Chapter 2

10.5K 458 4
                                    

Semalaman aku menangis, Rifqi pergi dari rumah. Pagi ini dia juga belum kembali, bagaimana ini, kalau mbak Kirei sampai pulang kerumah ini dan Rifqi tidak ada dirumah matilah aku.

...

Luna berjalan dengan gontai menuju halte bis, pikirannya sedang tidak ada disana, ia terus memikirkan bagaimana jadinya jika kakaknya tiba-tiba datang ketika Rifqi tidak ada dirumah.

Tiin tiin

Mendengar suara berisik Lunapun mendongak. Seorang anak laki-laki dengan motornya berhenti didepannya, "Haniefa, ayo bareng."

"Anak ini, rasanya aku pernah melihatnya, tapi siapa ya?" Batin Luna.

"Gua Axel, temen sekelas lo," ucapnya sambil memakai helmnya. "Ayo, nanti telat."

Luna tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Axel. Tentu saja ia akan menerima dengan senang hati jika ada yang menawarinya tumpangan sampai disekolah, terlebih lagi jika ini gratis.

"Lo kenapa pagi-pagi udah manyun gitu?" tanya Axel. "Biasa, ada problem haha," jawab Luna. "Berantem sama orang tua?" tanya Axel lagi. "Plis deh, kamu kan baru kenal sama aku kenapa banyak tanya sih?" Alih-alih menjawab begitu, Luna malah menjawab, "nggak, cuma masalah kecil aja kok."

"Gue terlalu banyak tanya ya? Sorry ya," ucap Axel. "No problem," jawab Luna.

...

Di tempat parkir aku melihat sosok yang sangat kukenali, sosok yang sangat ingin aku tampar sekeras mungkin pipinya, Rifqi. Anak itu tengah bercengkrama dengan teman-temannya sambil berjalan keluar dari lahan parkir.

"Itu namanya Dwirifqi, ketua OSIS kita, kalo lo belum tau," ucap Axel sambil mengunci motornya. Perlu kau ketahui Axel, aku sangat tahu dan bahkan aku sangat mengenalinya! "Oh gitu ya?" kalimat itulah yang terucap dari bibirku. "Lo mau sampe kapan berdiri disitu? Ayo masuk, nanti keburu bel." Akupun mengangguk dan mulai berjalan, gimana caranya biar aku bisa ketemu Rifqi tanpa ada orang lain yang tau?

...

Aku menghembuskan nafas dengan kasar, aku benar-benar frustasi, apa yang harus kulakukan?

"Itu yang kelima," ucap Ana. Aku langsung menatapnya keheranan, kelima? Apanya yang kelima? "Kamu udah narik napas kaya gitu sebanyak lima kali. Kamu segitu gak sukanya sama fisika?" tanya Ana, seolah mengerti mengapa aku menatapnya.

"Nggak kok, aku emang lagi ga mood aja, hehe," ucapku berkelit. "Daripada pusing, ikut aku aja yuk," ajak Ana, "Kita ke kantin." Akupun mengangguk dan berjalan mengikutinya.

Sambil sesekali mengecek telepon genggamku aku mendengar cerita tentang keadaan dikelas dari Ana. "An, kakakku telepon, aku nanti nyusul aja ya?" ucapku setelah melihat nama mbak Kirei terpampang di layar teleponku. "Okay! Nanti line aja kalo udah di kantin," ucapnya lalu melambai.

Oke, mungkin ini mimpi buruk yang menjadi nyata. Ini benar-benar gawat! Seseorang tolong aku, hiks.

"Na, mulai besok aku dan masku akan tinggal sama kalian dirumah kita, aku gak bisa tinggalin kalian berdua aja dirumah," ucap mbak Kirei di telepon. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Besok? Tinggal? Dirumah kami? Ini benar-benar mimpi buruk!

"Na, kenapa? Kalian gak bikin masalah lagi kan? Kalau sampai kalian buat masalah aku akan-" tanya mbak Kirei. "N-nggak kok, kita baik-baik aja," jawabku. "Ya, segitu dulu aja, mbak mau lanjut kerja lagi, bye."

Brother & Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang