Gue cape hidup kaya gitu terus, direndahkan dan dibuat malu sama anak-anak pembully sialan itu." kata Michael dengan tatapan kosong. Geovani hening, kemudian ia berbicara lagi. “Iya gue ngerti perasaan lo. Tapi kan ga kaya gitu juga caranya, Mike. Kita kan bisa laporin mereka ke guru BK”.
“Gue kaga peduli lagi sama omongan lo tadi, Van. Percuma juga kalo gue udah laporin mereka ke guru BK, sifat mereka kaga akan berubah.”Kata Michael.

Psychopath DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang