Sisi Sendu Part 2

75 1 0
                                    

Hari ini aku sudah merasa benar-benar baikan. Dan aku mengikuti pelajaran di kelas hari ini dengan baik seperti biasa. Tak terasa sudah sampai pada penghujung hari.
👦: En, wih udah..

Aku menoleh, mengenali suara yang menyapaku. Tak biasanya aku melewatkan jeda hari sebelum aku pulang ke rumah dengan tak memandanginya seperti yang baru saja aku lakukan.
👧: Dey.. Apa?
👦: Udah sehat? Syukurlah..

Dey menghampiri tempatku berdiri dan menunggunya tanpa bergeming.
👦: Langsung pulang?
👧: Kayaknya iya, kenapa?
👦: Oh. Nanya doang 😆
👧: Mau jalan-jalan sama aku?
👦: Kapan-kapan deh, sekarang aku ditungguin tuh sama anak-anak.
👧: Ya udah, take care. See you..
👦: Iya, kamu hati-hati di jalan ya!

Aku mengangguk dan membiarkannya melewatiku disambut gandengan dari salah seorang teman perempuannya. Teman guys, bukan pacarnya! Tapi aku merasa berbeda pada waktu-waktu tertentu ketika mendapati tatapan matanya pada Dey. Ah biarlah, mungkin hanya perasaanku saja. Kadang setiap menjelang terang bulan, pikiran suka menjadi negatif.

Perasaan ini aneh, tapi aku takut untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan hatiku. Eaa..
Sebenarnya aku tak takut terluka tapi aku tak ingin membelenggu siapapun.

Jadi begini, aku tak tahu sejak kapan menjadi merasa senang atau apa istilahnya? Merasa nyaman.. ah tidak, aku sesungguhnya tidak mendapatkan kenyamanan mungkin aku menyenangi kehangatan karena aku orang hangat di luar tapi dingin di dalam. Maka ketika aku biarkan seseorang menjajaki pemikiranku lebih dalam, orang itu haruslah yang merasakan dingin pula di dalam hatinya meski tampak hangat dan selalu membuat nyaman orang-orang sekitarnya.

Kami berdua aneh? Iya, memang aku akui. Dan tak bisa kami pungkiri. Tapi kami berusaha normal, wajar dan hidup seperti kehidupan yang seharusnya terlihat. Meski ada sisi lain yang menakutkan yang kami redam kuat-kuat dengan begitu lihainya karena hal tersebut sudah terbiasa kami lakukan dengan latar belakang orang tua seperti yang aku maupun dia miliki.

Berbeda, tentu kami berbeda. Aku, lebih mampu memprediksi apa yang akan Dey pikirkan, apa yang akan Dey lakukan, apa yang akan Dey katakan. Sehingga dalam dialog-dialogku dengannya, seakan aku hanya memutar ulang kaset video yang telah aku buat sendiri isinya.

Dia, aku seakan melihat cermin.. refleksi diriku yang aku temukan dalam wujud lain dari latar lain dengan bentuk dan perlakuan yang lain dari Tuhan untuk membuatnya sekuat sekarang.. membuatku sekuat sekarang. Namun banyak yang terlampau aku lewati melebihi apa yang baru hendak dia jajaki. Tentu saja pada sisi lain ada banyak hal yang telah lebih dulu dia jajaki dan arungi melebihi luasnya aku menapakkan pijak dalam kehidupan.
Jadi apa lagi yang sama?
Hal lain yang sama.. kungkungan yang memenjarakan tubuh kami, dilema yang disebut dengan titian hidup. Dan keinginan-keinginan yang terbendung begitu lama. Tentu saja, kami sama-sama tak tahu kapan kami dapat mengurai bendungan tersebut menjadi aliran-aliran bebas. Satu hal yang pasti, kami.. aku dan dia sedang sama-sama memetakan jalan yang akan kami lalui masing-masing dan membiarkan garis hidup membawa kami untuk mencapai cita-cita yang besar.

Untuk saat ini dan beberapa masa kedepan.. aku, Sendu Rianna hanya memikirkan hal-hal apa yang harus diraih untuk membuat orang-orang disekitarku bangga akan adanya diriku, membuat mereka tersenyum dan bahagia meski hanya dengan mengenalku.

MemarWhere stories live. Discover now