Naga 2

7.1K 90 0
                                    

Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, bahkan mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu bahkan berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu. Kita dapat melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari "peradaban" manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binatang-binatang, yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.

Kini Sin Liong sering kali bermain-­main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai berani men­dekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana. Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini dapat me­maklumi bahwa tidak mungkin Sin Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar yang hanya memandang dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi.

Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan, sedangkan para pelayan telah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Telah beberapa bulan lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan biarpun mereka tentu saja belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan.

Si Kwi sedang mengajar anaknya ber­cakap-cakap. Sudah lumayan juga kemaju­an yang diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja kalau dibandingkan dengan anak-anak biasa, dia ketinggalan jauh sekali. Usianya sudah dua tahun setengah, namun dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang paling jelas adalah "ibu", "makan", "minum", "tidur", "ya" dan "tidak". Akan tetapi dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak dan pengerti­annya menangkap kata-kata jauh lebih daripada kepandaiannya mengucapkan kata-kata. Juga kini dia sering kali ter­tawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia dipangku.

Tiba-tiba terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi me­ngerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak melarang ketika Sin Liong merosot turun dari atas pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu. Biarlah, pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir telah menjadi sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya lagi dan bahkan dalam kegembiraamya itu, terdengar gelak tawanya seperti seorang anak manusia diantara suara cecowetan monyet. Anak itu sudah makin mendekati sifat manusia daripada sifat monyet, pikirnya dan diapun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anaknya bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini Sin Liong, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana.

Si Kwi sedang membaca kitab yang terisi cerita kuno sambil rebah di atas pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya.

"Liong-ji... ada apakah...?" Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan takut.

"Ibu... keluar... keluar...!" Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam kamar itu. Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi tempat itu.

"Ibu...!" Sin Liong menuding ke depan.

"Sstttt...!" Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong agar dia berdiam diri. Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini? Pernah dahulu, sebelum dia melahirkan, beberapa kali ada orang-orang berkeliaran di dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan kepandaiannya, menyabit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil dan membuat mereka lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka?

"Liong-ji, kau masuklah ke dalam!" kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi istana. Si Liong yang memiliki naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu.

Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan pakaiannya, tentulah bangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan keberanian dan kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa memperdulikan hukum dan perikemanusiaan.

Mereka torcengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi dari kepala sampai ke kaki.

"Bukan main...! Cantik sekali...!"

"Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!"

"Orang bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!"

"Sayang tangan kirinya buntung!"

"Tidak apa, yang penting kan bukan tangan kirinya, heh-heh!"

Mereka bergelak tertawa dan masih terdengar ucapan-ucapan tidak senonoh yang membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai.

Seorang di antara mereka, yang muka­nya hitam dan mukanya brewok matanya lebar, tubuhnya tinggi besar dan agaknya dia yang memimpin rombongan enam orang itu, berkata, "Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?"

Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu dia menjawab, "Benar!"

Laki-laki itu tertawa. "Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya? Dan siapa engkau, nona manis?"

"Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada seorangpun boleh mendatangi tempat ini!" kata Si Kwi dengan nada suara dingin mengancam.

Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras dan berkata, "Ha-­ha-ha, boleh jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis ting­gal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, tangan kirimu buntung malah. Andaikata engkau benar setan, heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kau gigiti. Ha­-ha-ha!"

"Ha-ha-ha-heh-heh!" Lima orang temannya tertawa semua. "Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!"

Pada saat itu, mereka semua ter­cengang dan memandang ke serambi depan. Kiranya lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai.

"Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biarpun tidak secantik si buntung ini, akan tetapi mereka itu je­las perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup, ha-ha!" Lima orang itu ter­tawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima orang pelayan itu. Para pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Lima orang itu sambil bersorak sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi.

"Tahan!" Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa karena ia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya. "Tahan atau kalian akan mati di tempat!"

Enam orang itu terkejut dan si bre­wok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan suara ketawanya. "Ha-ha-ha, lagakmu amat hebat, nona. Seorang wanita muda sepertimu ini, dan lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan selanjutnya hidup bersama kami..."

"Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani melanggarnya?"

"Kami? Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan..."

"Padang Bangkai?" Si Kwi memotong cepat dan terheran-heran. "Bukankah Padang Bangkai telah kosong dan peng­huninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah tewas, anak buahnya juga telah terbasmi habis. Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?"

Dalam cerita "Dewi Maut" telah di­ceritakan betapa Padang Bangkai dijadi­kan sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka juga takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi pembantu-pembantu mereka. Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang men­jadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu. Ketika terjadi pertempuran-pertem­puran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pen­dekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, dan semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat ber­bahaya dan mengerikan itu telah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai?

Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai telah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... eh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"

"Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menang­kap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.

"Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul ten­dangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka.

"Plak-plak! Dess-desss!"

Dua orang itu memekik dan terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.

"Kiranya engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga sudah menggerakkan golok mereka menyerang.

Namun Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal meng­apa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tidak menjadi gentar. Dengan gin-kangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap ­dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.

Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, me­nonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona maji­kan mereka benar-benar amat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan se­gebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat makin mendalam karena majikan mereka ternyata merupa­kan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!

"Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi dan tangan kanan­nya menyambar.

Krekkk!" Jari-jari tangan yang halus namun karena diisi oleh tenaga sin-kang menjadi kaku dan keras seperti baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluar­kan suara seperti babi disembelih, tubuh­nya roboh berkelojotan. Sebuah tendang­an kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak dan dia tidak berkelojotan lagi!

Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya dapat ditangkapnya dan cepat dia miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit, tangan itu menotok siku tangan orang yang memegang golok.

"Dukk! Uhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.

"Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung! Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kanan sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tidak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang­ langgang. Akan tetapi, golok di tangan Si Kwi terbang menyambar dan menancap punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap. Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat lima orang itu dan melempar-lemparkah mayat-mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itupun menghilang di dalam jurang gelap. Kemudian Si Kwi kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali!

"Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya. Si Kwi memeluknya dan berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!"

"Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" se­orang di antara para pelayannya bertanya.

Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, kemudian dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang telah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan pe­rampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang seorang diantara mereka sempat melarikan diri dan tentu kepala perampoknya akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sang­gup menghadapi mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu.

Melihat sikap majikan mereka yang gagah dan karena sudah menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan merekapun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.

Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudi­an, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahun. Laki-laki ini memegang sebatang tombak gagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah. Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan ke­kerasan.

Sekali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayan­nya, biarpun belum pandai ilmu silat, namun merekapun sudah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat gen­teng dan bersembunyi di wuwungan gen­teng istana, sambil mengintai!

Dengan kedua tangan bertolak ping­gang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, lalu membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedippun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya! Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki. Biarpun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentu seorang ahli lwee-keh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat. Juga, seorang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak lebih sukar dipelajari daripada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati.

Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang berhasil menyelamat­kan diri betapa siluman wanita cantik dari Istana Lembah Naga, seorang diri saja berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan mudah! Maka diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita muda cantik itu seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan.

Akan tetapi, setelah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah dia mendengar tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir keadaan lawan masing-masing.

"Toanio," si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw ter­kenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal di Padang Bangkai dan boleh dibilang semenjak setengah tahun yang lalu, saya adalah majikan Padang Bangkai."

Si Kwi menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin Ciu-kwi yang sekarang telah mati dan setahuku dia tidak mewariskannya kepada siapapun juga."

Sin-jio Coa tok memandang dengan alis berketut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian dia berkata lantang, "Memang tidak ada yang mewariskan kepadaku, akan tetapi mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah se­pantasnya kalau aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkebaratan terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi.

Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa perduli ten­tang Padang Bangkai tempat buruk terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan peng­huni Istana Lembah Naga dan aku tidak perduli siapa yang menempati Padang Bangkai!"

Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi, tentu bukan sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan toanio?"

"Namaku Liong Si Kwi, orang me­nyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang suboku adalah Hek I Siankouw dan suhuku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo­nya dan kekasih subonya untuk membikin keder hati orang itu. Dan usahanya memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, kelihatan gentar juga. Akan tetapi dia segera ter­ingat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya saja, maka dia ter­senyum dan berkata. "Ah, kiranya Liong-toanio adalah murid para locianpwe itu!"

"Kalau engkau sudah mengenal men­diang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi yang sebenarnya sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuh­an. Apalagi orang-orang ini adalah peng­huni Padang Bangkai yang boleh dibilang adalah tetangganya, maka hidupnya dan hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai.

"Toanio, sebenarnya kamipun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah murid Hek I Siankouw.

Si Kwi maklum bahwa kepala pe­rampok itu telah mulai membuka kartu­nya. Maka diapun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang, "Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak buahmu yang dapat lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang menyebabkan lima orang anak buahmu mati di sini terbunuh olehku!"

Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apalagi jerih meng­hadapi wanita cantik ini. Maka dia ber­kata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima laporah, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya sendiri."

"Hemmm, begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, me­ngeluarkan kata-kata kotor dan tidak se­nonoh, kemudian mereka hendak menggunakan kekerasan menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kaujawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kau sengaja datang untuk membela mereka yang telah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini merupakan tan­tangan yang tidak langsung.

Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan melihat betapa wajah anak buahnya kelihatan penasaran dan marah, dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu engkau tahu akan sikap laki-laki yang telah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurangajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu maupun oleh siapapun juga."

"Bagus! Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan ini untuk menying­gung kehormatan Coa Lok sebagai seorang kepala perampok yang berkepandaian.

"Ho-ho, kau sungguh tekebur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Kalau engkau mampu mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihaianmu dan akan bersedia mintakan maaf kepada­mu bagi para anak buahku dan selanjut­nya tidak akan mengganggu Istana Lembah Naga."

"Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan akupun sama sekali tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapapun yang datang mengganggu, baik dari Padang Bangkai maupun dari akhirat, tentu akan kuhadapi dengan pedang di tangan!" Setelah berkata demikian, tangan kanan wanita itu bergerak ke pinggang.

"Singgg...!" Nampak sinar menyilaukan dan pedang itu telah dicabutnya, pedang yang berkilauan saking tajamnya karena semenjak terjadi penyerbuan maka tiga hari yang lalu, Si Kwi menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap.

"Liong-toanio!" kata Coa Lok sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah. "Aku sudah berjanji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapapun menggangu Istana Lembah Naga. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya aku mengalah­kan pedangmu?"

Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan kalau dia sampai kalah oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil.

"Kalau aku sampi kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerah­kan Istana Lembah Naga ini kepadamu."

Berseri wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya.

Si Kwi tidak menjanjikan hal terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekalipun, kalau sempai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami malapetaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka!

"Nah, kita sudah berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan.

"Jagalah, toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, memperingatkah dulu sebelum menyerang seperti sikap seorang gagah tulen, padahal dia adalah kepala perampok yang biasanya tidak memperdulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

"Hyaaaahhhh...!" kepala perampok itu membentak ketika mata tombaknya menyambar ganas.

"Haaaaiiiitttt...!" Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya. Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma memiliki julukan Sin-jio (Tombak Sakti) karena ternyata ilmu tombaknya memang amat cepat gerakannya. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirim serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya.

"Singg...tranggg...!" Kini Coa Lok yang terkejut. Tak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka diapun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang. Sambil me­mutar tombaknya membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang, ujung tombaknya tergetar dan pecah-pecah bayangannya menjadi empat lima batang yang kesemuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluar­kan bunyi nyaring.

"Bagus...!" Si Kwi memuji karena memang dia kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini. Diapun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, ilmu yang dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu, dan ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata, terutama senjata pedang.

"Eh...!" Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus dan di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya.

Setelah mengerahkan gin-kangnya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, tenaga sin-kangnya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan gin-kangnya saja yang masih melebihi lawan, sehinga kalau dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu. Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok dan me­rampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apalagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka ini dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia dapat mempunyai tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlu­kannya.

Akan tetapi, karena dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang ba­nyak, dan dia hanya mengandalkan gin-kang, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Maka dia lalu menggunakan akal.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan ke­ras dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu telah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia ber­seru, "Tai-ong, awas paku!"

Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahhya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali mengguna­kan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang sudah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya.

Sin-jio Coa Lok terkejut dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tom­baknya. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat dit­angkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.

"Trang-cringgg... plakkk!" Dua kali pedangnya dapat ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi dengan tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu sehingga tak dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar akan tetapi Si Kwi menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng dan sebelum Coa Lok dapat mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel di lehernya dari belakang!

"Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!" kaka Si Kwi, akan tetapi dia lalu me­loncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.

Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang kena tendang, lalu menancapkan tombaknya di atas tanah di depannya. Di maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan kalau wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata, "Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tidak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapapun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku."

Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka diapun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu amat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaik. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham."

"Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya setelah memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh kagum, mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan kepada wanita lihai itu lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka, Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu. Mula-mula dia memperli­hatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu istana. Kemudian, ketika kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak di­ganggu! Dan kepala perampok yang ber­juluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, se­hingga dia segera melupakan kematian anak buahnya karena dengan kepandaian­nya kalau wanita yang buntung tangan kirinya itupun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki, tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus men­datangkan rasa takluk, segan dan juga hormat di dalam hatinya dan semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi.

Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Kini wanita ini nampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik dan selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria! Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih suka untuk bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan ter­hadap dirinya. Demikianlah, biarpun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi me­rasa cukup bergembira.

Di kaki Pegunungan Khing-an-san se­belah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun itu selama beberapa tahun ini mengalami kemajuan setelah penghuninya mengusaha­kan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuh­kan barang-barang itu, maka penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.

Tempat yang ramai dan makmur se­lalu menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu makin menjadi besar dan ramai.

Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang telah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan dia sejak kecil tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang berupa besi adalah buatan orang she Bhe inilah. Akan tetapi, kalau hanya membuat alat-alat besi saja keahlian Bhe Coang agaknya namanya tidak akan ter­kenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung dan mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.

Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang amat baik. Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang, dan membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguhpun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, melainkan seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur, dan mengenal ilmu silat, biarpun dia pernah mempelajarinya, namun tidak secara mendalam. Ketenaran­nya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya melainkan karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuat­kan pedang. Mereka itu, berani membayar berapapun juga sehingga Bhe Coan tidak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia terkenal sebagai seorang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua baik dari golongan hitam maupun putih, datang minta dibuat­kan pedang olehnya.

Akan tetapi, kalau pandai besi ini dapat dikatakan berhasil dalam pekerjaannya, sebaliknya dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama. Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Selama tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, dua tahun yang lalu, ketika melahirkan seorang bayi perempuan, isterinya itu meninggal dunia!

Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak ada banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja akan dibanting dan dibunuhnya anak perempuan yang terlahir selamat itu karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta! Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, biarpun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu. Dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.

Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak penghuni baru dan beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah se­orang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit. Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Sebagai penghuni baru dan karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, maka dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan di dusun yang mulai maju itu dari hasil menjahit pakaian.

Banyak pria di Pek-hwa-cung terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Dan karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru se­tahun ditinggal mati isterinya maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya! Dan ternyata bahwa janda itu amat pandai merayu hati pria sehingga ter­obatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dia jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya dalam waktu beberapa bulan saja!

Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.

"Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kauserahkan kepada orang lain agar dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, melainkan masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat."

Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka dan akhirnya, setelah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang keluar masuk batas propinsi di utara, kcluar atau masuk daerah propinsi itu.

Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuat pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu. Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini lalu memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu. Dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama menginginkan seorang anak perempuan. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Maka ketika dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Bi Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang menikah dengan janda cantik itu.

Na Ceng Han adalah seorang kango-uw yang sudah banyak pengalaman, dan dia mempunyai pandangan yang bijaksana sekali. Andaikata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Selain ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, maka dia menerimanya dan dibawanyalah anak perempuan berusia setahun lebih itu pulang ke Shen-yang.

Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, diapun sudah bercita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apabila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah. Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan isterinya itu adalah seorang peranakan Mancu sehingga sudah meng­anggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.

Betapapun juga, isterinya itu ber­sikap manis kepadanya sehingga dia ter­hibur juga dan biarpun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya namun dia merasa cukup gembira, hidup, rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan kini isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot baru dan sebagai­nya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja dari pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.

Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibentuknya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada waktu itu, isteri Bhe Coan kebetulan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya, jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi ke­merahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum. Yang datang itu adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun namun gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau se­orang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang laki-laki yang bisa me­nundukkan hati wanita, seorang laki-laki petualang asmara! Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih baru, biarpun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang kelihatan juga kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula.

Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri, akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apalagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.

"Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?"

Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehigga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang sepasang matanya yang tajam mengerling dari bawah. "Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan..."

Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.

"Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?"

Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. "Ih-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik."

"Apa...?" Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. "Nona... eh, nyonya tidak main-main?"

"Mengapa?" Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.

"SUNGGUH MATI siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... eh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf..."

Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita daripada dikatakan masih kelihatan muda, apalagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini! "Ahh, kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang berusia hampir empat puluh, akan tetapi sayapun sudah... eh, hampir tiga puluh tahun..."

"Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!"

Jantung nyonya itu makin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?"

"Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapapun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik "...melihat nyonya sebagai isterinya, saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..."

Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia meng­angkat muka memandang wajah itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.

"Dia bekeria di dapur, harap kongcu langsung masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumah­nya, langsung dia memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuh­nya yang baru saja mendapat pujian se­cara tidak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu dari seorang pe­muda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasa­kan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.

Sementara itu, sasterawan itu ter­senyum mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata kagum, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah. Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia ber­sikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita manapun yang di­jumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.

Setelah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana ter­dengar suara berdentang dan berdencing­nya besi bertemu besi.

Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara ber­dencing itu berhenti, dan ketika dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang laki-laki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya berlepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Nampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu rumah samping dan melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.

Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan mem­bungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikitpun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu, kemudian, setelah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu. Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak­lah mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sastera­wan itu.

Sejenak Bhe Coan tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan dan pula utusan pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan memesan pedang! Biasanya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kwas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Maka dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.

Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. "Tadi saya diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?"

Sepasang mata pandai besi itu ber­sinar, tanda bahwa ucapan pemuda saste­rawan itu berkenan di hatinya. Diapun terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berke­pandaian seperti para sasterawan ber­sikap angkuh dan merasa lebih tinggi daripada orang-orang kasar seperti dia, akan tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.

"Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ah, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..."

Kui Hok Boan tersenyum lebar, nam­pak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, kiranya twako seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hor­mat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..."

"Ahhh...!" pandai besi itu kelihatan berseri wajahnya mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. "Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?"

Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tidak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran lalu berbalik dia bertanya. "Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?"

"Hubungan baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia. "Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?"

Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan menghormat lagi kepada pandai besi itu. "Aihh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!"

Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegan­g kedua tangan sasterawan itu. "Lui-kongu, saya girang sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?"

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang