BETAPA INDAHNYA ALAM!
Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh, menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-gunung. Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah.
Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban, dengan CANTA KASIH!
Di kaki Pegunungan Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok besar dan termasuk daerah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang amat liar dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas, dan jarang didatangi manusia. Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal sebagai tempat keramat yang amat berbahaya. Kabar angin mengatakan bahwa di lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang tewas ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorangpun pemburu yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapapun gagah dan beraninya pemburu itu.
Pemandangan di lembah ini sungguh amat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang luas sebuah padang rumput dan terutana karena keadaan padang ini pulalah yang membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga. Padang itu dinamakan orang Padang Bangkai karena di sekitar padang itu terdapat banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur di mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur. Namun, dipandang dari atas, sungguh tidak kelihatan semua kengerian itu, yang nampak hanyalah keindahan yang amat mentakjubkan. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah.
Memang tidak mengherankan kalau orang mendekati lembah itu, apalagi mendekati Istana Lembah Naga yang kelihatan angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu kini penuh dengan lumut hijau, demikian pula arca-arca itu. Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, di waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok. Sebagai keturunan seorang jenderal gagah perkasa, Sabutai inipun amat besar ambisinya, cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pernah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan untuk menegakkan kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan (baca cerita Dewi Maut) dan kini dia hanya puas dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan.
Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istananya dan markasnya. Kemudian, dia memperbaiki istana itu setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal dan memberikan istananya itu kepada kedua orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari Sailan yang amat sakti. Dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorangpun manusia dari luar yang berani mendekati istana itu.
Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya? Sesungguhnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masib nampak bekas-bekas pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampiri istana, memasuki istana seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana itu dan melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu! Terbayanglah dalam benaknya ketika dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau mengakuinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang kini telah pergi pula meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta hatinya, bahkan pula tangan kirinya! Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di situ, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan tidak mau menerimanya!
Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah ber potongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang nenek yang selalu berpakaiain hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw. Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia kang-ouw dan karena dia memiliki keistimewaan dan gerakan ringan dalam limu gin-kang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka dia terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-yan-cu (Burung Walet Merah).
Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw yang tertawan, dan karena pemuda itu diberi makanan yang bercampur racun pembangkit nafsu berahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang menaruh rasa hati cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu pemuda itu makin tenggelam dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan itu. Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, dan pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang dicintainya! Dia kehilangan segala-galanya. Gurunyapun telah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatangkara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia telah dibawa pergi oleh pemuda yang dicintainya itu.
Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, dapat melupakan kedukaannya. Akan tetapi, kegairahannya untuk hidup itu yang mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya dan membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam dan akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung! Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, telah menghasilkan kandungan di dalam perutnya!
Makin tua kandungannya, makin tertekan rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah NASIB yang membuat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah? Betapa mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini?
Setelah tahu bahwa dirinya mengandung, mulal terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak memperdulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya seperti orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, makin tersiksa rasa hatinya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tidak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di dalam kamarnya di istana yang besar itu.
Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apapun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai hati untuk membunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja. Dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian dan kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal.
Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung, mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita hanya dapat bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya langsung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewaan, iba diri dan sebagainya.
Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya telah tiba dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, di tempat itulah adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri, bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandungannya! Anak inilah yang menjadi penyebab penderitaannya! Anak ini adalah anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu amat dibencinya sebelum terlahir. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaafkan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biarpun Bun Houw telah menolak dan menghinanya. Dia tidak ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi lalu pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah gua, tidak jauh dari istana itu.
Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu suka mengganggu monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya. Akan tetapi setelah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tidak pernah mau memperdulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Si Kwi tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri tidak pernah kekurangan makanan. Di situ terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lain. Maka tidak mengherankan apabila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apalagi monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sungguhpun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi.
Beberapa ekor monyet besar malah menggunakan sebatang pohon besar di belakang istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka bersembunyi dan tidur di dalam guha-guha yang hanyak terdapat di sekitar tempat itu. Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit lehernya, Ular itu melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaga sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah mati mengeluarkan suara merintih seperti menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu.
Sementara itu, dari dalam sebuah guha yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi. Wanita muda ini rebah terlentang di dalam guha, di atas tanah dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding guha. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup jubah panjang karena dia telah melepaskan celananya. Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan, dan pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu dan ayahnya yang telah tiada! Air mata bercucuran, bercampur dengan peluh yang memenuhi dahi dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.
Kelahiran merupakan suatu peristiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang amat mengharukan. Dalam peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang amat kuat bagi seorang anak untuk mencintai ibunya, dan bagi seorang suami untuk menghormati isterinya. Seorang ibu yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tidak mungkin merenggut nyawanya. Namun betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan anaknya!
Ibu, betapapun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci!
Malam mulai tiba. Dalam guha itu gelap sekali. Rintihan dari guha masih terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati guha dan akhirnya ada sinar bulan yang memasuki guha sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi. Si Kwi yang masih tersandar dengan tubub lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang kering, kemudian dengan mata masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya, "Air... air... aku haus... air...!"
Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya.
"Air... aku ingin minum...!" Dia kini berseru nyaring. "Ibu... ayah... aku ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!"
Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari guha. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, "Cia Bun Houw...!"
Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut guha dan matanya memandang ke luar. Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam guha. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar guha, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan.
"Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan terlahir... ohhh!"
Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam guha karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia merebahkan diri terlentang lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu ke atas batu-batu dinding guha.
Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya makin pucat dan dia memejamkan mata, mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih. Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar guha tadi menarik perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk guha diam-diam lalu berdatangan dan memasuki guha. Melihat Si Kwi terengah-engah itu, monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam guha, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka seolah-olah mengerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang mati digigit ular tadi!
Kegelisahan mendesak di dalam hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demikian menyakitkan. Dia tidak perduli lagi bagaimana kalau anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tidak sempat memikirkan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu!
Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam guha. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan.
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri gerakan mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari dan kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini lewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak memperhatikannya, tidak memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata kepada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya!
Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tidak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran yang terjadi di dalam guha itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya. Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak oleh kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darahpun berhenti mengalir.
Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi yang membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam guha yang amat sunyi itu. Tidak ada seekorpun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar mata yang lesu menerawang langit-langit guha, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali.
Teringat dia akan yang yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.
"Ahh...!" Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Dia melihat sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena matahari masih muda sinarnya. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan kiri yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah!
Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis terus itu berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air susu yang cukup banyak. Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru terlahir. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati.
Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan monyet jantan itu terpaksa menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapapun juga setelah dia kehilangan bayinya yang digigit ular dan kini memperoleh penggantinya.
Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh monyet betina itu. Biarpun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun beberapa hari kemudian bayi itu telah pula pandai bergantung kepada rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncatan dari cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing!
Entah ada pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga, menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga hanya nalurinya, karena dia tidak ingin manusia itu melihat anak yang dirawatnya, yang kini menjadi anaknya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari istana, di dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar dan dia jarang sekali turun ke tanah kecuali untuk mencari makan.
Baru setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, sudah kuat tubuhnya induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke cabang. Seorang anak laki-laki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan hitam sekali, mukanya bundar dan matanya bersinar tajam dan liar seperti mata monyet-monyet.
Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah pohon mencari cacing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat muka dan memandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justeru hal ini membuat dia lebih buas daripada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas dan galak!
"Aaauuughhhmmm!" Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia masih terheran-heran melihat mahluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, akan tetapi hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti mahluk ini. Seperti segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau itu.
Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itupun dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri. Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap dipundak kiri anak itu. Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang di pundaknya, dari pundak ke punggung.
Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba terdengar pekik dan gerengan dahsyat induk monyet itu sudah melayang turun, menyambar tubuh anak itu dengan lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia menghadapi harimau, tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali-kali. Monyet betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya. Padahal biasanya, melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, melihat anaknya terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring dan memberi tanda kepada kawan-kawannya!
Di antara binatang liar, rombongan monyet memang mempunyai naluri untuk bersetia kawan. Biarpun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah akan tetapi kini melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu dengan marah!
Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan binatang buas itu lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang telah digigit patah batang lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu.
Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di pundak anak pungutnya itu dan karena ini agaknya maka luka itu cepat sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sembuh sama sekali, hanya nampak bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon dengan cekatan sekali.
Kehidupan di dalam hutan memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang hutan, terutama golongan monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama pertumbuhannya dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah. Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tak berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Dan agaknya monyet betina itu maklum akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tidak mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya dipergunakan untuk mengasuh anak itu, diasuh dan diikutinya ke manapun anak itu pergi.
Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalannya membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet hanya dia makin pandai memanjat pohon, pandai meloncat dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya amat mentakjubkan, cepat bukan main. Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah! Betapapun juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik daripada monyet, memiliki daya tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka anak itu dalam banyak hal mengalahkan monyet-monyet itu dan diapun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar.
Pada suatu hari, ketika anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan mencari tempat sembunyi yang aman. Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat menghampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan anak-anak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis sehingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takutnya dan hanya dapat menjerit-jerit.
Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras ketika betis kakinya tergigit oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi segera lari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik.
Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu, kini melayang turun, diikuti teman-temannya. Melihat anaknya bergumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina marah sekali, Demikianpun teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru!
Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin dari perbedaan susunan dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi bisa ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda dengan anak manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja.
Monyet betina besar itu dengan nalurinya tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan akhirnya dia tiba di dekat guha di mana dulu dia mengambil anak itu yang baru terlahir, setahun yang lalu.
Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki guha. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke kanan kiri akan tetapi guha itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet ataupun rangkanya tidak nampak di situ.
Ke manakah perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, setahun yang lalu, wanita ini roboh pingsan lagi ketika dia siuman di waktu paginya dan melihat bahwa yang menggeletak di antara pahanya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa kaget dan ngeri membuatnya pingsan kembali. Akan tetapi sekali ini, karena tubuhnya sudah mulai pulih kekuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar itu. Setelah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu. Diambilnya bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya. Hatinya lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa monyet! Akan tetapi timbul kekhawatiran lain di dalam hatinya. Siapakah yang menculik anaknya?
Jantungnya berdebar. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambilnya? Mudah-mudahan begitu, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa menolongnya? Bukan demikian watak pendekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan bangkai seekor monyet kecil? Inipun tidak masuk akal! Yang dapat melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi siapakah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya? Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah Naga, semua telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pendekar sakti. Hanya Hek-hiat Mo-li seorang yang tidak tewas dan nenek iblis itu telah pergi bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melakukannya? Dia bergidik kalau teringat kepada nenek bermuka hitam yang mengerikan itu. Akan tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir.
Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar guha. "Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan ini. Nenek jahanam, iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!" Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apalagi dia. Andaikata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apa yang dapat dia lakukan terhadap nenek itu? Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang syaratnya untuk dikuasai adalah makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi.
"Bun Houw...Cia Bun Houw...hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah dagingmu...akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?" Si Kwi menangis sesenggukan.
Setelah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam guha, membawa bangkai anak monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiripun berada di dalam bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya terhadap anak monyet itu dan biarpun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri mengubur bangkai itu baik-baik.
Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tidak peduli lagi. Pakaiannya jarang diganti, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia lebih sering tidur di dalam kamamya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia seperti mayat hidup saja.
Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka makin mendalam karena dorongan ingatan dan sengsaralah manusia yang sudah menjadi korban dari duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan dan kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh. Padahal, sebelum terjadi peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, sebelum dia bertemu dengan pemuda yang amat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang dara cantik manis angkuh, yang mengandalkan kepandaian dan merasa tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!
Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula menjadi murid orang jahat. Mendiang ayahnya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal. Dia dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga bukan seorang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman.
Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Sejak masih mudanya, Hek I Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang amat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang di waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang tertarik! Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu berahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka! Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sebenarnya hal itu tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri?
Baik Hek I Siankouw maupun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula termasuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan menyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan memusuhi golongan pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang bernama Toat-beng Hoatsu, telah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk membalas dendam kematian suhengnya inilah maka Hwa Hwa Cinjin sampai bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Keng Hong! Dan karena Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong dan keluarganya adalah keluarga yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan!
Demikianlah, setelah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, dengan sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya dan berdiri di fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putra dari ketua Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu!
Semua itu telah dituturkan dalam cerita "Dewi Maut" dengan jelas. Liong Si Kwi bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat sehingga diapun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani. Dia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang dicintanya, kehilangan harapan, kini setelah melahirkan dia kehilangan anaknya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja.
Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya kesenangan hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya seseorang dari SATU perbuatan saja!
Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian. Terjadilah perubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi.
Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi sudah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat guha besar di mana dia dahulu melahirkan. Melihat guha ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju ke guha itu. Setelah tiba di depan guha, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam guha!
Si Kwi terkejut setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah guha, sayur dan bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya? Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang dalam benaknya. Akan tetapi rasa takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah dia bertemu setan! Tahyul belaka! Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka segera rasa takut itu dibuangnya dan dengan langkah lebar dia memasuki guha besar itu. Tadinya dia hanya berdiri karena menyangka bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayal. Akan tetapi ketika tangis itu terus bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki guha.
Dan di tengah guha itu, di tempat di mana dia dahulu melahirkan anaknya, nampak seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak hitam, dan di situ terdapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak itu. Seorang anak laki-laki, anak manusia dijaga empat ekor monyet! Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anaknya yang lenyap setahun yang lalu, diculik oleh monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet besar ini!
