Naga 47

2.6K 37 0
                                    

Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.

"Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..." Suara pangeran itu merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.

Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."

"Engkau minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sam­pingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di mana­kan engkau menyimpannya?"

Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras. "Tidak akan kuberi­kan, biar aku dibunuh sekalipun!"

Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. "Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kaurasakan siksa neraka lebih dulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu ke­padaku!"

Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat ke­dua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.

Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tubub­nya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu menggeletakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di bela­kangnya, tidak tahu apa yang sedang di­lakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.

"Sun Eng, kaulihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tidak ingin bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"

Akan tetapi Sun Eng yang sudah me­ngerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kaudapatkan kembali!" Suaranya penuh tantangan bah­kan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pa­ngeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

"Keparat!" Ceng Han Houw memben­tak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, ma­tanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanan­nya yang menderita nyeri luar biasa itu.

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang