Chapter 49

3.8K 184 3
                                    

Hening.

Keadaan hening yang menyesakkan.

Keduanya seperti enggan untuk sekadar melontarkan satu-dua kata untuk satu sama lain.

Total bungkam semenjak mendudukan diri didalam mobil milik kakak ipar mereka yang dilajukan oleh Rifqi. Yang menemani perjalanan mereka hanyalah suara deru napas keduanya.

"K-kak."

Luna merutuki dirinya yang mendadak gugup hanya untuk sekadar berbicara pada kakaknya, yang padahal biasanya berbagai umpatan mengalir dengan lancar dari belah bibirnya. Rifqi hanya berdengung tak minat. Namun Luna tidak meneruskan niatnya untuk bicara. Takut.

Rifqi menghela napas. "Kenapa Lun?"

Rifqi berujar dengan lembut, total paham kalau adiknya takut pada dirinya.

"I-itu, boleh nyalain radio?"

Rifqi terbahak mendengar penuturan dari Luna, sementara yang ditertawai hanya mengernyit heran. Memang apa yang salah, pikirnya.

"Mau nyalain radio aja pakai izin, lebay deh, nyalain aja kali," ucap Rifqi masih fokus menyetir. Luna mengernyit. Rifqi menatapnya sekilas, "Kenapa?"

"Nggak, siapa tau aja kakak pengennya berkendara dengan su-"

"Nyalain aja, aku juga capek hening terus."

Lunapun bergerak untuk menghidupkan radio, yang bodohnya setelah dinyalakan pun dia masih tidak menyimak apa yang diputar dari stasiun radio tersebut. Pikirannya entah tengah hinggap dimana.

Nyatanya, bukan hanya Luna yang pikirannya tidak berada disana. Rifqi pun sama. Ia terbahak hanya untuk menghilangkan rasa canggung yang benar-benar nyaris membuatnya gila. Rifqi mungkin suka dengan ketenangan, tapi bukan keheningan tak wajar sebagai hasil pertengkarannya dengan Luna. 

Keheningan masih terjadi, namun setidaknya kali ini sedikit diiringi alunan musik di radio yang kadang-kadang diikuti dengan gumaman senandung dari keduanya ketika menikmati lagu yang mereka sukai, yang kebetulan diputar di radio.

-----

Luna yang baru saja kembali dari balkon harus menunduk kala mendapati Rifqi keluar dari kamarnya. Canggung juga takut akan abainya sang kakak membuatnya menunduk dan sebisa mungkin segera masuk kedalam kamarnya, sungguh Luna takut dengan Rifqi. 

Namun kala tangannya sudah menggapai gagang pintu, suara Rifqi membuat Luna berjengit kaget dan sontak menoleh dengan perlahan.

"I-Iya kak?"

Rifqi menggaruk tengkuknya canggung. "Besok camping sama gue mau?"

"H-hah?"

Luna memiringkan kepalanya, merasa salah dengar.

"Camping sama gue besok, mau?"

Total mengernyit, menimbang mengiyakan atau menolak ajakan kakaknya itu.

"Mau camp dimana emang?"

Rifqi membuang pandangannya. "Belom tau sih, palng yang deket-deket aja."

Mengangguk ragu Luna pun mengiyakan ajakan Rifqi.

"Hm, boleh deh."

Rifqi mengangguk, "Yaudah siapin buat pergi besok, sore berangkatnya. Gue turun dulu."

Luna mengusap lengannya perlahan kemudian berjalan masuk kedalam kamarnya. Gila, canggung sekali.

Melemparkan tubuhnya keatas kasur, Luna kemudian menghubungi Dika, satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara saat ini.

Brother & Me [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang