Naga 29

3.7K 58 0
                                    

Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.

Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara. Barulah para pembesar itu tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?

Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.

"Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kaulanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit berdiri.

Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah ingin tidur? Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"

Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap amat genit.

"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk dan menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.

Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan sikap genit. "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apapun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."

Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.

"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."

"Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."

"Eh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya daripada melayani Han Houw.

"Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."

Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.

"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."

"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."

"Kongcu hendak minum apa?"

"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."

Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.

Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka
lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari pemuda itu.

Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.

Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi tegang sekali, Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian telaga kecil itu amat indahnya. Bulan malam itu bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan seperti tenggelam di dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya. Dia bergidik, biarpun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu samadhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu. Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu "menyedot dan menghimpun hawa Im" dengan sebaiknya. Apalagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!

Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorangpun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya dan dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya dan ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher. Mulailah Sin Liong bersamadhi dan mengatur napas menurut pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu! Dia segera merasa betapa hawa yang amat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya siap menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima. Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu makin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke tepi telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi telah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pula pakaian dalam sehingga mereka itu semua berbugil!

"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"

"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."

"Kongcu, kauajari aku renang, hi-hik!"

Tiga orang sudah terjun dan sambil tertawa-tawa, menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.

Empat orang wanita itu makin geli tertawa ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tidak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.

"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi empat orang itu makin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka dan melakukan gerakan-gerakan memikat di depan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.

"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"

"Malu-malu kucing, hi-hik..."

"Kongcu, berilah cium padaku..."

Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka kedua matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.

"Aduhhh...!"

"Ah, mataku..."

Empat orang wanita itu menjerit dan menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu seperti jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat kemudian sunyi. Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!

Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!" Dan dengan gemas pangeran inipun pergi dari situ, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa "kalah" dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apapun juga. Dan kalau dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, diapun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.

Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarikan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran sekali karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu! Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya kalau dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidakcocokan dalam banyak hal di antara mereka, biarpun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu. Karena dia merasa marah oleh perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu. Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!

Sin Liong melakukan perjalanan jauh yang susah payah menuju ke selatan. Alangkah jauh bedanya dengan ketika dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di kota-kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah. Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang melelahkan, bahkan sering kali kurang makan dan terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!

Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya. Akan tetapi, setelah dia tiba di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan! Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?

Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh amat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.

Sin Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan. Pakaiannyapun adalah pakaian yang tadinya amat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biarpun sudah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal. Oleh karena itu, melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan pesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.

"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.

Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."

Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu sudah minta-minta.

"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.

Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."

Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?"

Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"

Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.

"Kau mau menjadi pelayan?"

"Aku mau!"

"Apakah engkau bisa?"

"Aku dapat mempelajarinya."

"Siapa narnamu, orang muda?"

"Namaku... panggil saja A-sin!"

"Di mana rumahmu?"

"Lopek, harap percaya kepadaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tidak punya rumah, dan akupun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."

Sikap tegas dan gagah ini meenarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan?"

"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."

"Masuklah!"

Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"

Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan. Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.

Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.

Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun. Dengan jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah! Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!

Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pik-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu. Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kuih-kuih tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit.

Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Kausambutlah tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.

Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya. Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya? Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis. Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

"Eh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong. Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."

"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"

"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.

"Aku juga," sambung Lin Lin.

"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.

"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"

Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau takkan menang!"

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa kanak-kanak, ketika dia masih berada disamping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

"Eh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya. A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong "siuman" kembali dan berkata lemah.

"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka inipun "berpesta" karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang. Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan. Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan belas kasihan orang. Dia kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet! Dan dia melihat betapa para pengemis yang menjadi "langganan" restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk "mengerjakan" Beng Sin dan tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

"Eh, eh... hati-hatilah, nona..."

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin! Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu. Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak dan mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah. Akhirnya empat orang muda itu meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui di mana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, memiliki banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu, dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang. "Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"

Mendengar suara ini, Sin Liong menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasanya mereka pergunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tidak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga tiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

"Bung A-sin, kenapa kaubuang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.

Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?"

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."

"Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?"

Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kaukira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!"

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio! Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar-dengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya. Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng. Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling? Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut. Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut! Namun, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.

"Uhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

"Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia makin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

"Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?"

Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."

"Plak!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar! Hening sejenak setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api. Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba, dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

"Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis itu.

"Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

"Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

"Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

"Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kaulihat baik-baik ini!" Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

"Eh, eh... apa dosanya sapu itu? Kenapa kaupatahkan gagangnya? Wah, celaka, kaubikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

"Goblok! Kau bernama A-sin?"

"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?"

"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"

"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.

"Nah, kau takut padaku, bukan?"

Sin Liong menggeleng kepala.

"Apa?" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka serem, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh daripada mengerikan. "Kau tidak takut padaku?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Kenapa mesti takut?"

"Karena aku menakutkan!"

"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."

"Aku ingin kau takut!"

"Wah, kau ini aneh. Eh, nona cilik..."

"Aku tidak cilik lagi!"

"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"

"Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?"

"Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"

"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" bentak gadis itu jengkel.

"Ya menggigit apaku, boleh kaupilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!"

Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, kemudian didepan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.

Dengan puas dan bangga, sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!"

"Eh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."

"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!

Sin Liong yang sudah bangkit duduk itupun pura-pura marah. "Dengar kau,nona cilik... eh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"

"Dengarkan kau, bocah tolol! Buka telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar aku akan dapat membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, kalau kau berani berkata kepada siapapun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini... crokkk!" Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!

Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.

"Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapapun juga atau aku akan kembali!"

"Siapakah namamu, nona?"

Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik lagi dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"

"Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal dan sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"

Diam-diam gadis itu merasa jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapapun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini!

"Semua anak miskin di sini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.

Sin Liong masih termenung, duduk di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?" Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalam dia tidak dapat tidur lagi. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!

Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang perajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran untuk bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu. Majikan restoran menjadi gugup dan segera mengerahkan anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para perajurit pengawal yang datang terlebih dahulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.

Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih dan dia sendiripun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik maupun yang buruk!

Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang laki~laki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh kehormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.

"Eh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"

Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.

Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringkan banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang! Tentu saja pembesar Gu ini mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han Houw!

"Siapa... eh, paduka... salah lihat..." Dia berkata gagap.

Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biarpun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah kepada saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, mengapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!"

"Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."

"Ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya ingin mohon pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai puteriku..."

"Tidak... bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung sekali, apalagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada "setan penjaga kebun" menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong mimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja.

Dan kini, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seolah-olah pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang amat tinggi kedudukannya. Apalagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!

"Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja..."

"Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain..."

"Hemm, benarkah itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"

Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio! Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, girang dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya kalau dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana!

Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) telah meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji. Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia segera menurunkan tangan kejam, menyerang kedua mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.

Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia melihat jelas dua batang hio yang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sin-kang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu. Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, dua batang hio itu tentu mengambil korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan dua batang hio itu ditangkisnya runtuh. Hal ini amat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanyapun tentu akan celaka karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga kalau ditangkis akan dapat melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!

Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka diapun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk cepat membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.

"Hyaaaaattt...!" Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga mengejutkan semua orang, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan membuat kedua kaki mereka lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu. Dan terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, lebih dulu telah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.

"Ehhh...!" Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu maka diapun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.

"Plakkk!" Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sin-kangnya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu.  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang