Naga 11

4.3K 72 0
                                    

Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia hanya mengatakan, bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.

Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan berubah dan jantungnya berdebar tegang dan takut. "Jeng-hwa-pang...?" katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. "Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?" Dia mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke kanan dan kiri dengan sikap jerih. Melihat ini, empat orang anak itupun menjadi gelisah.

"Saya tidak tahu pasti, paman..."

"Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau anakku pula, sungguhpun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman." kata Hok Boan.

Sin Liong menunduk dan tidak menjawab.

"Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?" tiba-tiba Lan Lan bertanya kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.

"Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang ke Istana Lembah Naga.

Setelah tiba di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai seorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar tentang Jeng-hwa-pang, sebuah perkumpulan yang amat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang amat kejam dan pandai menggunakan segala macam racun yang mengerikan.

Sin Liong masih pendiam dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan betapa wanita iblis yang menculiknya itu di tengah jalan dikeroyok oleh orang-orang Jeng-hwa-pang, dan betapa dia lalu dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggauta-anggautanya yang dihajar oleh iblis betina itu.

"Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia?" Hok Boan berkata dengan muka berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya wanita itu...!"

Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya selisih satu dua tahun saja dengan dia, telah mengalahkan pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Kalau diceritakannya, tentu orang ini akan makin terheran-heran lagi, pikirnya. Kini nampaklah olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya, yang tadinya dianggap amat hebat dan lihai, kiranya tidak ada artinya sama sekali kalau dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sutenya. Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai! Hal ini membuat dia makin ingin untuk keluar, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di dunia ini! Ingin dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim Hong Liu-nio itu.

"Lalu apa yang terjadi denganmu ketika kau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-ko?" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lain, tertarik bukan main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.

"Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular..."

"Ihh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.

"Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?" tanya Beng Sin, matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.

"Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.

Lin Lin dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?"

Sin Liong mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka dan dirawat sampai sembuh. Lalu tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..."

Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ah, engkau hebat sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang amat gagah perkasa dan hebat.

Betapapun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi karena anak itu telah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andaikata tidak ada Sin Liong dan monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak ini.

Akan tetapi, Sin Liong sudah tidak mempunyai semangat dan minat sama sekali untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apalagi setelah kini induk monyet yang disayangnya itupun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk menahannya. Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapapun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh perhatian kepadanya semenjak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!

Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah selatan Lembah Naga. Belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu hutan di timur dan utara. Dan biasanya, dia bermain-main ke selatan hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.

Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan dan Siong Bu berlari cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapapun juga tidak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya.

Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di depannya, langsung saja dia menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang kepergianku?"

Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong, engkau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana lagi kalau engkau pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena "maksud baiknya" dianggap keliru oleh Sin Liong.

Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong, "Anak baik, mengapa engkau hendak pergi, lagi? Hendak kemanakah engkau? Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggungjawab terhadap dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap dirimu."

Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu, "Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar seperti tempo hari?"

Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka dan menyesal sekali. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahh... katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-sudah kepadamu, Sin Liong." Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan betapa dia merasa kehilangan benar-benar setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong adalah anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya.

"Liong-ji, anakku... marilah kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu agar jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu."

Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh sekali, berbeda dengan anak-anak lain. Semenjak kecil dia tidak merasakan kasih sayang orang tua, bahkan mendiang ibunya juga karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, tidak memperlihatkan kasih sayangnya kepadanya. Oleh karena haus akan kasih sayang orang tua dan orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya membentuk wataknya menjadi aneh. Semua kepahitan hidup yang dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu sekali dan kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah kepada dirinya dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu dan memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis! Kalau dia ditekan, betapapun hebatnya derita yang dirasakannya, biarpun dia diancam oleh siksa dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak dapat mencegah tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis terisak!

"Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis," kata Kui Hok Boan dengan sikap terharu, sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin Liong menangis, bahkan ketika dihajarpun anak ini tidak pernah menangis! Dia masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini terheran-heran.

"Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah kandung saya, paman."

"Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong? Ke manakah engkau hendak mencarinya?"

"Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar, saya akan menyusul ke sana, paman."

Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang luar biasa sehingga biarpun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini menyebutnya dengan panggilan paman. Dia sendiri setelah diusir oleh Raja Sabutai, merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak mencari ayahnya ke selatan biarpun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu. Seolah-olah "selatan" itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar sudah sampai dan akan bertemu dengan orang yang dicarinya.

"Sin Liong, kaukira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kaujelajahi? Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu amat luasnya, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kaudatangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari? Marilah kau ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari keterangan perihal ayah kandungmu itu."

"Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai mati sekalipun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!"

Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak mungkin ditentang karena andaikata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan. "Kalau kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, akupun tidak dapat menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!"

Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasihat kepada Sin Liong agar berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau tidak secara terang-terangan mengaku sebagai putera pendekar Cia Bun Houw, karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun Houw, akupun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi ayah kandungmu atau aku."

Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasihat dengan setulusnya hati. Dan diapun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong Liu-nio!

Tak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian dan sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat tajam dan selama ini dibanggakan.

"Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong."

Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.

"Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..."

Siong Bu tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai tanda... persahabatan, maukah kau menerimanya?"

"Terima kasih... terima kasih...!" Dan sejak saat dia menerima buntalan dan pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali kepadanya!

Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya. Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia ini mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu buruk! Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang ingin memperoleh kesenangan selalu! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat demikian ini adalah palsu dan tidak benar! Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapapun jahat seseorang menurut pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaannya yang sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?

Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi tidaklah sukar apabila kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang banyak sengsaranya daripada bahagianya ini.

Sin Liong lalu berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam Tembok Besar.

Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi itu diseling dengan suara berdencingnya senjata yang beradu. Sin Liong merasa tertarik, akan tetapi dia cukup berhati-hati mengingat akan nasihat pamannya agar dia tidak suka mencampuri urusan orang-orang lain, apalagi urusan orang-orang kang-ouw. Betapapun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton! Memang pada dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Maka dia lalu mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari pohon ke pohon menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biarpun dia bersepatu, namun dia tidak kehilangan kegesitannya, sungguhpun tentu saja kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun.

Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon. Karena tepat seperti dugaannya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang amat cepat dan indah, maka hatinya tertarik sekali dan duduklah dia di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak. Saking tertariknya, Sin Liong tidak tahu bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak tahu bahwa ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu.

Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali, wajah tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.

Tiga orang tinggi besar itu memiliki gerakan yang liar dan ganas, golok mereka menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong masih mengingat akan nasihat pamannya dan tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggauta-anggauta Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang tak berlengan itu, akan tetapi juga dia mengenal seorang di antara mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot. Maka begitu dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksannya dan melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Maka seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi yang memiliki wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya.

Apalagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru. Seorang yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggauta Jeng-hwa-pang tingkat atas yang pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggauta Jeng-hwa-pang yang dapat lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah daripada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-pang itu. Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa. Biarpun demikian, tetap saja pedangnya dapat menangkis tiga batang pedang yang menyerangnya seperti hujan itu.

Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kalau tidak dibantu, kakek gagah itu akhirnya pasti akan roboh, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan membentak nyaring.

"Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan diapun sudah menerjang maju dan menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu seperti seekor kera marah! Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong.

"Singgg...!" Dan orang itu terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah memiliki ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajam sekali, maka hal inilah yang menjadikan kelebihan dari Sin Liong daripada orang-orang lain, dan membuat dia dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu. Dan pada saat itu, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar sudah berloncatan turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya!

Melihat munculnya bocah aneh itu dan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jerih, mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari tempat itu.

Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, Sin Liong cepat mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring dan monyet-monyet itu segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengah mata marah dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, kini dengan pedang di tangan memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.

Sin Liong segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman cepat meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali."

Kakek itu memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian telah menolongku tadi...?" tanyanya, masih bingung karena heran bagaimana di dalam hutan dapat muncul seorang bocah tampan yang berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu.

"Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu."

Laki-laki itu makin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!

"Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah? Apakah tinggal di sini?"

Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggat, paman, tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet itu."

"Ah...? Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?"

"Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..."

"Kau? Seorang diri pula? Anak baik, siapa namamu?"

"Nama saya Sin Liong..." dia tidak mau menyebutkan shenya.

"Nama keluargamu?" Kakek itu mendesak.

Sin Liong menggeleng kepala. "Saya tidak tahu."

"Ayah ibumu?"

"Tidak ada..."

"Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang ke tempat ini dalam perjalananku menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab lalu menyerangku tadi. Untung ada engkau yang menolongku. Sin Liong, anak baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakanlah saja terus terang, siapakah orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi?"

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa, menyambar seperti kilat ketika memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa tidak senang ketika didesak seperti itu.

"Paman Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi, harap paman suka pergi saja."

"Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah bunda, sebatangkara dan tidak ada tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik dan engkau membawa buntalan pakaian..."

"Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong secara singkat.

"Benarkah kau sebatangkara dan hendak ke selatan?"

"Paman, saya tidak biasa membohong!"

"Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik."

"Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..."

Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!" Dia membalik dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.

"Paman, engkau terluka!"

"Ah, keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan merobek celananya di bagian betis kiri. Di situ nampak tanda membiru dan lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.

"Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!"

Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.

"Paman, pergunakanlah ini saja!" Sin Liong segera mengeluarkan pisaunya, pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu saja amat canggung.

"Terima kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikitpun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu. Sin Liong memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang berkejappun tidak ketika pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya dan merobeknya, membukanya sampai darah mengucur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!

"Darahnya harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!"

Na Ceng Han terkejut bukan main dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu telah menempelkan mulutnya pada betis yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya, lalu menyedot lagi sampai berulang lima kali dan baru setelah yang keluar berwarna merah, dia berhenti menyedot. Na Ceng Han lalu memegang pundak anak itu yang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tidak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu telah menyelamatkan nyawanya dan dengan nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai tadi, dan kini, dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka di betisnya! Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini.

"Sin Liong, apa yang kaulakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!" katanya.

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar dan dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk mencarikan daun obat luka untuk Na Ceng Han. Kembali Na Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu dia meremas-remas daun-daun itu perlahan sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan lendir. Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas luka di betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun obat itu dengan sehelai saputangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.

"Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau dapat berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?" tanya Na Ceng Han dengan pandang mata penuh kagum.

"Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu akan cara hidup mereka, bahkan aku pernah luka-luka akibat cakaran dan gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati luka-lukaku dan menaruhkan daun obat ini."

"Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun? Memang tadi ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan menyerangku."

Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan mengaku pula tentang Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata, "Saya dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka."

Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tidak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan, wajahnyapun berubah, persis seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang.

"Jeng-hwa-pang...?" Kakek ini bertanya, suara agak menggetar karena ngeri dan jerih. "Mereka... mereka orang-orang Jeng-hwa-pang? Ah, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu?"

"Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat dan bercakap-cakap, paman."

"Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!"

Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Biarpun agak terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tidak lagi merasakan kakinya kaku seperti tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan. Sebetulnya kita tidak perlu khawatir dan tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar.

Seperti juga lain orang yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan mengejarnya. Dia masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa secara tiba-tiba orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tiga orang itu tadinya disangkanya hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka begitu hebat! Dan diam-diam diapun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat hebat. Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya hidup sebatangkara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah monyet-monyet, mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang jarum-jarum beracun!

Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apalagi ketika mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, sungguhpun keringatnya telah membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib!

Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya. Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai di tempatnya dengan selamat. Dia melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya. Akan tetapi yang membuatnya selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, maupun dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan karena Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara pendekar-pendekar ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.

Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang genit, dia telah kematian isterinya yang melahirkan seorang anak perempuan. Setelah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han. Na-piauwsu menerimanya dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.

Pada hari itu, ketika pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman yang tidak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi amat ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tidak ada yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas diri suami isteri itu.

Demikianlah, dalam perjalanannya pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya. Akan tetapi Sin Liong lebih banyak tutup mulut daripada bicara dan bagaimanapun didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa sejak kecil dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya.

"Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapakah engkau mempelajari itu, Sin Liong?" tanya Na Ceng Han ketika pada suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.

"Saya hanya ikut-ikut latihan dengan anak-anak dusun, paman dan saya meniru-niru gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat. Melihat anak itu memang pendiam sifatnya dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguhpun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya.

"Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa keluarga, mengapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan? Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok Besar terdapat dunia yang amat luas?"

"Ah, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar...ah, saya ingin meluaskan pengetahuan, paman..." Setelah berkata demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan mereka, menyeberangi Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini. Betapa jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara. Di sini mulai nampak padat dengan penduduk, dan ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas daripada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah! Akan tetapi dia mempunyai satu keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorangpun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai di mana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya!

MELIHAT kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini patut dikasihani, pikirnya. Melakukan perjalanan selama beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia makin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan amat cerdik. Apalagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di luka itu setiap hari. Na Ceng Han merasa berhutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.

Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.

Akhirnya tibalah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar, merupakan sebuah gedung yang biarpun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han dapat mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauw-kiok (perusahaan ekspedisi) yang diberi nania Ui-eng-piauw-kiok. Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini telah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya seperti seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka ketika ayahnya itu membuka piauw-kiok, julukan ini lalu dipakai. Maka terkenallah Ui-eng-piauw-kiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera berlatar belakang merah dengan gambaran seekor garuda kuning amat dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut barang yang dikawal oleh Ui-eng-piauw-kiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.

Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang perempuan yung manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka. Betapapun juga, Bhe Bi Cu selalu "tahu diri", merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu.

Keluarga Na menyambut Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apalagi setelah piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.

Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan pula rasa iri di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, begitu asyik dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya kalau menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk dan membiarkan ayah dan keluarganya itu bertemu melepaskan rindu tanpa berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.

"Siapakah anak itu?" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itupun yang tadinya bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah mengangkat mukanya membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.

Na Ceng Han tertawa, lalu menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan bertemu lagi dengan kalian, aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang mengetahui."

"Ihh...?" Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.

"Ahh...!" Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong.

"Ayah, apakah yang telah terjadi?" Tiong Pek juga berseru kaget.

Na Ceng Han menarik napas panjang, lalu dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi Cu."

Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..."

Nyonya Na cepat mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak baik, duduklah."

Mereka semua duduk mengelilingi meja dan mulailah Na Ceng Han menceritakan pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah terluka kakinya, kemudian betapa Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan menyelamatkannya dari bahaya maut.

"Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, akan tetapi bersama teman-temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka di kakiku sampai sembuh!" Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan.

Nyonya dan dua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh perhatian dan penuh keheranan.

"Luar biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong. "Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk menolongmu, suamiku!"

Na Ceng Han tertawa. "Ha-ha, memang tadinya aku sendiripun terheran-heran dan mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini."

"Muncul bersama rombongan monyet?" Tiong Pek berseru heran sambil memandang kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu...?"

"Ha-ha-ha, mengenal mereka? Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini telah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah duga dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!"

"Ah...! Benarkah itu? Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!" Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kagum dan Sin Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa menjawab.

"Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kausuka boleh kauambil!" Tiong Pek lalu menarik tangan Sin Liong. "Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!"

Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biarpun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya. Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na Ceng Han.

Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu."

Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya. Agaknya diapun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya tentang kehidupan anak itu yang aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana diapun datang ketika masih bayi. Akan tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apalagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak bicara dengan dia. Dia tahu betapa pamannya pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.

"Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?" Na-hujin bertanya. Hatinya sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi sejak tadi suaminya tidak pernah bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu. Kini Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar tentang orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi ketika berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.

Na-piauwsu menarik napas panjang dan memandang kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, demikian isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biarpun Bi Cu tidak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tidak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tidak enak juga. Betapapun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.

"Ah, berita tentang saudara Bhe Coan yang kubawa amatlah buruknya..." kembali dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu... bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini..."

"Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.

"Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."

"Ahhh...!" Nyonya Na menjerit dan melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali kepada Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, hanya memandang dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka! Hal ini tidaklah aneh. Dia tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah kandungnya itu meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.

"Paman, siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih.

Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh Bhe Coan dan isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe Coan dan isterinya itu."

Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku..." katanya. Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang kepada Bi Cu.

"Kasihan dia..." nyonya itu terisak.

"Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.

"Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..."

Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini. Bukankah kita juga sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri? Biarlah dia menyebut kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."

Wajah Na Ceng Han berseri. "Ah, begitukah? Baik sekali pikiran itu, dan aku setuju sepenuhnya!" Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi Cu sejak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek!

Sementara itu, Sin Liong mengagumi main-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.

"Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga Na amat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu. Kelak akupun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Nama Ui-eng-piauw-kiok telah terkenal semenjak kakek masih hidup!"

Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan cekatan sekali. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tidak kalah dibandingkan dengan Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na adalah sebatang pedang.

"Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah dan kita dapat berlatih bersama-sama!"

Sin Liong hanya tersenyum.

"Eh, mana sumoi?"

"Siapakah sumoimu?"

"Tadi engkau sudah melihatnya. Bi Cu adalah sumoiku. Murid ayah hanya dua orang aku sendiri dan Bi Cu."

"Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?"

"Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya kawin lagi maka dia dirawat oleh ayah dan ibuku sejak bayi. Mari, kita cari dia. Dia harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"

Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di dalam kamarnya. Ketika mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong Pek terkejut bukan main.

"Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia lalu berlari-lari menghampiri sumoinya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang. Di dalam hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu telah dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu telah mendengar akan kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu!  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang