Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya, Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi membunuh mereka.
Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main.Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.
"Plakkk...!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua.
Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan!
Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada para pengemis lainnya, "Maju semua! Keroyok dia...!" Dan bergeraklah semua anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!
"Hemm, kalian benar-benar jahat!" Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa.
Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek, "Jembel-jembel busuk benar-benar tak malu!" Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu!
Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya. "Brettt...!" angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!
"Uhhh...!" Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring, "Semua saudara pengemis, mundur!" Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri.
Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan. Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu, tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening.
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan!
"Ahh...!" Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampal terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang, kakak beradik kembar itu.
Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siuman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya.
"Bagaimana rasanya kepalamu?" tanya Mei Lan. Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu.
"Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu..."
"Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang." Mei Lan menegur. "Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?"
Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.
"Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang." Kwi Beng berhenti bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.
"Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?" Mei Lan bertanya.
Kwi Beng mengangguk. "Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja. Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah."
Mei Lan mengerutkan alisnya. "Hemm, kurasa dia tidak berbohong."
Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran. "Tidak berbohong? Jembel tua itu...!" Kwi Eng berseru, penasaran.
Mei Lan membuat gerakan dengan tangan menyabarkan. "Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?"
Kwi Eng menjawab, "Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai." Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya.
"Ahh...!" Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-angguk. "Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?"
"Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya," kata pula Kwi Eng.
"Hemm, urusan dendam-mendendam!" Mei Lan kembali mengangguk-angguk. "Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalahfahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati."
"Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?" bantah Kwi Beng penasaran. "Dan iparku tewas bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?"
Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang dan keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian, "Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang berpengaruh, Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali dan tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, kalau benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu saja diapun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kai-pang, maka tentu nasihat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan."
"Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi," kata Kwi Beng seketika. Dengan cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia sudah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya! Di lain fihak, setelah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut mengapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu!
Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaannya kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa. Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itupun dapat merasakan adanya kemesraan antara sucinya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada sucinya, dia pura-pura tidak tahu saja.
***
Ui-eng-piauwkiok dengan tandanya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya. Tentu saja setiap perusahaan apapun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran dan kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih maupun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak. Karena hubungannya yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tidak pernah diganggu penjahat karena hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang.
Akan tetapi, biarpun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhinya! Kita ini hidup di dalam dunia di mana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia.
Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkioknya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih.
Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu manusia masih menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia "tidak kalah" dari orang lain, penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita! Sejak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tua, guru-guru, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai kehormatan dan kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang bdrkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini! Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biarpun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata "sehat". Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat! Keinginan menonjolkan diri agar "tidak kalah" oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, kalau kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala macam lebih lagi. Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau tidak ada perbandingan, tidak ada persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang!
Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya terdorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati! Ciok Khun ini sebelum menjadi piauwsu, tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu dengan mereka. Dan setelah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya, atau, bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya!
Beberapa kali sudah terjadi apabila ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya dan di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diambilnya kembali asal si pemilik barang suka "menyogok" para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri!
Praktek-praktek pemerasan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, melainkan dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki kedudukan atau juga yang memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Betapa banyaknya dapat dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang, orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan, bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang dijaga atau dilindungi keselamatannya! Justeru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang demikianlah. Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apapun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendirilah, masing-masing harus berubah seketika! Tanpa adanya perubahan dalam diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama diri kita tidak berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali.
Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Kalau dia merasa iri hati, hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan para pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng-piauwkiok daripada dilindungi oleh bendera Gin-to-piauwkiok. Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena pernah Na-piauwsu menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungannya. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu adalah seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu. Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan untuk dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya.
Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnyapun tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun. Hwa-i Kai-pang, biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi memiliki peraturan keras terhadap para anggautanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan diapun dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang oleh ketua Hwa-i Kai-pang sendiri. Setelah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka mempergunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik.
Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biarpun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apalagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibukapun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat.
Hawa udara yang sejuk nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han dan isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka. Suami isteri ini merasa suka kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah dan juga rajin sekali berlatih silat dan belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara.
Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, sedangkan Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur. Kini, Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana amat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap.
Dan kalau saja pada saat itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap. Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu sehingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka itu berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu.
Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berkilauan putih. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang memimpin penyerbuan diam-diam itu. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya kecil seperti tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali, orangnya tinggi kurus dan mukanya seperti tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu sudah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu. Adapun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to-piauwkiok. Mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing.
Malam itu memang dipergunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Dan tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai.
"Lepaskan api sekarang!" bisik Ciok Khun setelah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk. Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka lalu mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.
"Api...! Kebakaran...!" Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu melihat api.
Kamar Na Ceng Han terbuka dan piauwsu itu dengan mata terbelalak berseru, "Di mana kebakaran?"
Akan tetapi dia segera meloncat kembali ke dalam kamarnya ketika ada sinar senjata berkelebat. Ketika dia meloncat ke dalam dan memandang ternyata yang menyerangnya adalah Ciok Khun yang tadi begitu melihat munculnya musuh besar ini telah menerjang dengan golok peraknya.
"Ah, kiranya engkau, penjahat keji!" bentak Na Ceng Han sambil meloncat ke dekat pembaringan dan menyambar pedangnya. Isterinya yang sudah tidur terkejut dan turun dari pembaringan, mukanya pucat ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamarnya.
"Lu-twako, inilah dia orangnya!" kata Ciok Khun kepada laki-laki yang memegang toya. Biasanya, ketika masih menjadi tokoh Hwa-i Kai-pang Lu Seng Ok tentu saja bersenjata sebatang tongkat seperti semua tokoh perkumpulan pengemis itu. Akan tetapi setelah dia dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang dan tidak lagi berpakaian pengemis, tentu saja diapun tidak mau mempergunakan tongkat dan sebagai gantinya dia lalu membeli sebatang toya baja yang kokoh kuat dan berat itu. Mendengar seruan Ciok Khun, Lu Seng Ok sudah menggerakkan toyanya dan berdesirlah angin yang kuat ketika toya itu menyambar ke arah kepala Na Ceng Han!
Na Ceng Han marah sekali. Tak pernah disangkanya bahwa Ciok Khun, kepala dari Gin-to-piauwkiok yang dia tahu adalah bekas perampok dan melakukan pemerasan kepada para pengirim barang itu, akan berani melakukan penyerbuan secara pengecut seperti perampok-perampok. Cepat dia menggerakkan pedangnya menangkis serangan toya dari orang tinggi kurus yang tidak dikenalnya itu.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan terkejutlah Na Ceng Han karena tangkisan itu membuat pedangnya terpental dan telapak tangannya terasa nyeri. Tahulah dia bahwa orang yang memegang toya ini lihai dan memiliki tenaga yang kuat bukan main.
"Siapakah kau? Mengapa engkau memusuhi aku?" bentaknya dengan heran sambil memandang tajam.
Lu Seng Ok tertawa mengejek. "Orang she Na, siapa adanya aku tidak perlu kauketahui, diberitahukan juga apa artinya karena engkau akan mampus!" toyanya menyambar lagi dengan amat dahsyat sehingga Na Ceng Han cepat meloncat ke belakang, kemudian menggerakkan pedangnya untuk membalas dengan tusukan kilat. Akan tetapi, ternyata pemegang toya itu lihai sekali dan dengan mudah dapat pula mengelak. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat antara Na-piauwsu dan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Ciok Khun juga tidak tinggal diam dan dia sudah menerjang maju membantu kawannya mengeroyok Na-piauwsu.
"Ihhh... tolooonggg...!" Nyonya Na berteriak ketika melihat api dari pintu kamarnya dan melihat suaminya dikeroyok dua. Dia teringat kepada puteranya dan kepada Bi Cu maka saking khawatirnya, nyonya ini menjerit-jerit di atas pembaringannya untuk memanggil para pembantu suaminya yang berada di kamar.
Mendengar jeritan ini, Ciok Khun cepat meloncat dan goloknya digerakkan dengan cepat. Melihat ini, Na Ceng Han membentak keras, "Orang she Ciok, jangan ganggu isteriku!"
Namun terlambat sudah. Golok itu sudah membacok. "Crokkk...!" Dada dan leher nyonya itu terobek, darah menyembur keluar dan tubuh nyonya itu roboh menelungkup, dari pinggang ke bawah masih berada di atas pembaringan, akan tetapi dari pinggang ke atas berada di bawah pembaringan, tergantung dan darah membasahi lantai di bawahnya.
"Jahanam keji...!" Na Ceng Han terbelalak melihat isterinya terbunuh dan dia meloncat meninggalkan Lu Seng Ok, tidak memperdulikan lagi kepada lawan bertoya ini karena saking marahnya, dia hanya melihat Ciok Khun dan pedangnya menyambar. Akan tetapi kemarahannya yang meluap ini mencelakakan dia. Karena dia hanya memandang kepada Ciok Khun, dan tidak memperdulikan lawan yang lebih lihai itu, ketika dia meloncat, toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dan menyodok punggungnya.
"Dukkk...!" Tubuh Na Ceng Han yang sedang meloncat dan menyerang Ciok Khun itu terhuyung dan saat itu dipergunakan oleh Ciok Khun untuk membalik dan menggerakkan goloknya yang baru saja membunuh nyonya Na itu untuk membacok!
Na Ceng Han merasa punggungnya nyeri bukan main dan melihat bacokan golok, dia mencoba untuk miringkan tubuhnya, akan tetapi biarpun dia berhasil mengelak dari bacokan golok itu sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, dari belakangnya kembali toya yang berat itu menyambar, kini membabat ke arah kedua kakinya.
Na Ceng Han masih sempat meloncat ke atas, membalikkan tubuh dan pedangnya meluncur untuk membalas serangan musuh. Akan tetapi pada saat itu, golok Ciok Khun membacok dari belakang, sedangkan toya di tangan Lu Seng Ok menyambar dari depan. Na-piauwsu sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya oleh hantaman toya pada punggungnya tadi, maka gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dia dapat menangkis toya, akan tetapi golok Giok Khun mengenai bahu kirinya sampai hampir putus! Dia terguling roboh dan ketika terguling, tangan kanan yang memegang pedang bergerak. Pedang itu meluncur ke arah Lu Seng Ok di depannya. Bekas tokoh Hwa-i Kai-pang ini terkejut dan menangkis dengan toyanya, akan tetapi demikian cepatnya luncuran pedang itu sehingga biarpun tertangkis, masih saja meleset dan mengenai pangkal pahanya, menyerempet merobek celana dan kulit sehingga pangkal paha itu berdarah. Akan tetapi, Ciok Khun sudah meloncat ke depan dan sekali goloknya berkelebat, leher Na-piauwsu terbacok hampir putus. Darah muncrat-muncrat membasahi lantai kamar dan tubuh Na Ceng Han tidak bergerak lagi, tewas seperti juga isterinya yang telah mendahuluinya.
"Keparat...!" Lu Seng Ok mengomel sambil memeriksa luka di pangkal pahanya, akan tetapi hatinya lega karena luka itu tidak hebat.
"Mari kita bantu teman-teman di luar!" kata Ciok Khun dengan wajah berseri. Hatinya lega sekali karena dia telah berhasil membunuh musuh besarnya itu bersama isterinya. Mereka berdua cepat berloncatan keluar.
Ternyata lima orang piauwsu dari Gin-to-piauwkiok sedang bertempur melawan tiga orang anak yang dibantu oleh tujuh orang piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok. Ketika para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok melihat munculnya Ciok Khun dan seorang pemegang toya yang lihai, yang dalam beberapa gebrakan saja telah merobohkan dua orang piauwsu Ui-eng-piauwkiok, maka mereka menjadi jerih dan segera melarikan diri! Hanya tiga orang anak itu yang masih terus melawan dengan gigih dan nekat.
Tiga orang anak kecil itu adalah Sin Liong, Na Tiong Pek, dan Bhe Bi Cu. Sin Liong mempergunakan senjata sebatang toya sedangkan Na Tiong Pek bersenjata pedang, juga Bhe Bi Cu memegang sebatang pedang. Ketika tadi Sin Liong yang masih membaca kitab di dalam kamar Tiong Pek mendengar ribut-ribut, dia cepat berlari keluar dan dia melihat kebakaran-kebakaran itu. Cepat dia menyambar sebatang toya dan membantu para pelayan untuk memadamkan api, memukuli barang-barang yang terbakar agar tidak menjalar naik. Sedangkan Tiong Pek yang juga terkejut karena baru saja akan pulas, cepat berlari ke luar dan dia melihat beberapa orang asing yang berada di halaman belakang. Maka dia lalu menggerakkan pedangnya menyerang. Tak lama kemudian muncul Bi Cu yang segera membantu suhengnya. Akan tetapi, dua orang di antara para piauwsu Gin-to-piauwkiok tentu saja memandang rendah kepada dua orang anak itu dan mereka ini hanya menghadapi mereka dengan tangan kosong sambil mentertawakan. Melihat ini, Bi Cu lalu menjerit minta tolong, maksudnya minta tolong kepada paman Na dan para piauwsu lainnya.
Yang pertama kali muncul adalah Sin Liong! Anak ini mendengar jerit Bi Cu cepat berlari ke ruangan belakang dan segera dia membantu dan menyerang seorang musuh dengan toyanya. Akan tetapi, lima orang pembantu Ciok Khun adalah orang-orang pilihan yang memiliki kepandaian, maka tentu saja Sin Liong bukanlah lawan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar. Dengan mudah saja Sin Liong ditampar dan ditendang sampai berkali-kali roboh. Akan tetapi anak ini tidak pernah mengenal takut. Dia bangun kembali dan biarpun bajunya sudah robek-robek, dia tetap menyerang terus. Demikian pula dengan Tiong Pek dan Bi Cu yang terus memutar pedang mereka dengan nekat. Akhirnya muncullah tujuh orang piauwsu Ui-eng-piauwkiok dan terjadilah pertempuran kecil yang hebat itu. Sayangnya, para piauwsu ini menjadi jerih melihat munculnya Ciok Khun dan Lu Seng Ok, dan mereka segera melarikan diri untuk minta bantuan dan melaporkan kepada para penjaga keamanan kota.
Tinggal Sin Liong, Tiong Pek, dan Bi Cu yang tidak pernah mau menyerah, apalagi melarikan diri!
Ciok Khun yang sudah berhasil membunuh musuh besarnya, segera berkata, "Mari kita pergi, jangan layani anak-anak!" Dia bersama Lu Seng Ok sudah mendahului meloncat keluar, dan lima orang pembantunya sudah berlarian keluar pula.
"Penjahat-penjahat busuk, kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong membentak dan anak ini cepat mengejar, diikuti pula oleh Tiong Pek dan Bi Cu.
Setelah tiba di depan rumah, kembali Sin liong, Tiong Pek, dan Bi Cu menyerang tiga orang di antara mereka yang menjadi marah.
"Kalian ini anak-anak setan, sudah bosan hidupkah?" bentak seorang diantara mereka yang cepat memukul ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong mengelak dan menggerakkan toyanya untuk balas menyerang. Tiong Pek juga meloncat seperti seekor burung garuda, pedangnya digerakkan menusuk seorang di antara mereka pula. Demikian pula Bi Cu juga menyerang seorang musuh.
"Cepat robohkan mereka, jangan main-main. Kita harus lekas pergi!" Ciok Khun berseru karena dia tidak ingin orang-orang melihat bahwa dialah yang menyerbu rumah Na-piauwsu.
"Baik!" kata tiga orang pembantunya yang menghadapi tiga orang anak itu dan kini mereka memperlihatkan kepandaian. Terdengar teriakan bergantian, tiga kali berturut-turut dari tiga orang itu roboh dengan tubuh berkelojotan, lalu diam dan tewas! Ciok Khun dan Lu Seng Ok terkejut setengah mati. Juga tiga orang anak itu terkejut karena mereka sendiri tidak tahu mengapa tiga orang lawan mereka itu tiba-tiba saja roboh dan berkelojotan lalu mati! Bahkan Bi Cu menjadi ngeri melihat bekas lawannya berkelojotan itu, dia melempar pedang dan menutupi kedua mata dengan tangan mengira bahwa pedangnyalah yang membunuh orang itu.
Akan tetapi Lu Seng Ok tadi melihat menyambarnya sinar merah dan tahulah dia bahwa ada orang yang datang membantu fihak tuan rumah. Cepat dia membalik dan benar saja dugaannya. Di situ telah berdiri seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seorang wanita yang berdiri tegak sambil tersenyum, sinar lampu di depan rumah yang muram itu hanya menggambarkan garis muka yang manis, yang memiliki sepasang mata jeli dan tajam, dan tangan wanita itu mempermainkan sehelai sabuk merah yang sebagian masih mengikat pinggangnya yang kecil ramping!
Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi maklum bahwa wanita itu adalah seorang pandai, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar toya bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Pada saat itu, Ciok Khun yang melihat betapa dua orang pembantunya tewas, menjadi marah sekali dan diapun segera memutar goloknya menyerang dan mengeroyok.
Akan tetapi, wanita cantik itu dengan tenang-tenang saja menyambut serangan mereka berdua sambil tersenyum dan membentak dengan suara halus, "Kalian dua orang jahat tak tahu malu yang suka menyerang anak-anak kecil layak mampus!" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak, sabuk merah berubah menjadi sinar merah menyambar-nyambar dan terdengar pekik mengerikan ketika dua orang penyerang itupun roboh dan tewas! Semua piauwsu dari Gin-to-piauwkiok menjadi terkejut bukan main. Kepala mereka dan pembantu mereka yang lihai itu dalam segebrakan saja roboh dan tewas! Tentu saja nyali mereka terbang dan mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi para piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok tentu saja tidak membiarkan mereka lari dan sisa tiga orang piauwsu dari Gin-to-piawkiok itu akhirnya roboh dan tewas semua oleh pengeroyokan para anak buah Ui-eng-piauwkiok. Ketika semua orang mencari-cari wanita cantik yang menolong mereka tadi mereka melongo karena wanita itu telah lenyap dan bersama dia lenyap pula Sin Liong! Tiong Pek dan Bi Cu memanggil-manggil Sin Liong, akan tetapi pada waktu mereka berdua masih mencari-cari, terdengarlah jerit-jerit dan tangis di sebelah dalam rumah. Mereka dan para piauwsu yang sudah merasa terheran-heran mengapa Na-piauwsu tidak muncul dalam keributan itu, cepat lari masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika melihat bahwa Na-piauwsu dan isterinya ternyata telah tewas dalam keadaan yang amat mengerikan! Tiong Pek dan Bi Cu menubruk mayat-mayat itu sambil menjerit-jerit menangis, dan gegerlah di dalam rumah keluarga Na itu.
Siapakah adanya wanita cantik yang lihai sekali dan yang telah menyelamatkan tiga orang anak dari ancaman maut di tangan para piauwsu Gin-to-piauwkiok itu? Dia bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Seperti kita ketahui, dengan bantuan Panglima Lee Siang, wanita ini berhasil membunuh Tio Sun, seorang di antara musuh-musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya dengan jalan meminjam nama Hwa-i Kai-pangcu.
PADA waktu keluarga Tio bertangis-tangisan dan berkabung, Kim Hong Liu-nio dan Panglima Lee Siang merayakan kemenangan dan hasil siasat mereka itu dengan pesta dalam kamar di mana mereka berdua saling mencurahkan rasa kasih sayang antara mereka. Akan tetapi tetap saja Kim Hong Liu-nio masih bertahan dan tidak mau menyerahkan diri sebelum semua musuhnya terbasmi habis, yaitu tinggal dua orang lagi, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Panglima Lee Siang tidak berani memaksa karena hal itu membahayakan keselamatan wanita yang dicintanya, maka diapun berjanji akan membantu dan menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana adanya dua orang musuh besar itu.
Setelah mencurahkan kasih sayang mereka dengan mesra namun terbatas, dan saling berjanji untuk bersetia sampai kelak terbuka kesempatan bagi mereka untuk menjadi suami isteri, pergilah Kim Hong Liu-nio ke utara untuk melapor kepada Raja Sabutai tentang segala yang dialaminya dan tentang keadaan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw kepada raja dan permaisuri yang mendengarkan dengan hati gembira. Akan tetapi, Raja Sabutai masih merasa sangsi dan curiga untuk berkunjung ke selatan. Di dalam istana kaisar, satu-satunya orang yang dipercayanya hanyalah Kaisar Ceng Tung seorang, dan kini kaisar itu telah meninggal dunia, maka dia merasa sangsi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Juga para menteri pembantunya menasihatkan agar raja ini jangan lengah dan membiarkan dirinya terancam bahaya jika mengunjungi selatan. Oleh karena itu, Raja Sabutai tidak datang menghadiri hari penobatan kaisar baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan mengutus Kim Hong Liu-nio untuk kembali ke selatan, membawa barang sumbangannya kepada kaisar dan mewakilkan kehadirannya kepada puteranya, pangeran Oguthai.
Sebelum berangkat, Kim Hong Liu-nio menghadap subonya, Hek-hiat Mo-li, menceritakan tentang hasilnya membunuh seorang di antara musuh-musuh itu, yaitu Tio Sun. Nenek tua renta itu terkekeh senang, dia berkata, "Bagus, muridku. Hanya sayang bahwa yang kaubunuh itu adalah orang yang paling lemah di antara musuh-musuhku. Kau harus cepat mencari yang dua orang lagi itu. Dan aku sendiri akan ikut pergi ke selatan, muridku, karena aku sangsi apakah engkau akan mampu menanggulangi mereka.
Giranglah hati Kim Hong Liu-nio karena dengan bantuan subonya, dia merasa yakin akan dapat dengan cepat membunuh dua orang musuh besar yang lain itu sehingga dia akan dapat segera bebas untuk melangsungkan pernikahannya dengan Panglima Lee yang telah menjatuhkan hatinya itu. Maka berangkatlah guru dan murid itu meninggalkan utara. Raja Sabutai ketika mendengar bahwa Hek-hiat Mo-li hendak merantau ke selatan untuk mencari musuh-musuh besarnya, merasa tidak tega karena gurunya itu sudah tua sekali, maka dia lalu mengutus seorang panglima membawa sepasukan pilihan yang mengawal nenek itu secara diam-diam, dengan menyamar. Jumlah pasukan yang membantu nenek ini ada selosin orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Setelah menghadiri perayaan di istana Ketika Kaisar Ceng Hwa dinobatkan sebagai kaisar baru, Kim Hong Liu-nio lalu mulai dengan penyelidikannya mencari musuh-musuh besar gurunya. Subonya sendiri yang sudah tua itu tentu saja tidak ikut mencari hanya menanti di dalam sebuah gedung di kota raja, menanti sampai muridnya berhasil menemukan musuh-musuh besar itu. Dalam usaha mencari jejak musuh-musuhnya ini, Kim Hong Liu-nio dibantu oleh kekasihnya, Panglima Lee Siang yang menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki di mana adanya pendekar Cia Bun Houw dan pendekar wanita Yap In Hong.
Demikianlah, pada hari itu, secara kebetulan Kim Hong Liu-nio lewat di kota Kun-ting, di sebelah selatan kota raja dalam penyelidikannya dan dia melihat keributan yang terjadi di dalam rumah keluarga Na-piauwsu. Wanita ini pada hakekatnya bukanlah orang jahat, bahkan dia condong untuk bersikap sebagai pendekar wanita yang tidak suka menyaksikan penindasan. Dia dapat bersikap kejam hanya terhadap musuh-musuhnya, atau musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya, sesuai dengan sumpahnya. Maka begitu melihat tiga orang anak kecil diserang oleh orang-orang dari Gin-to-piauwkiok, dia menjadi marah dan segera turun tangan menghajar, bahkan membunuh Ciok Khun, Lu Seng Ok, dan tiga orang anak buah mereka itu.
Kemudian, dalam keributan itu, Kim Hong Liu-nio yang sudah berhasil membunuh Ciok Khun dan Lu Seng Ok, melihat Sin Liong dan wanita ini terkejut bukan main! Anak setan itu masih hidup! Padahal dia telah memasukkan racun Hui-tok-san ke tubuh anak itu. Dan anak itu dahulu telah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang yang kejam, maka dia menyangka bahwa anak itu tentu telah tewas. Akan tetapi, sekarang dia melihat bocah itu masih segar bugar! Dan anak ini menurut pengakuannya adalah putera Cia Bun Houw, tokoh utama yang menjadi musuh besar subonya. Tentu saja hati wanita itu meniadi girang sekali. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan bocah ini yang tentu akan dapat menunjukkan jalan ke tempat musuh besarnya she Cia itu! Maka, dia tidak lagi memperdulikan segala keributan di tempat itu dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah menangkap Sin Liong dan menotok bocah itu sebelum Sin Liong mampu berteriak atau bergerak, kemudian sekali berkelebat lenyaplah wanita itu bersama Sin Liong dari situ!
***
Begitu tubuhnya ditangkap dan dibawa lari seperti terbang, Sin Liong memandang dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh lamanya! Tadi ketika Kim Hong Liu-nio membunuh tiga orang penyerbu rumah keluarga Na, diapun sudah mengenal wanita itu dan saking heran dan terkejutnya dia sampai tidak mampu berkata apa-apa. Kini, melihat dirinya ditawan, dia tidak berusaha meronta karena diapun tahu bahwa dia telah tertotok dan tidak akan mampu membebaskan diri dari cengkeraman wanita yang amat lihai ini. Akan tetapi, sekali ini Sin Liong tidak menjadi marah, bahkan diam-diam dia berterima kasih kepada wanita ini. Dia tahu bahwa tanpa adanya wanita aneh ini, tentu Tiong Pek dan Bi Cu telah tewas, juga dia sendiri. Wanita aneh ini telah menyelamatkan nyawa mereka bertiga, maka kalau sekarang menawannya dan hendak membunuhnya sekalipun, dia tidak akan merasa penasaran!
Cepat bukan main larinya Kim Hong Liu-nio dan dia membawa Sin Liong ke puncak pegunungan yang tandus dan kering, sunyi seperti kuburan. Setelah tiba di atas puncak yang amat sunyi dan panas, Kim Hong Liu-nio melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah. Sin Liong rebah terlentang tanpa mampu bergerak dan ketika wanita itu menotoknya dan membebaskan dirinya, dia bangkit duduk dan memandang kepada wanita itu dengan mulut tersenyum dan mata berseri lalu dia mengelus-elus bagian tubuhnya yang terasa nyeri karena luka-luka bekas pukulan lawan dalam perkelahian tadi. Melihat anak itu tersenyum kepadanya, Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Senyum anak itu demikian terbuka dan sekiranya dia tidak begitu benci kepada anak ini sebagai putera musuh besarnya, tentu dia tidak ingin mencelakai seorang anak laki-laki seperti ini. Dan sepasang matanya demikian tajam.
"Uhh...!" Kim Hong Liu-nio mengusap peluh di dahinya dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu lemah. Dia tidak tahu bahwa setelah dia menjadi korban asmara, setelah dia jatuh cinta terjadi perubahan dalam dirinya dan dia sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan tenteram, jauh dari kekerasan dan penuh dengan cinta kasih dan kebahagiaan. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk hidup akur dan damai dengan siapapun juga, mengajak senyum dan bergembira kepada siapapun juga.
