Chapter 6

6.7K 362 8
                                    

"Qi, bangun."

Apaan sih ini orang, jangan ganggu sabtu pagiku yang indah. Aku berbalik dan kembali bergelung dengan selimutku tak memperdulikan orang yang menyuruhku untuk bangun itu.

"Rifqi, bangun."

Aku masih belum dan masih sangat tidak ingin bangun. Ini sabtu pagi indah yang harus aku habiskan dengan tidur sampai siang, terlebih aku lelah sehabis latihan basket kemarin malam.

"Dwirifqi Arief Darmawan, kalau kamu gak bangun juga mbak siram pakai air es."

Seketika itu juga mataku terbuka dan aku langsung meloncat bangun. Sial, aku lupa kalau mbak Kirei tinggal dirumah mulai kemarin. "Susah amat sih dibanguninnya, udah kayak orang mati aja," omel mbak Kirei. Aku hanya terkekeh pelan. "Kamu tadi malam kemana? Gak pamit gak apa, main pergi aja," omel mbak Kirei. Oh jadi aku ketahuan pergi ya? Padahal aku pergi jam 11 malam. "Kenapa mbak bisa tau kalau aku pergi tadi malam?" tanyaku sambil merapikan tempat tidur. "Ya taulah, emangnya siapa lagi yang mau nyalain mesin motor kamu malam malam, kamu pikir Luna yang mau pakai motor kamu?" tanya mbak Kirei, "Kamu habis darimana semalam, jangan mengalihkan pembicaraan."

Ya ampun, ini mbak Kirei overprotective banget sih, lebih-lebih dari bunda deh. Bunda aja gak sebegitunya. "Aku abis latihan basket," ucapku sambil berjalan berusaha keluar kamar tapi langkahku dihentikan oleh mbak Kirei yang bersandar tepat di pintu."Sejak kapan latihan basket malam-malam, udah jujur sama mbak, kamu habis darimana?" tanya mbak Kirei setengah memaksa. Ya ampun, ini orang ya kalau bukan kakakku udah aku tampar juga. "Serius mbak, aku habis latihan basket, kalau mbak gak percaya coba cium baju aku tuh, bau-bau habis olahraga," ucapku. Mbak Kirei menatapku seakan enggan untuk percaya, ya ampun, mbak Kirei benar-benar mewarisi sifat ayah. "Udah deh, aku mau mandi," ucapku sambil menerobos keluar dari kamar.

Aku dengan langkah sedikit malas berjalan kekamar mandi dan langsung membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuknya dahulu. Ketika aku menguap dan baru saja akan melangkahkan kaki kiriku suara teriakan perempuan membuatku membatalkan langkahku dan langsung menutup pintu kamar mandi dengan kencang.

"Rifqi bego! Ngapain lo main masuk!"
"Ya gue mana tau lo ada didalem bego! Kenapa juga pintunya gak dikunci?!"
"Pintunya kan rusak gara-gara lo! Lo nyebelin amat sih jadi orang! Lo liat apaan barusan?!"
"Sumpah gue gak liat apa-apa!"

Terdengar tawa menggelegar dari ruang makan. Kini mbak Kirei dan mas Deva tengah menertawakan kebodohanku. "Berisik ah kalian! Jangan ketawa!" amukku. Aku yakin mukaku udah kaya kepiting rebus, pasti merah banget. "Makanya qi, biasakan ketuk pintu dulu," ucap mas Deva sambil terkekeh pelan. Mereka kembali tertawa dengan kencang saat aku berjalan ke meja makan. "Mbak Kirei sama mas Deva kenapa gak bilang-bilang sih Luna di kamar mandi?" omelku. "Lah, biasanya juga kan kamu pakai kamar mandi yang diatas, kenapa tiba-tiba pakai kamar mandi yang dibawah?" tanya mas Deva. Ya ampun, aku baru sadar aku ada dilantai bawah. Sial, aku dikerjain mbak Kirei. "Udah dong ketawanya, kesel nih," omelku.

Aku dan Luna tengah sarapan dengan keadaan yang sedikit canggung. "Awas aja kalau lo sampai bohong," ancam Luna. "Bohong apa?" tanyaku. "Aku yakin kamu udah tau apa yang aku maksud," ucapnya. Dasar bodoh, masih dibahas aja. "Gue kan kakak lo, kenapa malu? Dulu waktu kecil kita juga suka mandi bareng kan?" tanyaku usil. Namun sebuah selada mendarat tepat dimukaku sesaat setelah aku berkata begitu. "Dasar bego! Itu kan dulu waktu masih kecil!" amuknya. "Berisik ah," umpatku. "Iya aku emang berisik, kenapa masalah?" amuk Luna. Ini anak kenapa sih? Lagi pms kali ya?

"Kalian berisik banget deh, cepetan sarapannya, terus siap-siap," ucap mbak Kirei. Aku dan Luna refleks menengok, siap-siap? Kemana? Seakan paham dengan yang kami berdua bingungkan, mas Deva langsung menjawab, "Kita jalan-jalan."

Brother & Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang