Jilid 14

4.3K 55 1
                                    

"Kekasihku...!" Lee Siang berseru girang bukan main dan dia cepat bangkit berdiri, memutari meja dan di lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman!

"Ohhh... Ciangkun...!" Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu.

Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas. "Terima kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!"

Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas seperti tak bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri! Lee Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk menutupkan pintu kamar, lalu dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan mereka terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul.

"Sayangku, kekasihku,, dewiku..." Lee Siang berbisik-bisik dan memeluk, menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia memegang lengan panglima itu.

"Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!" Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak! Sungguh luar biasa sekali. Semenjak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin dan ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di malam pengantin!

"Maafkan aku, Liu-nio. Kenapakah? Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok pagi-pagi akan kuumumkan tentang pertunangan kita, dan kita boleh cepat-cepat mengatur hari pernikahan kita. Ah, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal..." Kembali panglima itu memeluk dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus.

"Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!" rintihnya.

Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya dan mereka kini saling memandang, wanita itu masih terisak dan menggunakan saputangan di tangan kiri untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan.

"Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi telah menerima cintaku, bukankah itu berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta kepadaku, bukan?"

Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas.

"Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku? Liu-nio, lihatlah baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan aku sudah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguhpun engkau kelihatan seperti seorang dara remaja, akan tetapi aku dapat menduga, bahwa engkaupun bukanlah seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini kalau kita lakukan dengan dasar cinta dan suka sama suka, apalagi setelah kita besok akan bertunangan dan disusul dengan pernikahan? Liu-nio kekasihku, setelah kita saling cinta, apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Kalau aku berlaku curang dalam hubungan kita ini, apa sukarnya engkau dengan kepandaianmu yang tinggi itu membunuhku setiap waktu? Sayang marilah..." Dan dia sudah merangkul lagi dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tidak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan secara halus diapun menunjukkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak ketika panglima itu hendak bertindak lebih jauh.

"Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja, berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati..."

"Ehhh...!" Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. "Apa... apa maksudmu...?" Wajah panglima ini berubah pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali.

"Ketahuilah, ciangkun," kata wanita itu setelah menghapus air matanya dan dia menjadi tenang kembali. "Biarpun usiaku sekarang telah tiga puluh lima tahun, akan tetapi sesungguhnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah seorang pria. Selama hidupku baru sekaranglah aku jatuh cinta kepada seorang pria. Dan kaulihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?"

Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biarpun begitu cantik jelita dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu. "Aku melihat sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan 1ebih manis, sayang!"

"Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!"

"Eh?" Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali. "Kenapa begitu?"

"Ketahuilah, titik ini adalah titik tanda keperawananku dan begitu aku menyerahkan diri seorang pria, titik ini akan lenyap dan akupun akan mati di tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena itulah maka betapapun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja kulanggar, biarpun aku bersembunyi di seberang lautan sekalipun, aku tidak akan mampu lolos dari tangan maut subo atau suheng."

"Ah, sungguh penasaran sekali!" Lee Siang menepuk kepalanya sendiri dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu. "Penasaran sekali! Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Mana ada subo dan suheng sekejam itu?"

"Kautunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya dan kau akan mendengarnya nanti." Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya yang tadi ditaruh di ruangan di mana mereka makan, kemudian dengan cepat dia sudah kembali ke dalam kamar di mana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali. Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya kepada Lee Siang.

"Inilah yang menjadi sumpahku."

Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan Yap, dan melihat banyak coretan-coretan di bawah tiga huruf itu. Dia membalik-balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti. "Apa artinya ini?"

Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang dan dia lalu duduk di tepi pembaringan, bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia memegang tangan panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian wanita itu mulai bercerita.

"Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah setelah bertanding dengan musuh-musuhnya, aku ditugaskan untuk merawat nenek itu. Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, apalagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri."

"Siapakah nama subomu itu?"

"Namanya Hek-hiat Mo-li..."

"Ahh...! Sudah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri? Hebat!"

"Tidak hebat, ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri."

Lee Siang merangkul pundaknya dan mencium pipinya. "Aku akan memakluminya, moi-moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Lanjutkan ceritamu, apakah sumpah itu?"

"Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum aku membunuh tiga orang musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda ini hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada, suhengku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku."

Lee Siang mengangguk-angguk. "Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah musuh-musuh dari subomu itu? Siapa tahu barangkali aku dapat membantumu sehingga pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi."

"Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun."

Seketika wajah panglima itu menjadi pucat. "Ahhh...?" Dia memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak.

"Kau mengenal mereka?"

"Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu? Cia-taihiap dan Yap-taihiap amat terkenal, tidak ada seorangpun tidak pernah mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sun kalau tidak salah, bukankah dia itu putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tahukah engkau di mana mereka tinggal?"

"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau dapat melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap? Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, subomu itu sendiri, tidak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"

Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."

"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?"

Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin ketika membicarakan musuh-musuhnya, kini tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja, "Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal? Kalau aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..."

Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.

"Di mana adanya Cia-taihiap tidak ada yang tahu, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dan keluarganya pindah ke kota raja."

"Di sini?" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana? Biar aku ke sana sekarang juga."

"Jangan tergesa-gesa...!"

"Mengapa tidak? Biar berkurang satu tiga orang musuh besar subo itu, tinggal mencari yang dua lagi."

"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya memiliki kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk.

"Tapi, jangan sekarang. Biar malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau dan surat ke dalam kamar kembali.

"Dari... dari mana pisau itu?" tanya Lee Siang.

"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.

"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"

"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sin-kang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh."

Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah rumahnya ada yang berani ganggu, maka dia lalu berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.

Tak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikitpun juga. Eh, surat apakah itu?"

Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.

Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.

Hwa-i Kai-pangcu


"Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."

"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu? Sungguh mencemarkan namaku kalau begitu, koko."

"Habis, bagaimana?"

"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"

"Kaukira siapa dia itu? Ketua kai-pang itu amat lihai!"

"Aku tidak takut."

Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah? Kenapa tidak? Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus, kita adu domba mereka dan engkau akan dapat melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.

"Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu apa maksudmu?"

"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya dan mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subomu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kai-pang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko."

Demikianlah, semalam suntuk dua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini seperti pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu. Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta. Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, karena cengkeraman nafsunya, kini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau memperdulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu?

***

Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjoi dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.

Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang lihai sekali. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya. Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang mengantuk selalu, akan tetapi dari balik mata sipit itu bersinar pandang mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.

Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi dan ayahnya seorang asing, yaitu seorang berbangsa Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.

Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.

Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya, sedangkan dia sendiri sudah sebatangkara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di situ dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng. Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun setelah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, makin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini amat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.

Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya itu untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.

Demikianlah, tanpa banyak ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai. Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tidak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.

Segala sesuatu berjalan lancar dan keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapapun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja. Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu saja biarpun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguhpun pendekar ini tidak diganggu karena dia telah menjadi seorang pedagang.

Baru tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu memperkenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!

Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk berhadapan, Lee Siang lalu berkata, "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukan sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap."

Tio Sun merasa seperti pernah mengenal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."

"Nama saya Lee Siang..."

"Ah, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?"

"Lee Cin adalah kakak saya."

"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apakah yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?"

"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya."

Tio Sun tersenyum tenang, menganggap omongan itu seperti kelakar saja. "Aih, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun adalah seorang Panglima Kim-i-wi siapakah yang berani main-main dengan ciangkun? Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat?"

Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena kalau hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang hendak minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."

Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu? Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."

"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, dan apalagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang bersama seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?"

Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara? Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya (baca cerita Si Dewi Maut). Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, malah bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu telah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya.

"Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."

Lee Siang menarik napas panjang. Mudah bicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.

"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio telah salah faham dengan Hwa-i Kai-pang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kai-pang kalah. Akan tetapi, fihak Hwa-i Kai-pang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... eh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kai-pang."

Tio Sun mengangguk-angguk. Panglima ini biarpun usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita. "Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?"

"Beberapa hari yang lalu, kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat itu dan menyerahkannya kepada Tio Sun.

Pendekar itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i Kai-pangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Setelah membaca surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksudkan itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu dengan tajam menyelidik.

"Saya masih belum mengerti apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-ciangkun."

"Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama sekali saya khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua Hwa-i Kai-pang adalah seorang yang amat lihai."

"Ciangkun, saya sudah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu berkepandaian tinggi apalagi yang perlu dikhawatirkan?"

"Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andaikata dia menang dan ketua Hwa-i Kai-pang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap."

"Hemm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini?" tanya Tio Sun. Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia tidak tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh sekali, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di kota raja, sungguhpun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, dan kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin.

"Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kai-pang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apalagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu."

Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Tiba-tiba dia tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, akan tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu. "Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang?"

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak terkejut juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu diapun sudah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata, "Aahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka bertemu dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio lalu mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio lalu mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, mengira bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak memakai pakaian sebagai anggauta Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan tiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu."

Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semua didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dan isterinya, biarpun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.

Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana, taihiap? Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami."

"Lee-ciangkun, sebenarnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi kalau hanya menjadi orang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kai-pang itu, tidak mau didamaikan?"

"Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ketika dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dengan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."

Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."

Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap setelah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekalipun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu..."

"Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."

Panglima itu lalu berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lalu memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel, "Ih, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"

"Ah, Pek Lian tidak manja, ya? Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!"

Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tidak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?"

Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya, "Siapa sih orang tadi? Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!"

"Oh, dia? Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kwi-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?"

"Ah, Panglima? Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita?" Kwi Eng bertanya dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius?

Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata, "Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kai-pang dan minta kepadaku untuk mendamaikan urusan itu."

"Ketua Hwa-i Kai-pang? Ihh, perkumpulan itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kaudamaikan itu?"

Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus, dan tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kai-pang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang telah menolong seorang musuh Hwa-i Kai-pang ketika para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-pang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah.

