Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biarpun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang kepada mereka.
Akan tetapi, ketika mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.
"Celaka, kita benar-benar terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!"
Mereka lalu mengerahkan sin-kang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi, begitu mereka mengerahkan sin-kang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu patah-patah semua dan terdengar suara pletak-pletok. Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sin-kangnya. Setelah bebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.
"Awas senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak dan menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan. Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subonya untuk membantu subonya membunuh empat orang musuh besar itu! Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.
"Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.
"Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!" Hek-hiat Mo-li tertawa dan Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Sedangkan di belakang mereka masih berdiri puluhan orang perajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.
Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ruangan mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dibantu begitu banyak perajurit.
Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis karena kembali datang hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu. Dan pada saat itu, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio dan tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan hebatnya menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.
Sementara itu, setelah Kim Hong Liu-nio kini membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para perajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah, "Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerah sebelum menerima hukuman berat!"
Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak memperdulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya menggunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!" Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang menangkis dengan pedangnya, akan tetapi dengan putaran tangannya, begitu pedangnya tertangkis, wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.
"Ahhh!" Lee Siang berteriak kesakitan dan bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.
Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, akan tetapi dia sendiri dikepung oleh banyak perajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki tangannya, melempar-lemparkan dan merobohkan banyak orang yang mengepungnya seperti serombongan semut.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaiannya Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga sudah banyak berkurang. Setelah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok pula, akhirnya dia terdesak hebat sekali. Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng segera berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalagimu! Cepat sebelum terlambat!" Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa memperdulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya telah berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng terkejut, kagum dan juga terharu.
"Kausuruh aku lari? Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.
"Aku...? Biarlah, aku girang dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia kurang waspada.
"Nona, awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng. Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan biarpun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, namun tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.
"Keparat curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang. Panglima ini mencoba untuk mengelak, namun dia kalah cepat dan pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika! Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan diapun lalu meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman dan bibinya itu pasti akan dapat meloloskan diri dari kepungan musuh.
Dugaan Lie Seng memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas orang Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apalagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal! Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.
Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio ketika dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihhya dan menangis, tidak memperdulikan lagi kepada empat orang musuhnya. Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu mempergunakan gin-kang dengan loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti muridnya yang menangis sepanjang jalan!
"Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kautangisi seorang laki-laki yang mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak. Bentakan ini membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, bersumpah dalam hati untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!
Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan dan kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain. Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pasti timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang kesemuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran daripada si aku juga.
Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis maupun tebal, dalam batin kita? Si aku tercipta oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak. Pikiran mengenangkan pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu, sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak. Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si akupun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggapnya menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!
Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.
Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah sekali. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka. itu. Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana-sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu. Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, di punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes. Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian. Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.
Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar. Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kini melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang dianggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi. Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.
Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia telah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.
"Aaahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan dia membuka matanya. Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan ketika dia berusaha menyelamatkan suhu dan subonya. Sungguh aneh sekali. Mengapa pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?
"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.
Sejak tadi, setelah berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut dan mendatangkan perasaan iba dan suka. Rasanya belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini, apalagi tadi dia melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya, dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka. Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkulnya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.
"Jangan khawatir nona. Engkau telah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh."
"Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut. Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi terasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali punggungnya. "Aduhhhh... punggungku..." Dia menggeliat.
Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka di paha, pundak dan punggung."
Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.
"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan sepasang matanya memandang penuh selidik.
Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang..."
"Maafkan? Ahh, engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang sagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"
"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tidak perlu bersikap sungkan karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw. Dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain."
"Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.
"Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Scng mendekat dan pandang matanya penuh iba.
Melihat ini, Sun Eng menggeleng kepala menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subonya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka. Dan pemuda perkasa yang telah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan suhunya! Dan hubungan antara dia dan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, suhu dan subonya tentu akan bercerita banyak tentang dia! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dan takkan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang kini demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi jijik, marah dan benci.
Lie Seng memandang dengan alis berkerut, penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu penanggungan rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!
"Nona... eh, siapakah namamu?"
"Aku she Sun, namaku Eng."
"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran mengapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."
"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?"
"Engkaupun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."
"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku..."
"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."
"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"
Lie Seng mengangguk.
"Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?"
Kembali Lie Seng mengangguk.
"Ah, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ah, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.
"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."
"Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya menyebutku cici kepadaku."
Melihat wajah yang cantik itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."
"Engkau tetap Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang amat besar dan agung, sebaliknya aku..."
"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak."
"AH, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biarpun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap..." Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subonya kepadanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang amat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.
"Eh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."
Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan kedua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya terguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.
"Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini."
"Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap." Dara itu lalu membalikkan tububnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.
"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"
Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia dapat menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, merighapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata, "Ah, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekalipun..."
"Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?"
"Engkau tidak tahu, taihiap... ah, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkaupun membenciku. Aku... aku takkan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula."
"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apapun yang terjadi denganmu, aku tidak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.
Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan. Akan tetapi Lie Seng tidak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap pada dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.
"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya dan Lie Seng melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
"Maaf... kaumaafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri dan berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku."
"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu, untuk kauperlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kaucinta, aku... aku..."
"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta padamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak terkejut. "Apakah... aku hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?" Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukan seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!
Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kaudengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa betapapun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."
"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia telah merangkul gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!"
"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"
"Enci Eng, kauanggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimanapun tentang dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kauderita ini."
Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir dalam hidupku, tergantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku kalau engkaupun membenciku. Nah, kaudengarkan baik-baik, taihiap." Dara itu dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di depannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.
Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya untuk mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya tentang dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya. Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa mempunyai rahasia sedikitpun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci setelah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguhpun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.
"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek, berjuluk Kiam-mo dan dia dulu sebagai seorang perampok besar, kemudian sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi." Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu setelah terus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, dan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang dan kemesraan yang ditujukan kepadanya, membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.
"Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."
"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi bahkan memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!
"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang seperti anak mereka sendiri." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.
Lie Seng mengargguk-angguk. "Sudah sepatutnya itu karena engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti."
"Jauh daripada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid..."
Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Dia menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. "Apa...? Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?"
Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia amat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, memperlihatkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini? Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tidak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.
"Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"
"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.
"Ya, aku telah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhuku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kaudengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"
Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya. Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tidak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.
Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walaupun pada suatu waktu dia bEngelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.
Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat berita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.
"Taihiap..." Terdengar suara Sun Eng yang kini sudah memandang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga..."
Lie Seng menggeleng kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya hal itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang manapun juga, maka kalau engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ah, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya! Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh malapetaka melihat pria ini nanti membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya. Ah, betapa ingin dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah daripada harus menceritakan kesemuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.
Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.
"Enci Eng, sudahlah. Kalau engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, akupun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapapun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."
Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup! Akan tetapi dia ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan kalau sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu daripada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.
"Dengarkan, taihiap, dengarkan baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, maka aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia ini. Setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..." Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.
"Sudahlah, enci Eng..."
Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanya merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu-nafau berahinya..."
"Cukup, enci Eng..."
"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."
Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi. Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.
"Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"
"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.
"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun, yang kutemui hanya pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka, hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."
"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Mengerikan sekali wajahnya, pucat dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.
Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng. "Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang sudah kaudengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tidak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."
Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri. Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia makin kasihan kepada wanita ini, makin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu! Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tidak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!
Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.
Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.
"Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."
Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!
Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka, perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.
"Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.
"Aku cinta padamu, enci Eng..."
"Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yang gelap gulita. Dan demi Langit dan Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..." Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!
Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tidak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?
"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.
Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.
Bertemu dan berpisah bagai mimpi
Lie dan Sun membuat janji suci
akan bertemu di awal musim semi!
Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan, namun pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal, cukup menggegerkan. Apalagi Kim Hong Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat "pemberontak" yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah!
Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.
Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal. Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suhengnya itu.
Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan "pajak jalan" dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.
Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.
Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dahulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa! Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.
Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.
Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biarpun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.
Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.
Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal. Setelah di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.
Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwa-pang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka melewati pintu gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walaupun mereka telah dikurung banyak orang.
"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.
Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia berkata.
"Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"
Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak. "Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!
Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah. Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.
Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!
"Siapa dia...?"
"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...