Naga 43

2.8K 47 0
                                    

"Tapi, suhu"

"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kaulihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

"Hiyaaat!" Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar

"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping

"Dan kaulihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon. Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum

"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu

"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali

"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku

"Baik suhu, teecu akan taat

Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw, sebulan lagi, Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa. Sambil melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu, tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya

Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biarpun dia sudah ketinggalan hampir sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu

Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu me­lewati daerah ini. Maka timbullah kecuri­gaannya dan dia harus lebih dulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan meninggalkan tempat itu karena dia sen­diri tidak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya

Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu

Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lutut­nya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu. Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, ter­dengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sam­pai tiga kali. Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut kakinya! Sin Liong lalu melom­pat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang meluncurkan tombak-tombak itu

"Blussss...!" Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah

Kalau orang hanya memiliki kepandai­an gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah melun­cur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya. Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!

Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tidak nampak seorangpun di luar tembok.

"Syet-syet-syetttt...!" Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar

"Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh

Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan

"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.

Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri

Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya

Pendeta pembicara itu lalu tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami"

Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorangpun tamu dari luar. Akan tetapi pada hari itu, seluruh anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggauta bagian musik sedang memeriah­kan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.

Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pe­muda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cin­jin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.

Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang memiliki sepasang mata ta­jam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang me­nyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata, "Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu." Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di situ, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.

Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami me­rasa kagum bahwa seorang pemuda se­perti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"

"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."

Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"

Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.

"Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kaulayanilah sicu ini!"

Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.

Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

"Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."

Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuatnya lengah. Ketika itu, para wanita yang menari telah mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak. Dua orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja! Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh dengan pesona dan gairah! Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.

Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Tak tertahankan lagi olehnya rasa kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!

Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.

Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran. Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua lengannya yang terbelenggu. Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya! Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"

Diam-diam Sin Liong merasakan be­tapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darah­nya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"

"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kauciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu. Sekarang, kauminumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau­ minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..." Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.

"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetulnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Dia membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

"Hemmmm, saudaramu? Siapakah sau­daramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti bicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.

Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan di­perebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!

"Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!" Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sin-kang­nya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak ketakutan. "Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong. Ciauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

"Hayo katakan di mana Bi Cu!"

Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suhengku...!"

"Plakk!" tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk kelak. Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.

Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba natsu berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk!

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis, yang membuat Sin Liong bergidik. Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai ter­cium olehnya di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Me­reka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumis­nya tebal pendek dan jenggotnya ter­pelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan ber­wajah yang dapat disebut tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw. Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pem­baringan yang berada di tengah kamar itu. Dia atas pembaringan itu rebah se­orang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"

"Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

"Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"

"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."

"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."

"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!

Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"

"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang