Chapter 17

61 8 0
                                    

Don't forget to vote and comment and please enjoy the music at the multimedia.

"Kau ini kenapa?"

Oliv mencengkeram bahu Emma kuat, "Aku berhasil menemukannya."

***

Keduanya terdiam selama beberapa saat. Lalu Emma menyentuh kening Oliv pelan dan berkata, "Kau pasti sudah gila."

Oliv mengernyit heran sementara tanpa sadar Emma telah menarik tangannya untuk masuk ke rumah.

"Kau pasti terlalu kelelahan sampai berhalusinasi. Sudahlah, lebih baik kau cepat cari pengganti Ava dan dengan begitu kau bisa bekerja dengan tenang." ujar Emma.

"Kau pikir aku sudah gila? Ini sungguhan! Aku berhasil menemukannya." seru Oliv dengan wajah cemberut.

"Apa yang kau temukan, sih?! Daritadi bicara tidak jelas begitu." bentak Emma. Ia kemudian berjalan cepat ke arah dapur untuk mengambil minuman dingin.

Oliv menghembuskan nafas panjang menenangkan diri. "Orang yang selama ini kau cari. Yang karena dia, kau tidak mau pulang ke San Fransisco." jawab Oliv.

Emma segera menghentikan aktivitasnya. Minuman yang telah diambil tadi Ia letakkan di meja.

"Omong kosong apa lagi itu?" tanya Emma tanpa menatap Oliv sedikitpun.

"Aku tau kau tidak akan pernah pulang sampai kau menemukannya. Aku tak tau apakah itu benar dia, atau mungkin mereka hanya mirip, tapi aku berhasil menemukannya." ujar Oliv.

Emma menutup pintu kulkas lalu mengambil minuman dingin tadi. Ia berjalan ke arah Oliv lalu duduk di hadapannya.

"Siapa orang yang kau maksud? Bukankah dia seharusnya sudah.."

"Aku tau. Memang rasanya tidak mungkin." ujar Oliv lagi sambil membuat pola tak beraturan di lantai. "Tapi aku benar-benar bertemu dengannya." ujar Oliv lagi sambil tersenyum.

Emma mengangkat sebelah alisnya menunggu kelanjutan kalimat Oliv yang terputus-putus.

"Kakakmu." sambung Oliv sambil tersenyum. "Sangat mudah mengenalinya lewat rambut cokelat muda yang warnanya senada dengan milikmu. Dan iris matanya hijau." lanjut Oliv lagi.

Emma merenung sebentar lalu menenggelamkan kepalanya di lekukan tangannya. Ia menghembuskan nafas kasar lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Rasanya semenjak si laki-laki sialan itu pindah ke samping rumahku, hidupku tidak pernah tenang." keluh Emma.

Oliv tertawa kecil. "Kau tidak rindu pada kakakmu itu?" tanya Oliv lagi.

"Kakak sepupu lebih tepatnya. Dan.. Tentu saja aku rindu." jawab Emma.

Oliv tersenyum mendengar penuturan Emma. "Mau bertemu? Sudah lama sekali, loh."

Emma mendengus. "Dia pergi seenaknya dan datang seenaknya. Harusnya dari dulu, dia tak pernah mengikuti keinginan ayah. Seandainya dia sendiri punya pendirian, pasti masalahnya tidak akan tambah rumit." ujar Emma.

"Aku tau ini sulit, tapi kau tidak boleh lari dari masalah apapun itu. Kau harus menemuinya. Lagipula, bukankah ini adalah suatu pertanda?" tanya Oliv.

"Pertanda? Pertanda apa?" Emma balas bertanya.

"Kau bilang, kau benci negara ini. Ayahmu sudah memanggilmu pulang, tapi kau malah tidak mau dengan alasan, bukan hanya kau yang dibuang. Setelah kau menemukan teman 'se-pembuangan-mu', kau malah tidak mau bertemu dengannya. Aneh." ujar Oliv sambil mendelik heran bercampur kesal pada anak yang banyak maunya itu.

Lonely EmmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang