Chapter 21:
LATE NIGHT COFFEE"Bukankah sudah kukatakan? Kau tak perlu menemaniku, aku akan tetap mengantarmu kembali ke apartemen." Taylor menghela nafas sebelum menyeruput vanilla latte hangat pesanannya, melirik sekilas Harry yang tampak sudah mulai menguap.
Harry menggeleng dan meraih cangkir mocca-nya. "Kembali ke apartemen dan membiarkanku meminum kopi sendirian di sini? Tidak akan." Harry menyeruput mocca hangatnya dan Taylor terkekeh.
"Kau bukanlah pacarku, tapi sikap protektifmu bahkan melebihi sikap protektif Ibuku." Taylor berkata dan meletakkan cangkir kopinya di atas meja.
Harry meletakkan cangkir kopinya dan melipat tangan di atas meja. "Bukan bukan, Taylor. Tapi belum."
Taylor mengangkat kedua alis. "Maksudmu, ada kemungkinan kau menjadi pacarku?" Taylor ikut melipat tangan di atas meja, menatap pemuda di hadapannya dengan lekat.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Tadinya, Taylor ingin langsung mengantar Harry kembali ke apartemennya, lalu membeli kopi di Starbucks untuk diminum saat dia kembali ke apartemen. Tapi Harry malah mendesak untuk langsung minum di Starbucks, karena menurutnya rasa kopi akan berbeda saat diminum langsung di tempatnya dan diminum di rumah.
Sudah beberapa kali Harry menguap dan matanya mulai berair. Taylor dapat memastikan, pemuda ini pasti sudah mengantuk. Mendengar cerita Harry tentang sutradaranya yang marah dan meluapkan amarahnya dengan syuting tanpa henti, Taylor merasa kasihan. Biar bagaimanapun, aktor juga manusia. Mereka bukan robot yang bisa bekerja tanpa istirahat.
"Aku tak melihatnya sebagai kemungkinan, tapi sebagai kepastian." Harry menjawab pertanyaan Taylor dengan seringai di bibirnya.
Taylor terkekeh. Sebenarnya sangat aneh. Taylor baru mengenal Harry kurang dari sebulan, tapi dia merasa sudah mengenal Harry sejak lama. Mungkin karena Harry yang selalu jujur padanya dan Harry yang gemar bercerita padanya. Taylor seorang dokter dan dia cukup cerdas untuk memilih, mana orang yang dapat dipercayainya dan mana yang tidak dapat dipercayainya. Dalam waktu singkat, Harry sudah masuk ke dalam golongan orang yang dapat Taylor percayai.
Sikap Harry juga sangat berbeda dengan pria-pria yang pernah Taylor sukai, bahkan kencani. Sebenarnya tak banyak. Taylor hanya berkencan dengan dua pria selama hidupnya, setidaknya sampai detik ini. Dua pria itu adalah pria yang berusia cukup dewasa, lebih tua beberapa tahun darinya. Keduanya memiliki pola pikir yang sangat dewasa, mungkin terlampau serius. Tapi gadis-gadis jaman sekarang menyebut pria seperti itu sebagai pria idaman. Cold. Cool.
"Apa kau akan memintaku menjadi pacarmu sekarang?" Taylor bertanya santai, meskipun itu benar-benar berasal dari hati.
Harry tersenyum dengan wajah mengantuknya. "Suasananya kurang romantis dan kita benar-benar belum pernah berkencan. Kencan kita yang waktu itu saja gagal. Dari salah satu film yang kubintangi, aku tahu jika kau baru bisa meminta seorang gadis untuk menjadi kekasihmu saat kalian sudah pernah berkencan, atau saat kalian sedang berkencan."
Taylor tak pernah seterbuka ini pada seseorang yang belum lama dikenalnya. Harry yang blak-blakan jelaslah berbeda dengan pria-pria lain yang lebih memilih untuk menjaga image di depan gadis yang mereka sukai. Tapi Harry selalu menjadi dirinya sendiri, tak ada yang disembunyikannya.
Taylor menghela nafas. "Lusa—maksudku, besok mengingat sekarang sudah pukul dua dini hari—aku akan kembali ke New York."
Harry mengangguk. "Aku tahu."
"Aku tak menjamin apakah kita akan bertemu lagi atau tidak." Taylor melanjutkan.
Harry tersenyum miring. "Kau benar-benar tak sabar menjadi pacarku, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor Swift
FanfictionTakdir mempertemukan Harry Styles-aktor tampan berusia 27 tahun-dengan gadis rapuh berusia 25 tahun dengan pekerjaan sebagai dokter bernama Taylor Swift.