Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pakaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan.
Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!
Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi diapun tidak mengenal In Hong, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan penyelidikan. Sungguh tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tidak ada seorangpun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pendekar itu menggunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar.
"Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!" katanya sambil tersenyum mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!
Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jerih.
"Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan...seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar.
Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!
"Cring-cringgg...!" Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakk!"
Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.
In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.
"Plak! Plakk!" Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.
"Hik-hik, mampuslah engkau!" Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghantamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!
Namun pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat dan tiba-tiba muncullah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu didesak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.
"Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!" bentaknya dan sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya schingga terpaksa dia menangkis.
"Dukkk!" Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi? Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.
"Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di tanganku!" kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sama menyesal tidak sempat untuk melarikan diri, karena pendekar itu sudah menerjangnya dan mengirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukulan merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.
Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena pukulan yang langsung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan marah di hatinya. Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempatan selagi dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.
"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.
"Bukk!" Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dadanya sesak, tubuhnya terjengkang! Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.
Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.
"Plakkk!" Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!
Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu terdengar teriakan, "Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.
Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.
Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!
Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.
"Dukk!" Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.
"Desss!" Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.
"Engkau...?" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"
"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya..." jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!
"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.
"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.
"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.
Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!
Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.
"Dukk!" Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!
"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis.
"Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!
Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. "Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!
KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.
"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan, menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu!
Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit, diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air bah menyerang itu.
"Mari kita pergi cepat!" Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya. Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.
"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua tangannya menyerang.
"Plak! Plak!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.
Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sunguh anak yang amat luar biasa sekali!
"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.
Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.
"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" Kata Bun Houw sambil menggeleng kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."
Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat mainkan Thai-kek-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."
"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"
Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara dengan serius.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.
Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.
Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?
Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.
Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.
Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.
Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.
"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"
Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit "Heh-heh-heh-heh, sute, engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"
Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini.
"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."
"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."
"Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."
"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?"
"Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."
"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"
Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu kalau suheng sudi memberi petunjuk."
"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"
Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng."
Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sutenya, lalu berkata, "Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."
Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat bertemu dengan suhu."
"Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya.
Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.
Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!
Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.
"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.
Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.
Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!
Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan "kosong" sungguhpun kekosongan yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya sendiri. Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah "bertemu" dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!
Setelah merasa "bertemu" dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu saja dia menghubungkan ini dengan "kemunculan" bayangan suhunya yang, secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa "bayangan" Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan "bayangan" yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.
Keinginan akan sesuatu, betapapun "sesuatu" itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua akan mengatakan, "Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan "yang lebih tinggi". Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarangpun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?
Semenjak "pengalamannya" yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu "memanggil" datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!
Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.
Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.
"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.
"Byarrrr...!" Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.
"Desss...!" Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.
Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.
"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.
Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suhengnya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suhengnya tinggal.
"Suheng...!" Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.
"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.
Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"
Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya, "Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?"
Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."
Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."
"Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."
"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."
Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan sesuatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suhengnya itu dengan amat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata, "Di dalam guha inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."
"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"
"Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kautunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw menanti di luar guha sambil menahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.
Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"
"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya.
"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu.
Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah menghadap!"
Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menanti di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"
Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.
Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, "Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."
Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"
Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?"
Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"
Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar, "Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!"
"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"
Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.
"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.
"Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" Kakek itu berkata mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...