Entah siapa yang lebih dulu menerjang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa monyet-monyet itu yang mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu, didahului oleh induk monyet, marah karena melihat wanita itu menghampiri anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dan hendak menggigitnya. Namun, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilangan kepandaiannya dan kesigapannya biarpun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang dipelajarinya dan dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis. Kedua kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanannya menampar dan tubuhnya bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan dan tamparannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia telah dapat menghajar monyet-monyet itu yang terlempar dan terbanting jatuh bergulingan. Akhirnya, tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar itu yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi dan beberapa kali dia kena ditendang dan dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir, tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan.
Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia memegangnya, akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan! Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini anaknya! Benar bahwa anak ini tidak salah lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, akan tetapi kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya keracunan. Dan anak ini memang usianya kurang lebih satu tahun, tepat sekali kalau anak ini adalah anak yang dilahirkannya setahun yang lalu. Akan tetapi anak ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali.
"Anakku...!" bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran. Dia memondong anak itu, tidak memperdulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saja gigitan anak berusia setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia menuju ke dalam kamarnya. Anak itu yang meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan.
Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam sebuah kamar di istana itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan segala macam obat-obatan, amat banyak sampai memenuhi satu kamar dan mereka adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula. Sedangkan Si Kwi adalah murid dari Hek I Siankouw yang juga ahli dalam mengobati segala macam luka yang keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw yang banyak melakukan perantauan, banyak pula menghadapi bahaya dari lawan yang menggunakan senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang pengobatan luka beracun.
Dia telah memeriksa luka di kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus untuk menghadapi racun ular. Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung sebatang pisau runcing yang dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit.
Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja dia telah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta, akan tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan giginya!
Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tidak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis seperti seekor monyet. Naluri seorang ibu amat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu. Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga memiliki perasaan dan dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia telah menjadi "jinak"! Makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan kedua kaki ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk! Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan di tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agaknya karena meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera.
Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar luka-luka di tubuh anak itu, terutama sekali luka memanjang di pundak sampai ke punggung. Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil keputusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya. Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti. Maka dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja dia menambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu.
Setelah menemukan anaknya, terjadilah perubahan besar sekali dalam kehidupan Si Kwi. Kini dia dapat tersenyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang jauh melebihi anak biasa. Kini Si Kwi mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, memperdulikan sesuatu, tidak lagi seperti biasa hidup seperti mayat berjalan tanpa memperdulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya.
Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Istana itu dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga. Pendeknya, dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian indah karena memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah di dalam istana itu, semangatnya bangkit dan hidup kembali.
Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang di antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol. Mereka itu biasanya ikut dengan rombongan suka bangsa yang suka berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran. Kini, mereka hidup di istana yang besar dan indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apalagi, mereka hanya melayani seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat.
Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun! Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguhpun tidak dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biarpun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya.
SERING sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka. Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap dari dalam kamarnya! Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan putranya untuk kedua kali! Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi "mengunjungi" teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tak jauh dari situ karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup.
Setelah mereka berenam tiba di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah cabik-cabik tidak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing!
Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong.
"Sin Liong...!" Si Kwi memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana anak itu nongkrong dengan sikap gembira.
Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, "Ibu...!" Hanya satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkannya dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi.
"Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!" teriak Si Kwi lagi.
Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka mengancam dan pemimpin monyet itu sudah memperlihatkan taringnya.
Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biarpun sudah mulai dilatih silat oteh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi pohon itu. Kini enam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di situ, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya. Dan anak inipun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali tidak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya. Melihat pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh keharuan dan kekaguman. Anaknya, yang baru berusia dua tahun itu telah tahu bagaimana membela ibunya!
Akan tetapi, monyet besar itu menggereng dan tangannya bergerak hendak mencengkeram atau mendorong pergi Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai.
Si Kwi menjadi marah. "Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab ini!" Setelah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah marah itu kini tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas.
"Hemm, kalian ingin mampus!" Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang. Ketika pemimpin monyet yang terbesaran paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur.
"Capp...!" Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu. Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon.
"Grrhhhh...!" Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya ketika dia melihat anaknya sudah menerjang dan mencakarnya! Dia menangkap tangan anaknya, lalu diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat.
"Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!" Lalu dia mengajak anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tidak meronta lagi, akan tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan.
Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga.
Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang amat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu.
Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa putranya itu tidak akan mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama setahun bersama monyet-monyet itu, maka diapun tidak melarang anaknya untuk bermain-main dengan monyet-monyet itu. Betapapun juga, ada rasa terima kasih di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa jadinya dengan anaknya karena ketika melahirkan, dia terus pingsan! Diam-diam Si Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan, kemudian begitu lahir diculik oleh monyet besar. Heran, dia memikirkan bagaimana dan apa jadinya dengah ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya itu. Bagaimana caranya monyet-monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...