Chapter 19

26 1 1
                                    

Liam melepas pelukannya dan menatap manik mata Emma dalam-dalam.

"Aku sangat mencintaimu."

***

Emma duduk di kursinya sambil menatap jam dinding dengan gelisah. Sesekali mendengarkan pelajaran kimia yang disampaikan oleh gurunya, lalu kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kakinya tak berhenti bergoyang menciptakan getaran tak henti bagi teman sebangkunya—Oliv.

"Emma, kau ini kenapa sih? Bisa tidak kau berhenti melakukan kebiasaan anehmu itu setidaknya sampai kelas selesai?" tanya Oliv risih.

Emma tidak menjawab. Ia berhenti menggoyangkan kakinya tapi matanya masih terus memperhatikan gedung-gedung di luar sekolah. Oliv mengernyitkan keningnya bingung, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Ia melanjutkan catatannya tanpa memperdulikan sahabatnya yang aneh itu.

Emma benar-benar tak bisa fokus pada pelajaran. Ia hanya ingin pulang detik itu juga. Kata-kata Liam semalam terus terngiang di pikirannya membentuk terowongan hitam di otaknya yang seakan tak memiliki akhir.

Selama seharian dia telah berusaha bersabar hingga jam pelajaran terakhir agar bisa pulang secepatnya dan menemui Liam untuk menanyakan ungkapan perasaan ambigunya tadi malam.

Tepat disaat kesabarannya sudah mulai runtuh, bel pertanda pelajaran telah selesai pun berbunyi. Emma segera berdiri, memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, dan berlari keluar bahkan sebelum sang guru sempat melangkahkan kakinya keluar kelas.

Ia pergi ke lapangan parkir dan menunggu Liam keluar dari kelas. Setelah beberapa saat, tampaklah surai biru tua milik lelaki itu yang terlihat sangat mencolok di antara murid-murid lainnya.

Emma tersenyum samar padahal dalam hati jantungnya sudah lari marathon, berdegup sangat cepat sampai membuat otaknya blank.

Melihat gadis mungil itu sedang berdiri di lapangan parkir, Liam pun segera mendekatinya dengan senyum sumringah.

"Hey, sedang apa di sini?" tanya Liam. "Setauku kau tidak bawa kendaraan apapun ke sekolah." tambahnya lagi.

"Mm.. Jadi, bagaimana ibumu? Dan seluruh rencana kita tadi malam?" tanya Emma.

"Aa.. Ya, mengenai itu... Ibuku selalu siap kapanpun kita membutuhkan bantuannya. Tinggal menunggu kabar dari Ava saja." ujar Liam.

"Ooh.. Baiklah. Kalau begitu aku SMS Ava sekarang." ujar Emma sembari merogoh saku jas almamaternya dan mengambil benda tipis bernama ponsel itu dari sakunya.

To: Ava
Hey, bocah. Bagaimana ibumu?

Liam yang memperhatikan tiap huruf yang Emma ketik kemudian berdecak tak suka. Mendengar decakan Liam, Emma menatapnya tajam.

"Kenapa?" tanya Emma singkat.

"Kasar sekali, sih. Kalau bertanya itu baik-baik, Em." jawabnya.

"Terserah aku. Yang punya hp siapa, yang protes siapa." ujar Emma diakhiri dengan dengusan.

Liam geleng-geleng kepala dibuatnya. Ia merebut ponsel Emma lalu mengetik pesan baru untuk Ava.

"Hey, kau ini! Kembalikan!" bentak Emma sambil menarik-narik lengan Liam.

"Ambil saja kalau bisa." tantang Liam sambil mengangkat ponsel Emma tinggi-tinggi. Melihat Emma yang terus berusaha menggapai ponselnya yang jelas-jelas berada jauh lebih tinggi dibandingkan tubuh mungilnya itu, Liam terkekeh pelan.

"Apa yang kau tertawakan, hah?!" seru Emma lagi.

"Uh, astaga. Nona kecil, tolong pelankan volume suaramu sedikit. Sekolah ini bukan milikmu saja." ujar Liam sambil mengusap telinganya yang berdengung setelah mendengar teriakan Emma yang naik 5 oktaf.

Lonely EmmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang