Ketika tiba di depan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoinya, memegang lengan sumoinya dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah? Kenapa kau menangis?"
Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek amat sayang kepada sumoinya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama dan tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.
Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!
"Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" tanya Tiong Pek makin gugup dan gelisah.
"Suheng...ibu...ibuku telah mati sejak melahirkan aku...dan sekarang...sekarang ayahku..."
"Ayahmu kenapa?"
"Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak perempuan itu menangis makin sedih.
"Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang? Ayah?"
Dara cilik itu mengangguk.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh tahun yang lalu..."
"Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu. Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini.
Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han.
Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata, "Sin Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaili orang-orang yang amat pandai akan tetapi juga amat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini haruslah membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari marabahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan kepadaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga satu dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami."
Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini telah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi dan ibu anak ini adalah murid terkasih mendiang Hek I Siankouw, maka tidak mengherankan kalau Sin Liong telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat ketika dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, gerakan-gerakannya amat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukan mentertawakan untuk mengejek, hanya karena geli hati mereka melihat gerakan yang kaku itu. Betapapun, ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa sekali, kecepatan yang didapatkan dari kehidupannya bersama para monyet sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu gin-kang sehingga tidak dapat ditandingi oleh suhengnya itupun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek. Dengan demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti lebih lihai daripada mereka!
Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada sesuatu yang menghalangi, seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka. Dia bahkan kadang-kadang ikut rombongan piauwsu mengawal barang, dan hal ini memang atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan pengalaman sebagai bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, maka diapun tidak pernah bertanya.
Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu akan menerimanya. Akan tetapi karena dia tidak tahu benar siapa adanya anak itu, maka dia tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itupun diam saja, tetap memanggil "paman Na" kepada piauwsu itu, walaupun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang anak itupun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan hati Na-piauwsu.
Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita sakit keras. Tidak nampak senyum di wajah semua orang yang berada di istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar. Semua ahli pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak ketinggalan pula para ahli "mengusir setan" untuk membuat persembahan dan memasang benda-benda yang dinamakan "hu" yang dianggap sebagai tumbal atau jimat penolak bahaya! Namun, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja.
Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari itu, nampak dua orang yang mau tidak mau menarik perhatian banyak orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga paling kuat. Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa. Akan tetapi karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu tidak menimbulkan kecurigaan, apalagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati sekali setelah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang pandai itu. Dia tidak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan diapun lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh kagum.
Ceng Han Houw tiada hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar ketika dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan bersih, rumah-rumah besar dan istana-istana yang indah dan megah. Diapun merasa sekali betapa sucinya tiba-tiba menjadi "alim" dan pendiam semenjak memasuki wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar, ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban sucinya itu yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan atau marga Cia, Yap dan Tio. Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa sucinya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya orang apakah ada di situ orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu.
"Suci, benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada sucinya ketika mereka berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu dia ajukan dengan menggunakan bahasa Mongol.
"Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa Han. "Bicaralah dengan bahasa Han agar tidak menarik perhatian orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana."
Semenjak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw telah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang maha besar di selatan adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar. Ayahnya sendiri di utara adalah seorang raja, akan tetapi kalau dibandingkan dengan kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang hanya ribuan orang banyaknya, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tidak terhitung banyaknya. Bahkan raja-raja kecil yang banyak sekali tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah kandungnya!
Maka mendengar ucapan sucinya, dia mengerutkan alisnya dan memandang kepada pakaiannya. Pakaiannya memang cukup baik, akan tetapi sudah agak kotor berdebu karena perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor!
"Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci." Ketika dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar!
Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sutenya. Tidak biasa sutenya ini membantah kata-katanya, karena sutenya menganggap dia seperti guru juga. Biarpun sutenya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi dialah yang lebih banyak membimbing sutenya ini dalam berlatih ilmu silat.
Han Houw tahu bahwa sucinya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, demikian pesan ibu kepadaku."
Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dan tahu bahwa betapapun juga, sutenya ini adalah seorang junjungannya yang harus ditaatinya, maka dalam hal-hal tertentu, dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah. "Kalau begitu, kita mencari sebuah rumah penginapan lebih dulu," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu.
Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi dan bertukar pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.
"Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita bisa makan apapun juga! Bahkan segala macam dagingpun bisa pesan. Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali masak seperti dewa, bisa menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut, kabarnya bisa juga."
Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sutenya itu, dan begitu dia tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sesungguhnya Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apalagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga giginya putih dan rapi.
"Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga ataupun kilin? Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih? Tanpa bumbu, mana bisa enak? Yang enak adalah bumbunya!"
Mereka lalu pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini, tidak begitu panas karena jauh dari api dapur dan memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.
Benar saja, ketika mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak kecap, goreng otak kilin, masak ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw tertawa geli membacanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang!
"Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika sucinya menuliskan pesanan di atas kertas.
Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap menghormat.
"Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit, semua pesta untuk sementara dibatalkan..."
"Sri baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut.
"Eh, kongcu belum tahu? Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani lagi banyak membicarakan kaisar yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh banyak disebut-sebut!
Han Houw saling berpandangan dengan sucinya. Kaisar sakit?
"Ah, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari,sampai beliau sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?" bisik Kim Hong Liu-nio kepada sutenya.
Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarangpun masih sakit sehingga semua penghuni kota rajapun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!
Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguhpun dia masih dapat menikmati hidangan masakan yang memang benar-benar lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali. Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena tiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari kain-kain berkembang yang beraneka warna! Sehingga dari jauh nampak mereka itu seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok. Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka itu memegang tongkat dan tempat makanan dari kayu, sedangkan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang aneh itu biarpun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning.
"Suci, orang-orang apakah mereka itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan gerakan dagunya.
Kim Hong Liu-nio yang duduknya berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan sejenak matanya menyambar dan memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka! Dia mengingat-ingat. Mereka itukah yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kai-pan (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang kabarnya amat berkuasa di daerah kota raja? Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima!
"Sute, jangan perdulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kai-pang," bisiknya kepada sutenya.
"Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh tegap yang sedang menghadapi meja penuh masakan bersama tiga orang lain yang juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu.
"Ah, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari Sin-houw-piauw-kiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu duduk.
"Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kenalan-kenalan baiknya.
"Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau sudah selesai urusan kami, kami tergesa-gesa!"
"Ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!
Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang diduga sucinya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing telah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama malah dapat menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah. Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Demikian pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.
Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan girang sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kai-pang memang sudah amat terkenal dan di manapun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tidak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw!
Pangeran dari utara ini, biarpun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian tinggi, maka pertunjukkan tadi biarpun membuatnya kagum, akan tetapi dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak memperdulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak perduli!
"Toanio, kasihanilah kami tiga orang pengemis tua..." kata yang seorang.
"Kami bertiga mohon dermaan dari toanio..." sambung yang ke dua.
"Semoga Thian memberkahi kebaikan toanio..." sambung pula yang ke tiga.
Melihat sucinya bersikap tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata, "Ini sedikit sumbangan dari kami harap diterima dengan senang."
Tiga orang kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu masing-masing sekeping, akan tetapi mata mereka mendelik dan seorang di antara mereka berkata, "Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang perak?" Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di atas meja depan Han How.
"Cep! Cep! Cep!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai hampir rata dengan permukaan meja. Tiga orang pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kai-pang akan menjadi terkejut, setidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, tiga orang kakek pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!
"Ah, kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu, menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan sin-kang dan dengan enak saja dia telah mencabut keluar tiga uang perak itu dan mengantonginya! Kemudian pemuda itu melanjutkan makan tanpa memperdulikan lagi kepada mereka!
"Waspadalah, sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim Hong Liu-nio.
Merahlah wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka terkejut bukan main menyaksikan betapa anak laki-laki itu begitu mudahnya mencabut uang perak dari atas meja. Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak lagi mau berpura-pura, dan yang tertua di antara mereka segera berkata. "Toanio, kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!"
Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut. Ah, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota Huai-lai itu juga merupakan anggauta Hwa-i Kai-pang? Akan tetapi mengapa pakaiannya tidak berkembang? Dia tidak tahu bahwa Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok dalam perkumpulan lain maupun tidak memasuki perkumpulan, semua menganggap Hwa-i Kai-pang sebagai induk perkumpulan yang dapat mereka andalkan untuk membela kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kai-pang juga menganggap seluruh pengemis dari manapun juga sebagai "umat" mereka! Itulah sebabnya ketika pengemis she Tio yang kebetulan bertemu dengan Kim Hong Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang dan tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota raja.
Kim Hong Liu-nio maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menghindarkan diri dari bentrokan. Akan tetapi diapun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak ingin pula mengikat permusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, maka diambilnya keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka, sekedar memperingatkan mereka agar tidak main-main dengan dia. Diambilnya sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena ia bermaksud untuk menyumbang sekeping uang emas, sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi.
"Pengemis itu sial karena dia she Tio," katanya. "Akan tetapi kalau kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua.
Pengemis itu menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "Heh-heh, selembar nyawa dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar nyawa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!" Dan pengemis itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan melemparkannya ke atas meja di depan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!
Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. "Tidak cukup? Apa yang kalian kehendaki, orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan kesabarannya.
"Jiwa seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya pantas untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi."
Tentu saja Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini dan pergi!" Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.
"Crottt... ahhh...!" Pengemis tua itu menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang sudah gepeng itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah!
Dapat dibayangkan betapa nyerinya tangan ditembusi benda seperti itu, akan tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya dan memandang kepada Kim Hong Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.
Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis lainnya menggerakkan tongkat, dia sudah menoleh dan mulutnya menghardik, "Tidak lekas pergi?"
Ketika dia membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang sedang menggerakkan tongkatnya itu. Dua orang kakek itu terkejut bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi, jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka. Ketika mereka meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak dapat dicabut karena sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan tangan menutupi mata kiri mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa tempat di wajah mereka yang terkena duri ikan.
Melihat ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu terlalu lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan tongkat. Teman ini memegang tongkat itu, lalu dia menyentuh teman di belakangnya dengan tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan mereka. Tidak banyak orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu.
Setelah tiga orang kakek pengemis itu tidak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang saja.
"Lihiap, kepandaian lihiap sungguh amat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi adalah tokoh-tokoh ke lima dari Hwa-i Kai-pang dan setelah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka kalau lihiap tidak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!"
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa dinasihati orang, mendengar kata-kata orang itu, dia mengangkat muka memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin bukan main dan sepasang mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.
"Kami datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setanpun yang boleh memaksa atau mencegah kami!"
"Ah, maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya.
"Kulihat tadi engkau adalah sahabat-sahabat tiga orang kakek pengemis itu, mengapa sekarang tiba-tiba saja memberi nasihat kepada kami?" Kim Hong Liu-nio bertanya dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya yang ketus tadi.
"Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tidak akan bersikap bersahabat dengan para tokoh Hwa-i Kai-pang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak bicara dan maafkan kalau saya lancang menasihati lihiap." Guru silat itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jerih setelah tadi guru silat itu menasihati Kim Hong Liu-nio.
Wanita cantik ini tidak memperdulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan dingin sekali, maka sikap guru silat tadipun tidak membuatnya merasa menyesal sama sekali. Dia melanjutkan makan minum seenaknya bersama sutenya sampai mereka selesai.
"Sute, kaulihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana."
"Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..."
"Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biarpun kaisar, tetap saja seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana."
Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka cari di kota raja itu.
Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang amat kuat. Dari balik pintu gerbang nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu. Bukan hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, akan tetapi juga nampak berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu tanpa ijin. Betapapun pandainya seseorang, kiranya tidak mungkin akan dapat menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apalagi kalau diingat bahwa di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Ketika para penjaga melihat seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya berpakaian mewah dan indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para penjaga! Ketika dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan bahwa mereka ingin menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran dan dengan keras keinginan itu ditolak.
"Ah, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.
"Jangankan selagi sri baginda kaisar sakit dan tidak boleh diganggu sama sekali, sedangkan andaikata beliau sedang sehat sekalipun, tidak akan mudah memasuki istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu."
"Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" kata Kim Hong Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.
Semua penjaga tertegun. Mereka tentu saja sudah mendengar nama Raja Sabutai di utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan tetapi tentu saja merekapun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung!
"Toanio, engkau tentu saja boleh mengaku utusan dari manapun, akan tetapi apa tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja? Apakah kalian mempunyai kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya."
"Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu," tiba-tiba Han Houw berkata dalam bahasa Mongol kepada sucinya. Diapun merasa terhina dan tidak senang. Katanya kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, akan tetapi kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya!
Kim Hong Liu-nio mengerutkan ailsnya. "Harap kalian suka memanggil komandan pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!"
Ketika itu, kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa. Suasana ini menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan mudah bercuriga. Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tidak baik terhadap kaisar. Betapapun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah kini wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, seorang di antara mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam kantor.
Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan galak, akan tetapi di samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta menghadap kaisar, maka dia cepat-cepat menghampiri cermin, mengurut kumisnya dan membereskan pakaiannya, kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang di mana dua orang itu masih dikepung oleh anak buahnya.
Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,
"Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!"
Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu. Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio sudah merasa mendongkol bukan main. Akan tetapi dia maklum bahwa di tempat ini dia harus dapat menahan kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata, "Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk menghadap sri baginda kaisar,"
Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu mengajak dia bicara. Tadi dia memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh kecantikan wanita itu.
"Apa? Ah, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan..."
"Justeru karena mendengar beliau sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim Hong Liu-nio cepat-cepat.
Perwira itu berpikir sejenak, lalu berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menanti di dalam kantorku untuk pemeriksaan. Kalian harus diperiksa."
"Diperiksa?" Kim Hong Liu-nio bertanya.
"Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa."
"Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!"
Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan "memeriksa" atau menggeledah tubuh wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya agar memperoleh kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian.
"PANGERAN atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam apakah kalian dapat diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh pria, maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan Kim Hong Liu-nio melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.
"Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.
"Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki kantorku."
Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah. "Kalau kami tidak sudi digeledah?"
"Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!"
"Bagus! Dengan tuduhan apa pula?"
"Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!"
Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah, sikapnya gagah dengan wajah jantan, sepasang matanya yang lebar itu berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya besar-besar.
Semua orang, termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada panglima yang keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung berdiri di situ, dia tercengang. Apalagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi di sini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?"
Si perwira tadi cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar."
Panglima itu kelihatan kaget dan kini kembali ia memandang dua orang itu penuh perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?"
"Be... belum..."
"Kenapa belum?" panglima itu menghardik.
"Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..."
Panglima itu kelihatan marah. Dia sudah tahu praktek-praktek kotor yang pernah didengarnya dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju.
"Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda Sabutai..."
"Ahh...!" Panglima itu terkejut sekali.
"Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami."
Makin kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira gendut yang melangkah mundur dengan sikap jerih. "Akan tetapi, hendaknya nona memahami peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana harus memiliki tanda pengenal diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja membawa tanda kuasa atau surat perintah Raja Sabutai sebagai utusan beliau."
"Ciangkun, kami hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari kerajaan kami sendiri."
Kim Hong Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap hormat. Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya dan sesampul surat, dia makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu, kalung kaisar yang tidak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka ini berarti telah memperoleh kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri! Maka cepat-cepat dia memberi hormat dan untuk kedua kalinya dia melirik penuh kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya.
"Saya panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan mohon maaf sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor kepada pengawal dalam istana."
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka manis wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu, kemudian bersama sutenya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu. Panglima itu bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar karena dia bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, sejak muda telah menjadi panglima pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh tahun itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa meninggalkan seorangpun anak keturunan. Dan biarpun isterinya telah meninggal lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi.
Kim Hong Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana, makin hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuhpun akan sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini berbeda dari biasanya. Dia tidak tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-ketegangan, bukan hanya karena kaisar menderita penyakit yang agak berat, akan tetapi terutama sekali karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan di dalam istana! Karena itulah, maka para panglima pengawal, termasuk Lee Siang dan kakaknya, Lee Cin, nampak sibuk selalu mengatur penjagaan untuk mencegah terjadinya desas-desus tentang pemberotakan itu.
Panglima Lee Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas, di mana berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan ada pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semua menunjukkan bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi. Kim Hong Liu-nio dan Han Houw hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat betapa Panglima Lee Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu, memperlihatkan isi kotak kecil dan mereka itupun kelihatan terkejut dan tegang. Mereka semua memandang kepada Han Houw dan akhirnya Panglima Lee mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi perjalanan melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah memperoleh persetujuan para pembesar itu.
Ceng Han Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam istana ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat perabot-perabot ruangan yang amat indah dan megah. Di setiap ruangan atau lorong tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan sikap waspada, dan di sana-sini terdapat pula dayang-dayang istana yang cantik-cantik, sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tidak nampak sedikit pun debu di dalam ruangan-ruangan itu.
Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar ini terdapat sepasukan pengawal yang amat gagah karena pakaian mereka semua terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang terkenal, pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa. Ketika melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para pengawal itu cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik membukakan pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar.
Kamar itu indah sekali dan amat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan bantal tinggi mengganjal kepala dan punggung, wajahnya pucat akan tetapi sikapnya tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan sri baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga yang berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah. Pemuda ini adalah Pangeran Ceng Su Liat, seorang di antara pangeran-pangeran yang ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini terdapat sembilan orang pengawal yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar apabila terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap melakukan segala perintah kaisar.
Suasana dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak karena kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika melihat masuknya Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw yang dikawal oleh Panglima Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang.
Lee Siang lalu mengajak dua orang itu berlutut begitu memasuki pintu, kemudian menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian kaisar sudah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka memandang, akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera menunduk kembali. Keadaan yang amat angker di dalam kamar itu membuat jantung berdebar tegang juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang menakutkan!
"Mohon beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba mengawal masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap," kata Panglima Lee Siang dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar.
Akan tetapi kaisar yang sejak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik sekali mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya menghadapi Han Houw yang masih berlutut.
"Utusan Sabutai...?"
Kim Hong Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila untuk menghaturkan isi kotak ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!"
"Kha... Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, kemudian dia mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun dan yang berlutut di dekat pembaringan. Panglima ini adalah panglima pengawal Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima kotak itu dan membukanya untuk meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kaisar. Setelah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu tidak mengadung sesuatu dan yang mencurigakan, dia lalu menyerahkan kotak yang sudah dibukanya kepada kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu.
Sejenak Kaisar Ceng Tung yang dibantu oleh dua orang dayang duduk dan bersandar dengan bantal di punggung, memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila ketika mereka harus saling berpisah. Dibelainya kalung itu di antara jari-jari tangannya, kalung yang dia percaya selama ini tentu telah tergantung di leher yang panjang, berkulit putih halus dan amat dikenalnya itu. Kemudian kaisar teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di dalam kamar, maka kalung itupun digenggamnya erat-erat dan dia lalu membuka sampul surat dan dibacanya huruf-huruf tulisan Khamila!
Sri Baginda Kaisar Ceng Tung pujaan hamba!
Perkenankardah hamba memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka memberkahi anak yang haus akan doa restu dan kasih sayang ayahandanya itu.
Hamba yang rendah,
Khamila
Kaisar Ceng Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari tangannya, melayang turun ke atas dadanya. Sejenak terbayanglah wajah yang cantik jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus itu. Kemudian dia membuka mata dan menoleh, sepasang mata kaisar itu agak basah ketika dia memandang kepada Han Houw.
"Namamu Han Houw...?" tanyanya.
Ceng Han Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur lantai.
"Kauangkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus.
Han Houw mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat tampan dan pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru.
"Majulah ke sini!" perintah kaisar.
Ceng Han Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, sucinya berbisik, "Majulah...!"
Dia lalu menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu menggerakkan tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah hampir dewasa itu, kemudian dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan mengalungkan ke leher Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung itu adalah benda yang biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda bahwa dia adalah keturunan darah keluarga kaisar!
"Ketahuilah kalian semua yang hadir. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, puteraku!"
Semua orang menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada saat itu, dari pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia terkejut bukan main. Pemuda yang baru muncul ini seperti pinang dibelah dua saja kalau dibandingkan dengan sutenya. Wajah mereka begitu mirip!
"Pangeran mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberitahukan dengan suara halus.
Kaisar mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar mundur dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan kepada pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain Pangeran Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota, calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini dan Pangeran Ceng Hwa melangkah maju dengan tenang menghampiri pembaringan ayahnya setelah dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang amat dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu. Hanya dia agak heran melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya dan duduk di tepi pembaringan.
"Semoga Thian memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang sampai selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang sungguh-sungguh dan penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan di dalam istana.
Kaisar tersenyum mendengar ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima kasihnya.
"Bagaimanakah keadaan paduka? Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...