"Kenapa kau pringas-pringis seperti itu?" bentaknya marah.
Senyum di bibir Sin Liong melebar. "Bibi yang baik, engkau telah menyelamatkan nyawa Tiong Pek dan terutama Bi Cu, maka aku merasa girang sekali dan berterima kasih kepadamu. Ternyata engkau bukanlah iblis betina seperti yang selama ini kukira, melainkan orang yang gagah perkasa dan baik, yang kadang-kadang berpura-pura jahat dan kejam."
"Hemm, apa maksudmu? Siapa itu Tiong Pek dan Bi Cu?" bentak Kim Hong Liu-nio.
"Tiong Pek dan Bi Cu adalah dua orang anak yang telah kauselamatkan nyawanya tadi, bibi yang baik..."
"Aku bukan bibimu!" bentak wanita itu marah.
"Tentu saja bukan, akan tetapi... ah, agaknya kau tidak suka kusebut bibi? Baiklah, kusebut kau enci juga boleh!"
"Huh, kau anak ceriwis!" bentaknya lagi dan Sin Liong ini diam saja. Sampai lama mereka berdua tidak berkata-kata, dan wanita itu duduk di atas batu besar, matanya memandang jauh seperti orang melamun. Sin Liong juga memandang ke sana-sini. Keadaan amat sunyi dan tiba-tiba Sin Liong melihat betapa tempat itu penuh dengan burung-burung gagak. Ada yang beterbangan di atas dan ada pula yang hinggap di atas pohon, di atas batu-batu. Bulu mereka yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi. Hari itu masih belum siang benar, akan tetapi panas matahari telah menyengat. Dan ternyata telah dilarikan selama semalam suntuk oleh wanita itu, wanita yang luar biasa.
"Luar biasa...!" tanpa disadarinya, kata-kata ini keluar dari mulutnya.
Ucapan itu agaknya menyadarkan Kim Hong Liu-nio dari lamunannya. Dia sendiri tidak tahu mengapa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Dia terkejut dan menoleh.
"Apa katamu?" bentaknya.
Sin Liong juga terkejut karena dia sendiri tidak sadar bahwa jalan pikirannya keluar dari mulutnya. "Eh, apa...? Ok, aku hanya ingin tahu apakah yang akan kaulakukan kepadaku, enci? Mengapa kau mengajak aku ke tempat yang sunyi ini?" Tiba-tiba terdengar bunyi burung gagak. Seekor berbunyi, yang lain lalu menjawab dan mereka berkaok-kaok saling bersahutan. Sin Liong merasa serem. Bunyi burung gagak selalu menimbulkan serem di dalam hatinya, mengingatkan dia akan kematian. Kematian? Ibunya telah mati! Ibu kandungnya telah mati dibunuh oleh wanita ini! Dan tiba-tiba saja Sin Liong meloncat dengan penuh kemarahan, langsung saja dia menyerang Kim Hong Liu-nio dengan jurus ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Na Ceng Han!
Ketika Sin Liong menyerangnya wanita itu masih duduk di atas batu dan dia hanya memandang saja ketika Sin Liong menyerangnya. Setelah anak itu tiba dekat, kaki Kim Hong Liu-nio bergerak.
"Bukkk!" Tubuh Sin Liong terlempar dan terbanting dengan keras sekali, Sin Liong memang sudah menderita luka-luka, dan tubuhnya masih lelah dan sakit-sakit, maka bantingan itu membuat dia seketika merasa pening. Akan tetapi dia sudah bangkit lagi, dan dengan hati terbakar kemarahan karena mengingat betapa wanita ini telah membunuh ibu kandungnya yang tercinta, dia menerjang lagi dengan nekat.
"Iblis betina, kau telah membunuh ibuku!" bentaknya.
Sekali ini, Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangannya menotok. "Brukkk!" untuk kedua kalinya tubuh Sin Liong roboh dan sekali ini dia tidak mampu bergerak lagi.
"Aku memang telah membunuh ibumu, dan aku akan segera membunuh ayahmu juga!" Kim Hong Liu-nio menghardik, kini kebenciannya timbul karena diapun seperti Sin Liong sudah teringat bahwa anak ini adalah putera dari musuh besarnya.
Biarpun tubuhnya sudah lumpuh tak mampu bergerak, namun Sin Liong masih dapat bicara. Dengan suara mengejek dia berkata, "Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya menghina yang lemah. Kalau kau bertemu dengan ayah kandungku, dalam sepuluh jurus saja engkau tentu akan mampus!"
Sin Liong memang sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk mengejek dan menghina, satu-satunya hal yang mampu dilakukannya untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya. Akan tetapi ucapan itu diterima girang oleh Kim Hong Liu-nio.
"Ah, jadi ayahmu berada di sini? Lekas katakan, di mana dia? Kalau kau memberi tahu di mana adanya Cia Bun How, aku akan mengampuni nyawamu!"
Sin Liong adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya keras dan dia tidak pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, dia akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras kepadanya, biar dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi tunduk. Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang dengan mendelik, dan mulutnya tersenyum mengejek.
"Aku tidak sudi mengatakan!" Padahal, tentu saja dia sendiripun tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya itu, akan tetapi dia memang sengaja ingin membikin panas hati wanita pembunuh ibunya ini.
Dan memang Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu tentu tahu di mana adanya Cia Bun Houw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk memaksa anak ini memberi tahu di mana adanya musuh besarnya itu.
"Katakan di mana Cia Bun Houw!" kembali dia membentak sambil mencengkeram tengkuk Sin Liong.
"Tidak sudi!" anak itu balas membentak.
"Hemm, kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!"
"Huh, apa artinya siksaanmu? Dahulupun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak takut!"
Ucapan ini mengingatkan Kim Hong Liu-nio dan cepat dia memeriksa tubuh anak itu, meraba pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak itu sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san! "Siapa yang mengobatimu? Ayahmu itu?"
Sin Liong yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita itu, tersenyum mengejek. "Kau tidak akan dapat mengetahui!"
"Bress!" Kim Hong Liu-nio membanting dan untuk ketiga kalinya tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah.
"Hayo katakan, di mana ayahmu itu! Di mana Cia Bun Houw!" kembali dia berteriak-teriak penuh kemarahan.
Sin Liong merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa mampu bergerak. Akan tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu dan berkata, "Hemmm, kau ternyata lebih curang daripada seekor ular, lebih ganas daripada seekor serigala dan lebih jahat daripada ketua Jeng-hwa-pang atau iblis sekalipun!"
"Hayo katakan di mana ayahmu!"
"Tidak sudi! Kau mau apa?"
"Keparat, hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!" Dengan marah Kim Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang pohon dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu, diikat dari kaki sampai ke leher. Setelah itu, dia lalu membebaskan totokan di tubuh anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu.
"Kau mau bunuh sekalipun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat macam engkau!" Sin Liong memanaskan hati wanita itu.
"Aku tidak akan membunuhmu. Kaulihat burung-burung itu? Nah, merekalah yang akan membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sedikit demi sedikit. Aku tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apabila engkau sudah mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!" Setelah berkata demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan tetapi senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai mengenal musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali berkelebat saja, wanita itu lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong terikat pada batang pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik agak tinggi dan sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin Liong.
"Gaooookkk...!"
Seekor burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu di mana tadi Kim Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau mendengarkan sesuatu. Tak lama kemudian, nampak bayangan hitam menyambar turun dari atas dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin Liong.
Anak itu memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya dan dia belum mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di situ. Dia tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan bangkai yang sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka itu sudah tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan.
Agaknya burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di dekat Sin Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung tempat di mana Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum tahu akan datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa bergerak-gerak. Inilah salahnya. Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan suara, tentu burung-burung itu akan menjadi takut.
Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong. Anak ini barulah merasa terkejut, apalagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya.
"Hehhh....!" Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi segera hinggap di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang dengan mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti berubah menjadi iblis-iblis hitam yang menakutkan.
Kembali ada dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin Liong membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk mengulang kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak, akan tetapi dua ekor burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi bahkan kini mereka mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong! Anak itu terkejut dan ngeri, cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tidak mampu mengelak karena lehernya tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia mendengus-dengus dan agaknya suaranya inilah yang membuat dua ekor burung itu meragu dan tidak mematuknya, hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan mengibas-ngibas, sedangkan paruh mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang terdengar nyaring sekali di dekat telinga Sin Liong!
Sin Liong tidak berani membuka matanya dan hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu. Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguhpun mereka belum menyerang karena mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti sampai calon mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak. Sin Liong merasa ngeri bukan main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang mencekiknya, lebih mengerikan daripada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular oleh ketua Jeng-hwa-pang. Hampir dia berteriak minta tolong, akan tetapi kalau dia teringat kepada wanita yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak bahkan dia mengatupkan mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi berteriak sampai mati. Lebih baik mati dicabik-cabik burung-burung ini daripada dia berteriak, mengaku kalah dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian tekad hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
Ficción GeneralLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...