Naga 36

3.4K 47 0
                                    

"Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku ingin cepat-cepat ke sini..."

"Lalu mengapa engkau bersembunyi di sini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi tadi di bawah pohon kita itu?"

Gadis itu mengangguk dan sesenggukan. "Aku... aku melihatmu... aku takut untuk keluar, ah, kauampunkan aku, koko..."

Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. "Betapa anehnya engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah sembunyi! Apa artinya ini?"

"Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu..."

"Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian..." Lie Seng mendekap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung masing-masing.

"Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau menanti di sana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut menjadi..." Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih sayang, juga dengan air mata bercucuran!

Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. "Eng-moi, jangan kauulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"

Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi belaka!

"Koko..."

"Ya...?"

"Aku bersumpah..."

"Tak perlu bersumpah..."

"Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu, mengawanimu, membantumu..."

"Cukup, moi-moi, aku percaya padamu, kita saling mencinta, mengapa engkau harus bersumpah seperti itu?"

"Karena aku berhutang budi kepadamu, koko."

"Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut budi..."

"Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-orang kang-ouw, apalagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko..."

"Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang, sudah lunas, bukan?"

"Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar selama kita hidup."

"Kau benar..."

Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih mereka. Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata, "Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."

"Mau... mau kaubawa ke mana aku ini...?" Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.

"Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka."

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali. "Tapi... suhu dan subo..."

Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. "Eng-moi, setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh jiwaku, apalagi yang engkau khawatirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!"

"Ah, koko..." Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan tetapi juga bahagia.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari kekasihnya itu termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah. "Ke mana kita harus mencari ibumu?"

"Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tptapi aku belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apalagi kita berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."

"Siapakah fihak musuh itu, koko? Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan dituduh pemberontak?"

"Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."

"Siapakah mereka?"

"Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami luka."

"Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi guru dan murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!" kata Sun Eng dengan sikap gagah.

Lie Seng tersenyum pahit, "Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Kepandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa ada kesalah pahaman antara keluarga."

"Sucimu? Siapakah dia itu, koko?"

"Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain perduli apa? Kalau setuju syukur, kalau tidakpun tidak apa-apa!"

Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang amat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar. Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar telah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu berahi, pandai menjaga diri dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.

"Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya menunjukkan tipisnya cinta." Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah dengan resmi!

Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar. Lie Seng dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri pendekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!

Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan dan dua orang kakek itu telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia mengenal komandan itu, seorang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.

Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar komandan itu berkata dengan suara halus, "Harap ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!"

Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan diri. "Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak merasa melakukan kejahatan apapun!"

Komadan Lee Cin tersenyum getir, "Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi telah diawasi."

"Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!" bantah Lie Seng.

"Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!" bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu (baca cerita Dewi Maut).

"Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar dia dibebaskan!"

"Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!" teriak Sun Eng dengan mata terbelalak.

"Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat ditawar-tawar lagi!" Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek ini adalah dua orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang "bengcu" atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek. Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.

Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.

Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit, tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.

"Cep-cep-cep-cep!" Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!

Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa, "Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami harus..."

"Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!" tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!

"Mati hidup di sampingmu, koko!" teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan tendangan kakinya. Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin berseru menyuruh mereka mundur.

"Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!" teriaknya dan ini merupakan permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.

Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng. "Nona manis, mari kita main-main sejenak!"

Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membuat ke leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil dari Kim-liong-ong Phang Sun!

"Cringgg!" Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!

"Awas, Eng-moi!" Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng.

"Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-liong-ong juga terpental ke belakang!

"Eh, kau boleh juga...!" Kakek kecil pendek ini berseru.

"Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"

Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main. Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini.

Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat! "Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah kalian!"

Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang tempo hari!

"Eh, kau mau apa? Mengantar nyawa?"

"Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!" bentak Lie Ciauw Si, dara itu.

"Si-moi...!" Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.

"Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?"

"Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?" Kini dia mengenalnya dan merasa heran.

"Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?" Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan, memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.

"Maafkan kami, kami mentaati perintah," katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.

Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata, "Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!"

Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin berkata, "Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?"

"Tapi... tapi gadis itu..."

"Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!" Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.

Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

"Koko...!"

Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat menahan air matanya yang mengalir turun.

"Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!"

"Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!"

Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.

"Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!"

"Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!"

"Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!"

"Koko, siapakah enci yang manis itu?"

Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si. "Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak iparmu)!"

"Aihhh...!" Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. "Engkau sungguh cantik, so-so...!"

"Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!" kata Sun Eng tertawa.

"Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu semenjak engkau meninggalkan kami, koko!"

Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.

"Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?"

CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang mengandung.

"Dan ke mana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?" tanyanya. "Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?"

Ciauw Si menggeleng kepalanya. "Memang tadinya ibu dan bibi Hong hermaksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping."

"Di Yen-ping? Siapakah dia?"

"Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelaniatkan dia dan kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan."

"Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?" Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.

"Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana."

"Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?"

"Tadinya aku hendak pergi ke kota raja..."

"Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota raja? Apakah mencari celaka?"

"Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang menyelamatkan kami tadi? Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin pangeran itu?"

Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. "Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepadaku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi."

"Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?"

"Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si," tiba-tiba Sun Eng ikut bicara. "Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi kedudukannya, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?"

Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, "Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!"

Lie Seng tersenyum bangga. "Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?" Mereka tertawa gembira.

"Karena pertemuan ini, biarlah kuantar kalian ke Yen-ping lebih dulu menjumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng."

Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.

"Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan..." Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.

"Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi," sambung Ciauw Si.

Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, "Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!" Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut. Sun Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan. Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan di masa lampau.

***

Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berempat jarang keluar dari rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua inipun merasa amat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa berhutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima mereka dengan penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang mengandung itu melahirkan.

Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tidak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggauta perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.

Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.

Empat orang itu telah duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah pucat, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih, "Suhu... subo...!"

Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!

"Mau apa kau ke sini?" bentak Bun Houw.

"Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!" bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.

Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.

"Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!" katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

"Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!" bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakannya hendak melindungi gadis yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya itu!

Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. "Paman dan bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw berseru, "Apa yang kaukatakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan..."

"Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!"

"Apa...?" Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.

Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah hangkit pula dan bertanya dengan gelisah, "Apakah artinya semua ini?"

"Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!"

"Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu..."

"Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina..."

"Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!" bentak Lie Seng dengan marah.

Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun berwibawa dia berkata, "Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik," sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, "Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si."

Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.

"Si-moi, jangan pergi!" Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, dan akan terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya. Ciauwsi simoi engkau sudah dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka blarlah engkau ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan blarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!"

Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang amat menegangkan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.

Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bahwa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.

"Seng-ji, apakah artinya semua ini?" Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar dan biarpun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, namun pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.

"Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri."

Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.

"Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor..."

"Murid durhaka!" In Hong membentak Sun Erg. "Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?"

Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, "Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng..."

"Heh?" Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. "Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?"

Lie Seng mengangguk gagah. "Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli! Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!"

"Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan perempuan rendah ini!"

Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dan puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. "Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kauceritakan kembali agar dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu." Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.

Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula. "Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu..." bisiknya.

"Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi..." dia sesenggukan.

"Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!" kata Cia Giok Keng.

Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu berkatalah dia kepada keponakannya itu, "Seng-ji, engkau tentu tahu bukan sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya."

"Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya." Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.

Kembali Bun Houw meragu. Betapapun juga dia merasa sayang kepada keponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang lain.

Mellhat keraguan adiknya, Giok Keng berkata, "Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia mengerti!"

Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata, suaranya lirih, "Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku, dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti pelacur saja..." Dia berhenti sebentar, "aku pernah menceritakan ini kepada ibumu..."

"Cukup!" Cia Giok Keng membentak "Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?" Dia mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!

"Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku..."

"Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?"

"Ibu, kami saling mencinta..."

"Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!"

"Ibu...!"

"Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!" Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.

"Tidak, enci, biar aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!" kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!" bentaknya.

Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan marah. "Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!"

"Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan? Tidak, ibu malah akan menghancurkan kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!"

Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, "Kau tenanglah..."

"Lie Seng!" Bun Houw membentak keponakannya. "Begitukah sikap seorang gagah? Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?"

"Paman, cukup segala omong kosong ini!" Lie Seng membentak, mukanya merah, matanya liar. "Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?"

"Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga..."

"Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!"

"Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?"

"Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!"

"Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui..." Giok Keng makin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.

"Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang yang kucinta!" Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, "Eng-moi, mari kita pergi!"

Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Seng yang benar-benar telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.

"Seng-ji... ah, Seng-ji...!" Cia Giok Keng menjerit dan ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.

Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata, "Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!"

Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. "Paman Cia Bun Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kaukira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Kalau engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!"

Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya. "Paman, jangan...!" seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng, Bun Houw tertegun dan bingun.

"Houw-ko...!" Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan kelihatan limbung.

"Hong-moi...!" Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. "Kau... kau kenapa, Hong-moi...?"

"Aku... perutku...ah, sakit...!"

Cia Giok Keng cepat menghampiri. "Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan melahirkan...!"

Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.

Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pal itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu.

Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hasil ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan.  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang