Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, agar dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu! Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?
Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu, ketika dia melihat sikap muridnya yang terlalu manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata. Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"
Bukan main kagetnya hati Bun Houw mondengar ini, saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kaumaksudkan, Hong-moi...?"
"Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkaupun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?"
Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini mengganguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar dan melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."
Biarpun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, ketika Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang amat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu. Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itupun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.
Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemm, bocah itu sungguh tak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.
"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi kasihanilah dia, dia masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasihat kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia dan kita bersama menasihatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari kesesatannya itu?"
In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kitapun bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras terhadap Sun Eng."
Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar agar kelak aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek di alam baka."
Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subonya, wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa ada hal yang amat panting terjadi dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Maka setelah memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.
Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang, "Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka."
Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subonya dalam percakapan ini, maka dia hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."
"Sun Eng, aku telah tahu akan perbuatanmu beberapa malam yang lalu, terhadap suhumu."
"Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.
Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subomu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan agar engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."
Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.
"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhumu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhumu adalah gurumu yang menjadi pengganti ayah, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid terhadap guru, menjadi cinta berahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhumu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau akan merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.
"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu lebih mencelakakan daripada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.
Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran dan dengan terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekalipun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebenarnya, teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."
"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.
"Ampun, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... biar menyerahkan nyawa berkorban jiwapun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."
In Hong dan Bun Houw saling pandang kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.
"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kaulakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhumu, menjadi seperti dahulu, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kauenyahkan dari hatimu. Mengerti?"
Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya, "...teccu salah... teecu salah..."
Melihat itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subomu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar."
Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat. Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid maupun dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya. Dan di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tidak begitu memperdulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang menegur dan menasihati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.
Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.
Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang amat terkenal di kota itu sebagai pemuda mata keranjang, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw dan Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu. Apalagi In Hong! Pendekar wanita ini pada dua tahun yang lalu pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau tidak dicegah oleh Bun Houw tentu sudah membunuhnya karena Aw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil ketika dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan kalau pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.
Para utusan itu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidaksenangan hatinya oleh penolakan itu. "Eng-ji, yang meminangmu adalah seorang pemuda yang tersohor jahat dan busuk namanya di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras," kata In Hong.
"Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat lalu meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.
Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untung dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."
"Betapapun juga, dia adalah murid kita dan sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.
Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga daripada berlatih silat, setelah selesai membantu subonya di dapur.
Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng. Demikianlah, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan dan mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu. In Hong dan Bun Houw cepat membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!
"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang," terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!
"Aku tentu datang, kongcu, akupun rindu sekali padamu."
"Ah, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu dan kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan ketika tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!
"Keparat!" In Hong memaki dan dia sudah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, seperti membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.
"Anjing hina-dina!" In Hong membentak lagi ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"
Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subonya melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhunya lalu berkata dengan suara lantang.
"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apa kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"
Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau..."
"Memang! Aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang dan In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tidak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan bicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!
"Sun Eng! Kau... kau..." Saking marahnya, In Hong tak mampu melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.
"Plakk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya. "Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan."
In Hong terengah-engah saking marahnya.
"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami sudah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo telah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?"
Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.
"Perbandinganmu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kaupilih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."
"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo dan tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Aw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.
"Hemm, pilihanmu yang kaulakukan dengan mata buta itupun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apakah hal itu patut dilakuken seorang gadis yang mengenal susila?" tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Subo, kalau aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta padanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta padanya. Kami saling mencinta, maka apalagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?"
"Bodoh! Orang macam dia mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuang setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.
"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kinipun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?"
Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."
SUNGGUH kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia ini, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis yang menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.
Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan nafsu berahi belaka, adakah itu yang dinamakan cinta? Dan yang amat menyedihkan, betapapun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah berarti bahwa kita menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan, dan kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?
Demikian pula dengan halnya Sun Eng. Dia percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan dan dorongan nafsu birahinya sendiri, menyerahkan dirinya karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.
Bun Houw dan In Hopg merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, kelak engkau akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"
"Jangan subo bergerak! Kalau subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!" kata Sun Eng.
Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalan pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata, "Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggungjawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau padaku. Mulai saat ini segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.
Setelah tiba di luar hutan, tak tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya dan In Hong menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw. Bun Houw merangkul dan mengelus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Setelah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.
"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ah, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita..."
Bun Houw menunduk dan dalam keadaan berduka membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.
Malam itu bulan purnama, dan karena memang keduanya sudah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang amat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, kini setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.
Akhirnya In Hong terengah-engah melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang juga agak terengah napasnya dan panas dingin seluruh tubuhnya.
Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya. Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas daripada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.
Maafkan aku..."
"Maafkan aku..."
Keduanya saling pandang lagi, merasa lega setelah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik, "Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya kini sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.
Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biarpun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Mengapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja kepada kehendak Tuhan?"
Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya itu untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong. Wanita ini melinangkan air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya! Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat diapun memasuki kamarnya, merasa ngeri akan bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan, tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimanapun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!
Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tidak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang dan pakaiannya karena kekasihnya yang kaya raya itu membelikan pakaian baru sebanyaknya untuknya. Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan. Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan mengerikan karena leher dan mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.
Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng! Mereka depat menduga bahwa tentu Sun Eng yang telah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.
Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biarpun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka. Apalagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapapun juga.
Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah dan mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.
"Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.
Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali menarik napas panjang. "Ah, anak itu patut dikasihani..."
"Tapi, Liong-ko, dia tak berahlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong berkata marah.
"Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah hal itu merupakan hal yang patut dikasihani dan tidak terlepas daripada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik, mungkin dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biarpun kalian sudah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguhpun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."
Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela dan diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.
Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.
Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan serem ketika dia bertemu dengan nenek muka hitam yang amat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu. Di samping tiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya untuk membantunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.
Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li dapat muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri empat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati. Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.
"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.
Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"
Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini lalu memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal dan membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu. Dengan cepat berangkatlah mereka, menjemput Lee-ciangkun dan bersama-sama lalu menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng dan Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin dan mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.
"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri telah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka itu, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.
Karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.
Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.
"Ciong-taijin, guruku berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."
Mendengar ini, wajah pembesar itu berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"
Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah kepada para pembesar, dan tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.
"Menurut subo, tidak mengapa kalau sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanya sekeliling ruangan di mana empat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, maka, andaikata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."
Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.
"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggungjawab akal hal ini!" kata Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.
Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.
Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng. Biarpun sudah diusir oleh suhu dan subonya, namun Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, melainkan berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang biarpun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan.
Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.
Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri. Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!
Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh... tolonglah aku..."
Komandan itu menelan ludahnya. Melihat wanita itu mengeluh dan mengeliat, dia terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, lalu membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!
Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi di atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk. "Auuuh kakiku..." keluhnya.
"Kenapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri dan duduk di atas pembaringan.
Nona itu tidak membantah dan melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya sampai ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.
"Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.
Mengira bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lalu mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?"
Nona itu mengerling tajam lalu tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah..."
Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya akan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.
Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ah, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."
"Boleh apa...?"
Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"
"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.
"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun."
"He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai dan menelan ludah, lalu dia mendekatkan hidungnya untuk mencium. Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he, engkau cantik manis!"
Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tak dapat digerakkan. Biarlah nanti... eh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?" Secara sambil lalu wanita itu bertanya.
"Ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapapun..."
Wanita itu cemberut dan berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
"Eh, engkau mau ke mana?"
"Biarlah aku pergi. Biarpun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kaubawa ke pondok ini, akan tetapi engkau menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!" Wanita itu terpincang-pincang hendak pergi.
"Eh-eh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu, manis?"
"Namaku Ang Bwee Hwa."
"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan aku bernama Ciok Kwan."
"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."
"Siapa bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis."
"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"
"Stt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."
"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"
"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus siap, dan karena empat orang itu amat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."
"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.
"Dan untuk menjaga agar mereka jangan lolos, kota raja telah mengirim jagoan yang mengerikan. Engkau akan takut kalau melihatnya, dia seorang nenek bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi kabarnya murid itupun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka."
"Ihh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"
"Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya berkilat.
Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulurkan tangan hendak meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Komandan Ciok menjerit satu kali dan roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika!
Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.
Sementara itu, di luar dan dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-1ampu sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di situ mulai gelap dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang pilihan.
Tiba-tiba di dalam kegelapan yang mulai menyelimuti bumi itu terdengar teriakan melengking, teriakan seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga khi-kang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.
"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo terjebak oleh musuh!"
Dan dari pintu depan penjara itu, muncul seorang wanita yang bukan lain adalah Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik dan roboh menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng sudah mengelebatkan pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain. Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!
"Suhuuu! Subooo! Keluarlah sebelum terlambat!" teriak lagi Sun Eng sambil mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.
"Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?" bentaknya dan dengan gerakan yang dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini sudah meloncat dan menyerang Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, telah menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di pergelangan tangan itu.
Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu amat ampuh ini, maka cepat ia mengelebatkan pedangnya menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang itu untuk membacoknya buntung.
"Trikkk!" Sun Eng terkejut bukan main karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika tangan itu bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah lawan yang lihai itu.
Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.
"Suhuuu! Subooo! Lekas keluar...!"
Akan tetapi Sun Eng menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah menyambar ke arah matanya. Dia cepat mengelak mundur dan mengelebatkan pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut pada pedangnya dan ternyata itu adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia terkejut, miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung sabuk yang biarpun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.
"Cepppp!" Pada saat itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan ini yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung tak dapat ditangkis atau ditolak oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak kirinya tertusuk tombak. Darah mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.
Betapapun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apalagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu terluka oleh bacokan golok yang merobek celana dan kulit paha kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah. Namun, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu dia meneriaki suhu dan subonya untuk segera melarikan diri!
"Perempuan sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada sinar api meluncur ke arah dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat. Sun Eng terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Melihat robohnya gadis ini, dua orang penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tidak berdaya lagi untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut maut dengan mata terbuka!
"Trang-trang...!" Pandang mata Sun Eng silau oleh berpijarnya bunga api dan dua orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri dan tubuhnya disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!
Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana keempat orang itu ditawan. Diapun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika dia melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama ketika wanita itu berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama sekali tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan wanita itu, dia terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika berteriak-teriak ke dalam.
Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang sekali berkelebat dan sekali tangkis merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main.
"Tarr-tar-tar!" Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah maut. Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng seperti seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan kelihaian masing-masing.
"Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang pengeroyok dari samping. Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Dua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut mereka seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.
"Siapa yang kausebut suhu dan subomu?"
"Cia Bun Houw dan Yap In Hong!"
Lie Seng terkejut. Kiranya wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka diapun percaya akan hal ini.
"Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"
"Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.
Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang diatur dan diberi bahan bakar dan minyak.
"Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!" Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khi-kangnya, maka suaranya terdengar amat nyaring. Kini giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subonya!
Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak memperdulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...