41

1.2K 163 13
                                    

Chapter 41:
FOLLOW YOU

"Hei, apa kabar?"

Pertanyaan Harry itu menarik Taylor kembali ke dunia nyata. Mata biru Taylor benar-benar terfokus pada pemuda yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, tampak tampan dengan kaus oblong hitam dan jeans hitamnya.

Dia selalu tampan, memang dia tampan dan memikat, seperti biasa.

"Umm,... Aku baik. Bagaimana denganmu?" Taylor balas bertanya seraya memaksakan diri untuk tersenyum. Kenapa sangat sulit untuk tersenyum sekarang? Kenapa jantungku masih berdegup tak karuan?

Degup jantung Taylor bertambah tak karuan saat Harry melangkah mendekat, hingga mungkin jaraknya dan Taylor hanya berkisar satu kotak marmer atau bisa dikatakan kurang dari lima puluh centimeter.

"Aku baik, seperti yang dapat kau lihat."

Senyum itu... Lesung pipi itu... Sudah berapa lama Taylor tak melihatnya? Kenapa sepertinya sudah sangat lama sekali? Tapi memang setahun itu waktu yang cukup lama, bukan?

"Aku datang untuk menemui Liam. Mungkin dia pernah bercerita padamu, jika kami teman SMA dulu. Tapi dia pergi meninggalkanku sendirian di ruangannya dan belum kembali sampai sekarang." Harry menghela nafas dan memasukkan jarinya ke saku celana, berusaha setengah mati untuk menghindari tatapan mata dengan Taylor. Meskipun Taylor benar-benar menatapnya secara langsung.

Taylor memejamkan mata sekilas dan mengalihkan pandangan, menjadi ke bawah, ke lantai marmer yang pastinya sangat dingin. "Dia sedang membantu menenangkan dokter Hunt. Mungkin dia akan kembali besok. Sepertinya dia mengantar dokter Hunt pulang."

Harry mengangguk singkat. "Aku mengerti. Tak apa jika pintu ruangannya tak dikunci? Dia tak menitipkan kunci ruangan kepadaku."

Taylor menggeleng sebagai jawaban dan Harry kembali tersenyum simpul. Taylor membeku saat tangan Harry menepuk pundaknya pelan dan pria itu berkata tenang, "Aku sudah mendengar tentang kau dan Zayn. Aku senang."

Tak lama, Harry menjauhkan tangannya dari pundak Taylor dan memaksakan diri untuk menatapnya. Taylor bahkan bungkam, tak mau mengucap apapun dan lebih memilih untuk menjadi pendengar.

"Kau dan aku...bisa berteman, kan? Aku akan menjadi teman siaga untukmu. Jika Zayn melakukan sesuatu yang buruk atau membuatmu kesal, kau harus menghubungiku. Mungkin kita bisa membuat rencana supaya membuat pria itu sadar dan tak mengulangi kesalahannya lagi?" Harry terdiam mendengar ucapannya sendiri. Kalimat terakhir yang dia ucapkan..tidak ketara jika bergetar, kan? Tidak, semuanya terdengar normal.

Taylor mengangkat wajah dan tersenyum simpul. "Terima kasih."

Hanya dua kata dan Harry mengangguk singkat sebelum ikut memaksakan bibir untuk tersenyum.

"Well, a—aku harus...err...pergi? Ya, aku harus pergi. Nice to meet you...again, dokter Swift."

Setelah itu, Harry pergi melangkah meninggalkan Taylor yang menatap punggung pemuda itu hingga akhirnya menghilang. Taylor menggigit bibir bawahnya dan menyandarkan punggung pada pintu ruangannya.

Gadis itu memejamkan mata dan membiarkan air mata mengalir begitu saja dari pelupuk matanya.

"Dasar bodoh!"

Umpatan mengalir ke luar dari mulutnya, tak mampu lagi dia tahan.

*****

"Dasar bodoh!"

Harry memukul stir mobilnya dengan keras. Pemuda itu mengatur pernafasannya. Jantungnya berdegup tak karuan, tangannya mencengkram stir mobil dengan keras. Wajahnya tampak memerah, seperti menahan amarah dan kekecewaan.

Doctor SwiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang