Eleven

52 19 5
                                    

Harry sedikit menceritakan sesuatu pada gadis didepannya. Gadis itu hanya mengangguk tanpa mengomentari apa yang Harry katakan. "Jadi kau mau membantuku?"

"Tentu saja. Aku juga sudah lelah melihat Bella yang sudah lama sendiri."

Harry tertawa kecil.

"Baiklah, kau harus bisa membujuknya. Aku percayakan ini padamu."

***

Harry menuruni tangga dari lantai dua.

Melangkahkan kakinya menuju kami yang sedang berkumpul.

"Kita akan bersenang-senang besok." serunya begitu tiba.

Aku menatap Harry heran.

Liam menaikan satu alisnya.

"Party?"

"Tepat sekali."

Liam dan Zayn tersenyum puas dengan jawaban Harry tadi.

Aku tau pemikiran mereka, tentu saja mereka pasti akan mencari mangsa.

"Kau akan ikut 'kan Niall?" tanya Zayn.

Aku sedikit ragu, sangat malas untuk datang ke acara party seperti itu.

Yang ada aku akan melihat pemandangan menjijikan yang dilakukan oleh mereka.

Bermain games memanglah wajar, tapi biasanya game-nya yang kalah akan meminum sepuluh wine kemudian harus mencium seorang jalang.

Membayangkannya saja sudah jijik, apalagi jika aku yang kalah dan harus melakukan itu.

Tamparan Louis membangunkan pikiranku.

"Kau akan ikut 'kan Mr. Horan?"

Aku menggangguk ragu.

"Tentu."

Saat aku akan bangkit berdiri menuju kamar, sempat aku melihat Louis yang mengacungkan jempol kepada Harry.

Sejak tadi, aku berprasangka akan terjadi sesuatu yang aneh.

Aku menatap diriku dicermin setelah masuk ke kamar.

Setan dalam hatiku seperti berbicara, "Lihat dirimu yang bodoh ini, yang berlagak kuat setelah kepergian gadis pujaannya."

Pikiran itu benar, aku tidak menyanggahnya. Aku memang lelaki bodoh yang tidak berani mengungkapkan perasaannya pada gadis yang ku cintai.

Tidak, tetapi hanya aku disini yang berlebihan mengharap padanya.

Tanganku membuka laci meja, mengobrak-abrik yang ada didalamnya sampai aku menemukan sebuah foto.

Aku dan dia.

Terlihat disana saat aku berumur 16 tahun berpose terseyum dengan merangkul pundak si gadis berambut brunette.

Aku ingat itu adalah pertemuan terakhir sebelum malamya saat aku akan menyatakan perasaanku, aku melihatnya berdansa dengan lelaki lain-- dengan senyum yang terukir dibibirnya.

Malu, benci, marah itu adalah hal yang hanya ku rasa setelah melihatnya.

Dan pikiran bodohku saat itu yakni pergi menjauh darinya dan enggan untuk bertemu dengannya lagi.

Katakanlah aku egois, tetapi siapa yang mau menatap muka gadis yang hanya aku saja yang menaruh rasa suka padanya.

Foto itu adalah bukti bahwa dia nyata, dipikiran maupun digoresan hatiku.

Kuletakkan kembali foto itu disana lalu menutup laci ku dengan kasar sampai berbunyi keras.

Melangkahkan kakiku menuju kaca jendela yang langsung berhadapan dengan taman.

Summer MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang