12

1.7K 226 30
                                    

Chapter 12:
DESTINY

"Merasa lebih baik?"

Harry bertanya kepada dokter Swift yang tampak mengatur pernafasan sambil mengipasi wajahnya yang lembab oleh air mata. Harry tak percaya, hampir satu jam dia menemani dokter ini. Mendengarnya menangis tersedu-sedu karena gagal menyelamatkan nyawa seorang pasien.

Tapi biar bagaimanapun, Harry cukup mengerti saat dokter itu mengatakan jika pasien yang satu ini adalah pasien pertama yang gagal diselamatkannya. Selama ini, Taylor tak pernah gagal menyelamatkan seseorang, meskipun seseorang itu tengah kritis. Bahkan, dokter Evans pernah memuji jika Taylor memiliki tangan ajaib, tangan penyembuh. Tapi tangan ajaib itu tak berfungsi sekarang.

Harry menghela nafas, melihat Taylor yang diam menatap lurus entah ke mana. Harry menjentikkan jari di hadapan gadis itu dan membuat gadis itu menoleh kepadanya.

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kau tahu dokter hanya manusia, bukan Tuhan yang dapat mengubah takdir seseorang. Siapa tahu, pria itu memang ditakdirkan untuk mati hari ini. Apa yang bisa kau lakukan?"

Taylor menggeleng. "Kalau ditakdirkan mati hari ini, kenapa harus di sini dan setelah aku melakukan segala macam cara untuk menyelamatkannya? Apa Tuhan tengah bermain denganku? Dia sengaja ingin mempermalukanku?"

Harry memicingkan mata mendengar perkataan gadis itu sebelum memukul meja, membuat Taylor tersentak.

"Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan? Kau baru saja menyalahkan Tuhan!" Harry membentak dan Taylor menundukkan kepala, memejamkan mata. Baru kali ini seorang Harry Styles membentaknya.

Mata Harry terpejam, berusaha meredakan amarahnya. Harry selalu sensitif jika berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Harry dibesarkan di keluarga yang agamis. Meskipun dia bukan seseorang yang agamis, tetap saja Harry punya keyakinan dan kepercayaan yang cukup tinggi akan Tuhan-nya.

"Maafkan aku. Aku tak sengaja membentak. Aku tak bermaksud kasar, tapi kau tahu sendiri. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Kau hanya dapat percaya dan memohon jika dia akan memberi rencana yang sangat baik untukmu, meski tak secara langsung." Harry membuka mata dan masih mendapati Taylor yang menundukkan kepala, duduk di kursi kerjanya.

Senyuman tipis muncul di bibir Harry. "Grandma-ku meninggal di rumah sakit. Setelah dokter berhasil melakukan operasi usus besar." Harry mengambil nafas sebelum melanjutkan, "Aku juga tak mengerti, kenapa Grandma meninggal setelah operasi berhasil dilakukan. Bukankah seharusnya dia membaik? Bukankah seharusnya dia sudah jauh lebih sehat dari sebelumnya? Tapi tidak seperti itu."

Perlahan namun pasti, Taylor mengangkat wajah. Memperhatikan senyuman tipis penuh kesedihan di bibir merah muda aktor yang memang sangat sulit dielak ketampanannya.

"Keluargaku tak percaya dan meminta penyelidikan lebih lanjut karena masalah ini. Pasalnya, dokter mengatakan jika operasi berhasil, lantas kenapa Grandma meninggal? Akhirnya, keluargaku membawa mayat Grandma ke rumah sakit lain untuk melakukan autopsi, sekaligus memeriksa takut-takut dokter yang bertanggungjawab atas operasi di rumah sakit sebelumnya melakukan kesalahan. Keluargaku bahkan sudah memanggil pengacara dan penasehat hukum, menyiapkan tuntutan untuk rumah sakit sebelumnya itu." Harry kembali tersenyum dan iris hijau itu kini menatap iris biru di hadapannya.

Harry melipat tangan di atas meja. "Tapi kecurigaan dan ketidakpercayaan kami itu salah. Setelah diautopsi sekaligus dilakukan pemeriksaan ulang di rumah sakit lain, mereka tak mendapati kesalahan operasi yang dilakukan rumah sakit itu. Operasinya benar-benar sukses dan kenapa Grandma-ku meninggal? Tadinya Daddy-ku tak lagi percaya dan berniat melakukan pemeriksaan ulang di rumah sakit lainnya. Dia curiga jika rumah sakit ini dan rumah sakit itu memiliki hubungan atau melakukan kerjasama." Harry menghela nafas dan melanjutkan, "Tapi Grandpa menolak saran Daddy. Grandpa bilang, 'Jangan mempersulit kematiannya. Tuhan pasti sangat merindukannya. Biarkan dia bersenang-senang di surga. Dia sudah cukup tersiksa dengan segala macam penyakitnya'. Setelah itu, kami memutuskan untuk merelakan kematian Grandma."

Doctor SwiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang