"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk menangkap aku katanya!" kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi, hatinya besar dengan munculnya sutenya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Kalau sutenya ikut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.
Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si pernah menyebut-nyebut pangeran ini, bahkan menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!
"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya dengan ragu.
"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."
Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, sebaliknya dia malah menegur, "Kalau begitu, mengapa engkau hendak menang¬kap suciku ini? Apa salahnya?"
"Ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."
"Hemm, mana aturan demikian? Kalau memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andaikata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Kalau hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap!"
Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum dan meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"
"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw itu seorang yang baik dan gagah, akan tetapi kalau benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"
Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tidak akan membangkang lagi karena akupun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Setelah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.
Para tetangga yang berkerumun di depan, melihat perkelahian itupun lalu bubar karena mereka tidak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan.
Setelah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"
Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Sucinya itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu mengalahkan pangeran ini!
"Bagaimanapun juga, kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak berlagak!" kata Lie Seng, masih merasa terkejut.
Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah."
Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir. "Jadi, bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.
Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada di situ bersama sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada. "Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa..." katanya terengah. "Aku... aku mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."
Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja. "Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah." Lalu dengan singkat dia menceritakan tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.
Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, "Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"
"Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."
"Ohhh...?" Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. "Habis, bagaimana baiknya?"
"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie Seng.
Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka merasa tegang dan khawatir. "Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus melarikan diri?" akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.
"Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain..." kata suaminya.
"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh dibilang semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kauberikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!" isterinya mencela.
Souw Kwi Beng menarik napas panjang. "Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat di sini tentu tidak dapat menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."
Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.
"Saya tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu setelah dipersila¬kan duduk. "Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!"
Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang. "Nah, tidak urung begini jadinya," kata Souw Kwi Beng, "itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."
Yap Mei Lan nampak gelisah. "Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"
"Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."
"Mari kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.
Lie Seng menggeleng kepala. "Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kitapun akan segera pergi hari ini juga."
Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya berpelukan dan menangis.
"Enci, hati-hatilah di jalan..." Sun Eng berkata.
"Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal..." Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan terharu hatinya.
Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang untuk mengatur perusahaannya.
Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam. Teringatlah dia kepada Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.
Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja. Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!
Kanda Lie Seng tercinta.
Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali inipun karena cintaku kepadamu.
Yang mencinta selamanya,
Sun Eng
"ENG-MOI...!" Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu? Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti. Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.
Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ah, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?
"Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!
Akan tetapi, dalam bjbjU tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?
Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya. Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa! Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!
Demikianlah, dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng sehingga pria inipun sampai tidak memperdulikan lagi semua benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apapun!
Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudah dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan. Pangeran Ceng Han Houw menjadi kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tidak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin agar terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana diapun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.
Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke utara karena dia hendak kembali ke kota raja.
Akan tetapi dua hari kemudian, ketika kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Kusir kereta tentu saja menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apalagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek sehingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu dan dia sudah meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup akan tetapi keadaannya memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.
Han Houw membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Ketika tubuh itu membalik, dia terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis, bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus sekali dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut dan lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah. Usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak! Cepat Han Houw meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya amat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itupun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itupun amat indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam.
Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati..."
"Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"
Wanita muda itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati daripada hidup merana... aku akan tersiksa..."
"Hemm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekalipun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut bersamaku, nona."
Wanita itu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"
Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"
"Aduhh...! Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.
"Siapa namamu?"
"Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."
Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah. "Maukah engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?" Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.
"Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."
Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik oleh kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"
"Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu... hamba tentu akan dibunuhnya..."
Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari dari suamimu?"
"Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biarpun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak dapat menahan lagi dan hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."
Semakin girang hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya dan membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!
"Pangeran...! Jangan..."
Tentu saja sikap ini amat menyenangkan bagi Han Houw dan dia tersenyum. "Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng dan dibawanya ke dalam kereta.
Tirai kereta ditutup dan dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!
Dapat dibayangkan betapa senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.
Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan diri kepada seorang pria lain, betapapun tampan, gagah dan tinggi¬nya kedudukan pria yang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur. Inilah satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia dapat memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng.
Diam-diam Sun Eng merasa heran betapa cintanya terhadap Lie Seng telah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu bahwa dulu, sebelum dia bertemu dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa girang bukan main bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, dan berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?
"Eh, kenapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya setelah puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.
"Hamba... hamba takut..." bisik Sun Eng.
"Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" kata Pangeran Ceng Han Houw ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota. Sun Eng digandeng turun setelah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah dan pangeran itu bersama Sun Eng disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan! Han Houw diberi kamar terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berduapun dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seolah-olah dia hidup dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia!
Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika malam itu dia terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya dapat menyerah, bahkan demi untuk tercapainya rencana yang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya daripada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.
Pangeran Ceng Han Houw semakin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?"
Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.
"Ah, pangeran... saya yang setiap hari menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang mengangkat tubuhnya sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... maka, tentu saja saya merasa amat berterima kasih dan girang..."
Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain. Selir-selir seorang bangsawan atau hartawan pada waktu itu tidak ada yang berani menentang kalau suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apalagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali kepada sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.
Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han Houw.
Mempergunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, sewaktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu ke¬padanya sehingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!
"Aku adalah putera tiri Raja Sabutai yang besar!" demikian dalam "mabuknya" sambil membelai Sun Eng penuh gairah berahi Han Houw berbisik. "Dan aku menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"
Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng dapat "menuntun" Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya. Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.
"Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"
Sun Eng merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain manapun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."
Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!"
"Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."
"Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih."
"Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."
Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.
Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya merupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih. Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.
Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir lain.
Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil daripada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena keluarga itu adalah musuh besar subonya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran!
Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia berkata, "Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."
Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.
"Pangeran, bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik. Pangeran menoleh dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir.
"Hanya engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.
Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.
"Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.
Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata, "Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu." Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok -menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.
"Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."
Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa. "Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?"
Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap untuk membantu paduka."
"Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu..."
"Baik, pangeran."
Melihat selirnya yang tercinta kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Eh, baiknya kotak ini kaubawa dan kausimpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik."
Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka..." Di dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.
"Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu. Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.
Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat laporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu apabila Raja Sabutai mengadakan serbuan! Dan betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakarinya selengkapnya dalam pelaporan itu, tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Berubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.
Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, karena pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar. Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan di malam hari ber-lompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.
Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara."
Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ahhh...!" Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.
"Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat namun jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri."
Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya. "Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?"
"Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin," Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.
Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang! Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak. Malam itu juga para pembesar ini meng-adakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari kaisar. Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.
Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.
"Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus maupun, kalau perlu kasar!"
Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.
Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik. Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia telah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan! Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu meng-angkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dilakukannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi!
Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor! Padahal, tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak merasa bangga, tidak merasa bahagia, sebaliknya malah, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya.
Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri "disulap" menjadi perbuatan "baik" demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci.
Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguhpun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.
Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindakan yang benar. Dan tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.
Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun dia telah "berjasa" terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan!
Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!
Seketika pucat wajah Sun Eng, apalagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.
"Bukankah engkau ini Eng-moi? Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?"
Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mam¬pu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap. "Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin..." jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.
"Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.
"Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!" Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.
"Minggir!" bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan. Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya. Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!
Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng, maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk!" Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han Houw. Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia membalik dan dengan nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di leher dan dia mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plakk!" Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.
"Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?" bentak Han Houw dengan marah dan dia mengerahkan tenaga. Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk men¬cari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.
"Di mana kotak itu? Di mana surat itu?" desisnya marah.
"Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar..." Sun Eng menjawab sedapatnya saja.
Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh. "Bawa dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.
Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya kepada kaisar dan kalau kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.
Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.
"Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Dia mengepal tinju. "Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kauserahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.
Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.
"Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw. "Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting, hayo kaukatakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."
Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya. Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lembah Naga
General FictionLanjutan "Dewi Maut". Tokoh utama : Cia Sin Liong atau Pendekar Lembah Naga adalah anak di luar nikah dari pendekar sakti Cia Bun Houw, ibunya bernama Liong Si Kwi yang berjuluk Ang-yan-cu (Pendekar Walet Merah). Sin Liong yang secara tak sengaja be...