"Mengapa justeru kau yang dimintainya tolong? Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini?"

"Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Kukira tidak ada jahatnya kalau hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kaukhawatirkan." hatinya lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu.

Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.

Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu telah menanti di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan di situ hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua. Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makam malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.

"Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.

Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur,"Tenanglah, ciangkun, mengapa gelisah? Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan? Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini?"

"Saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir agar percakapan kita nanti tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi taihiap berjanji akan melindungi saya, bukan?"

Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, lalu meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tidak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... eh, mana dia wanita pengawal dari utara itu? Bukankah dia yang dicari?"

"Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Kalau melihat dia, salah-salah urusan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan?"

Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang kelihatan selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan dahulu, di waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw, bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara cerdik dan sepintas lalu seolah-olah tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan tentang pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dia dengan hati-hati menanyaka di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!

"Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."

Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapat keterangan di mana adanya Yap Kun Liong, seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam daripada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.

Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kim-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara! Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khi-kang, dengan tenaga sakti di dalam pusar telah mendorong keluar suara menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biarpun hanya diucapkan dengan lirih!

"Kim Hong Liu-nio, keluarlah dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!"

Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan ada nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, kalau mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa.

TIBA-TIBA terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan dan kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kai-pangcu?" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas.

Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh kewibawaan, "Kami adalah ketua Hwa-i Kai-pang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!"

Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang sehingga Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu kelihatan begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan telah mendemonstrasikan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri!

Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu karena seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan bagaikan seekor burung saja, berkelebatlah sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek. Aneh sekali kakek ini, terutama pakaiannya karena dia memakai pakaian baru yang penuh tambal-tambalan belang-bonteng dan berkembang-kembang, menyolok sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu masih baru, dan memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak. Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang lainnya yang menandai tingkat atau kedudukan mereka dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justeru inilah tanda bahwa dia adalah tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kai-pang! Dan seperti semua ketua Hwa-i Kai-pang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan nama sendiri, dan hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini sudah enam puluh tahun lebih.

Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu mencari-cari di sekeliling ruangan itu, dan tanpa memperdulikan dua orang pria itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini berseru, "Kim Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"

Sikap ini memang angkuh sekali, dan diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kai-pang bersikap demikian congkak. Lee Siang melangkah maju dengan sikap marah.

"Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"

Mendengar itu, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan alisnya berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Kami selamanya tidak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!"

Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kai-pang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa?"

Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami selamanya tidak pernah menentang kaisar dan pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"

"Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kaukira aku takut kepadamu?" Setelah berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar, sehingga pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar kilat.

"Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget. Semua itu terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tidak memperdulikan atau tidak mendengar cegahannya itu karena panglima itu sudah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu!

"Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi Lee Siang sudah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya juga bergerak menendang ke arah pusar lawan.

"Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki tendangan itu.

"Tranggg... dukk...!" Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi makin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan kosong secara nekat!

Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu sudah menggerakkan tongkatnya, maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, maka dia sudah menerjang ke depan dan menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!

"Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut menyaksikan gerakan Tio Sun, apalagi dari tangan pendekar ini menyambar hawa yang amat kuat. Kakek pengemis ini menyangka bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, maka diapun makin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan. Dia sudah marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, melihat sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu oleh seorang pengawal lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia sudah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, menariknya kembali dan tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio Sun!

"Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah. Totokan ke arah lehernya itu adalah serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai bermaksud membunuh "pengawal" itu sungguhpun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah.

Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali ketika melihat betapa pengawal itu menangkis tongkatnya dengan tangan kosong dan telah membuat tongkatnya menyeleweng dan luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang dapat menangkis tongkatnya dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main, tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.

"Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya.

"Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."

Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia, kakek jembel ini memang jahat!"

Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi marah.

"Tar-tar-tar!" Bunyi ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu.

"Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum. Dia memang tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak disangkanya dia akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya cepat diputar menyambut dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat! Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kai-pang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang berbahaya!

"Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang penengah!"

"Pengawal busuk, keluarkan kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek pengemis itu yang salah duga melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping sabuknya yang lihai padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.

Tio Sun menjadi marah juga dan menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.

"Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu menggunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Ta-houw-sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu menggunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat.

Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan main. Dia tadi sudah menduga bahwa Tio Sun tentu bukan pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia ingin mencoba kepandaiannya dan merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi mengapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi? Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa benar-benar orang gagah itu telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw-sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja!

"Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak dan muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!

Kakek itu terkejut bukan main dan dia terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan setelah menangkis tujuh totokan bertubi-tubi yang amat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah!

"Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.

Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.

"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.

"Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, dan kakek pengemis itu makin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini benar-benar lihai sekali, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tidak ada yang sanggup menandingi wanita ini!

"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"

Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ah, tidak...!" Dan melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.

Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.

Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya, apalagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.

"Tio-hujin..." Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. "Saya datang membawa berita duka... Tio-taihiap..."

"Ada apa? Apa yang terjadi? Mana suamiku?" Tiba-tiba Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.

"Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta..."  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang