Naga 34

3.7K 48 0
                                    

Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."

Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk menakuti orang itu agar jangan membohong. "Siapa engkau?"

Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek." jawabnya cepat.

"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.

"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."

Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.

"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.

"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.

Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!" Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.

Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!

Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya.

Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.

Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak mengenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?

Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"

Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!"

Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tentu kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."

"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."

"Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

"Heh-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"

"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan. Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

"Ting-ting-cringgg...!" Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

"Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!" Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

"Ehhh... ehhhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.

Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.

Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghunjamkan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya.

Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

"Tranggg!" Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.

Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.

Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus, "Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"

Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.

Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

"Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."

"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka." kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.

Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat. "Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"

"Sama sekali tidak, pangeran!" jawab Gu Kok Ban tegas. "Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."

"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.

"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat..." Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

"Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"

"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib..."

"Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"

"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.

"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"

Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.

Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han How. Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya. Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!

Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban, "Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."

"Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."

"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"

Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus, "Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi." Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, "Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"

"Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.

"Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.

Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!" Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.

Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

"Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.

"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."

Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia "terpaksa" oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!"

"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena diapun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.

Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!

Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya. Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu tidak mengelak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

"Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.

"Ah, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata akan mendatangkan malapetaka."

Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jarl nona seakan-akan telah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."

"Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini makin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.

Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."

"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."

Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.

"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh mengherankan memang kekuasaan cinta asmara. Sekali Ciauw Si terpikat, secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang sifatnya menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!

"Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Hiaattt...!" Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.

"Haaaiiitttt...!" Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!

Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!

"Ehhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, melainkan menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw terdesak dan pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.

"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.

"Plakk!" Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.

Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru, "Aku mengaku kalah..."

Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"

"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!

Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini. Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali 1upa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!

"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"

Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.

"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.

Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, kemudian dia berkata, "Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."

Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum."

Ciauw Si balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapapun juga

"Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."

Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!

Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.

"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."

Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!

"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu?" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.

"Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah?"

"Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis..."

"Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.

"Tapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."

Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.

"Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, masih ragukah engkau, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"

"Tapi... tapi..."

Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"

Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!

Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu dan diapun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan suara jantung pangeran itu berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa berbahagia sekali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.

"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun mencintaku?"

"... aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu lagi, pangeran..." bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.

"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."

Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.

"Kau... kau..."

Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"

"Pangeran, seperti itukah cintamu?"

"Eh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"

Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu?"

Kini pangeran itu yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tidak mengerti..."

"Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kaukira aku semacam perempuan yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"

"Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"

Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!"

"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sampai lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."

Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan kemarahannya mereda, akhirnya wanita itu lalu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya. "Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."

Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak mempermainkannya!

Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.

"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."

Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan kakeknya.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.

"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.

Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

"Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."

Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung." Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.

Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.

Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan tenaga melakukan pertempuran."

"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."  

Pendekar Lembah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang